Jadilah Pengusaha, Jangan Jadi Kapitalis

Adalah sangat indah berjalan-jalan bersama Ayah menyusuri pematang sawah di belakang rumah.
Menikmati hangat mentari pagi, mendengarkan petani membajak sawah bernyanyi dengan riang-sendu.
Saat lembayung sore memenuhi dunia seisinya dengan mosaik cahaya bertaburan.
Ini bukan dongeng yang dibacakan ibu menjelang tidur, ini kisah nyata yang saya dan anak-anak lainnya tak akan alami lagi.

Kini sawah yang hijau itu hanya sepetak saja, sisanya berdiri rumah-rumah hunian yang beragam. Yang kini rumah-rumah itu telah ramai oleh keluarga-keluarga baru yang saling bertetangga. Banyak wajah-wajah baru yang tidak saya kenal, barangkali hanya beberapa saja, itupun karena mereka merupakan penghuni lama. Petani dan kerbau itu pergi entah kemana, yang jelas tak pernah saya dengar lagi nyanyian riang-sendu yang biasa pak petani dendangkan ketika membajak.

Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi ditambah dengan makin banyaknya populasi manusia, adalah salah satu alasan bagus kenapa sawah dan kerbau itu semakin langka ditemukan.
Bagaimana tidak, dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk kebutuhan akan konsumsi pun jelas akan bertambah. Kebutuhan akan tempat tinggal menjadi salah satu kebutuhan pokok manusia yang tak bisa ditawar-tawar.

Tidak ada yang salah dengan perumahan, tidak ada yang salah dengan mesin penggarap. Permasalahannya terletak ketika pembangunan dan kemajuan zaman dilakukan tidak berlandaskan nilai-nilai humanis dan aspek keseimbangan alam.

Dalam hal ini adalah seorang pemodal atau orang yang menjalankan bisnis. Ketika seorang pengusaha menjalankan usahanya dengan tidak mengindahkan etika bisnis, nilai-nilai humanisme dan aspek lingkungan maka inilah yang menjadi masalah. Orang seperti itulah yang diberikan predikat sebagai kapitalis.

Kapitalis inilah yang membuat tatanan nilai dan keteraturan alam rusak. Mereka dirikan bangunan untuk dijadikan pusat perbelanjaan demi keuntungan mereka, tetapi tidak memerhatikan kelestarian alam. Seperti halnya yang terjadi pada kasus teluk Buyat. Masyarakat sekitarlah yang dirugikan. Warga buyat kehilangan hak-hak mereka sebagai manusia yang sehat.

Merkuri yang dicemarkan oleh pabrik yang didirikan di sekitar tempat tinggal mereka menyebabkan penyakit kulit dan mencemari tanah dan air mereka. Padahal mereka hidup dari alam sekitarnya. Air yang mereka gunakan untuk mandi dan minum, ikan yang mereka tangkap untuk bersantap tercemar merkuri. Miris kita mendengarnya, bukan?

Seorang kapitalis adalah seorang yang menghalalkan segala cara untuk meraup keuntungan pribadi dan koorporasinya. Dia tidak peduli dengan etika bisnis yang dijalankan dan tidak akan ambil pusing jika lingkungan alam sekitarnya rusak. Dia tidak merasa berdosa sekalipun ada orang-orang yang merasa teraniaya.

Tidak begitu halnya dengan seorang pengusaha yang nonkapitalis. Dia menjalankan bisnisnya dengan hati, memerhatikan etika bisnis yang baik dengan seksama. Pengusaha seperti ini tidak menginginkan jika ada klien yang dirugikan, tidak ingin mengorbankan lingkungannya hanya untuk membuatnya bertambah kaya.

Wajarlah jika kawan-kawan dari pergerakan terutama kaum sosialis lantang meneriakan antikapitalisme. Kapitalisme adalah musuh bersama yang harus diperangi guna kepentingan bersama terutama bagi mereka rayat kecil! Kapitalisme membuat jurang pemisah antara si miskin dan si kaya semakin lebar. Yang kaya semakin kaya yang miskin semakin terpuruk dalam kemiskinannya.

Adanya jurang ini menyebabkan tatanan nilai di masyarakat rusak. Dunia akan dipandang sebagai hal yang terlalu matrealis. Dan ketika itu terjadi, maka masyarakat akan memandang dan mengukur segala sesuatu dengan secara matrealis. Nilai-nilai dan aspek humanisme menjadi hilang. Hukum yang dipakai nantinya adalah hukum rimba. Siapa yang terkuat dialah pemenangnya.

Sistem ekonomi yang baik tidak demikian. Ia merujuk berdasarkan nilai-nilai kemanusian. Hati nurani dan moralitas memainkan unsur yang signifikan dalam hal ini. Walaupun status kaya dan miskin akan tetap ada, namun di antara kedua strata ini akan saling bersinergi, keduanya diuntungkan.

Dalam konteks seperti ini, si miskin adalah seorang yang memiliki harta atau kapital lebih sedikit daripada si kaya namun si miskin ini tetap sejahtera. Semua kebutuhan hidup si miskin ini tercukupi terutama dengan hak hidup layak dan kecukupan akan kebutuhan primernya seperti makan, kesehatan dan pendidikan tentunya.

Jika yang terjadi saat ini adalah bentuk kapitalisme pendidikan, maka seharusnya dengan sistem yang nonkapitalis pendidikan merupakan hal yang pokok yang harus dinikmati warga negaranya tanpa terkecuali. Rakyat miskin apa pun profesinya: petani, buruh, tukang becak harus memiliki akses untuk menikmati pendidikan. Anak-anak mereka harus menjadi tanggungan negara. Sekolah bukan hanya untuk orang berduit namun orang miskin pun mesti menikmatinya.

Dampak pembangunan yang tidak bertanggung jawab
Jika kota Bandung dahulu sering disebut-sebut dengan Parisj van Java adalah memang tidak salah. Jikalau Bandung beberapa puluh tahun yang lalu seringkali disebut dengan Kota Kembang adalah kenyataan. Jikalau sekarang Bandung sering diberi predikat dengan kota dengan tata kota yang amburadul, macet, penuh polusi dan alamnya yang mulai terancam adalah benar sekali.

Kenyataannya, kemacetan lalulintas yang terjadi sekarang adalah dampak dari tangan-tangan yang kurang bertanggung jawab. Demi kepentingan bisnis, produksi massal dilakukan. Ketika produk-produk seperti mobil yang tentu saja masih menggunakan bahan bakar yang kurang ramah lingkungan di pasarkan dengan tidak adanya perencanaan dan kontrol dari pemerintah, maka yang terjadi adalah jumlah mobil yang beredar overload, melebihi kapasitas. Sedangkan infrastuktur jalan raya tidak memadai untuk menampung jumlah mobil sebanyak itu. Yang terjadi saat ini adalah kemacetan di mana-mana belum lagi ditambah dengan polusi yang menyebabkan kualitas hidup manusia kian menurun. Seharusnya pemerintah memberlakukan kontrol yang ketat atas beredarnya mobil-mobil yang masuk.

Menurut hemat saya, solusi awal barangkali dengan meninggikan pajak kepemilikan mobil, membatasi jumlah mobil yang dipasarkan di Indonesia. Mulai produksi mobil-mobil dengan bahan ramah lingkungan., dan yang pasti akan lebih bagus jika kepemilikan mobil pribadi semakin sedikit. Transportasi dapat digantikan dengan trem yang nyaman untuk jarak dekat atau jauh. Ini hanyalah sebuah tawaran sebagai solusi awal, tetap saja jika pemerintah kurang merespon baik langkah-langkah seperti ini dikarenakan membiarkan terlebih mendukung sistem kapitalis, maka semuanya tidak akan terlaksana.

Nampaknya mulai saat ini koperasi-koperasi, sekolah-sekolah bisnis dan lembaga-lembaga lainnya yang bergelut dalam bidang pendidikan kewirausahaan mesti melakukan langkan proaktif guna memasukan kajian-kajian tentang kapitalisme serta dampak yang ditimbulkannya. Kuliah motivasi, manajemen dan etika bisnis haruslah memiliki kurikulum atau setidaknya kajian tentang dampak kapitalisme. Sehingga diharapkan para calon wirausaha dan pengusaha dapat mempunyai pedoman dan sadar akan pentingnya berbisnis dengan memerhatikan etika bisnis, nilai-nila humanis dan aspek lingkungan. Untuk siapa lagi tentunya jika bukan untuk kebaikan bersama.

Sepertinya akan percuma saja buku-buku Robert T Kiyosaki yang dibaca. Tak akan ada gunanya buku manajemen Steven R. Covey ataupun buku-buku marketing Hermawan kertajaya dan seabreg buku lainnya, jika toh bisnis anda tak bermanfaat bagi kebaikan masyarakat banyak, serta kelestarian alam ini. Sebaliknya, akan indah hidup ini jika bisnis untung menjamur, manusianya makmur dan alamnya tetap subur.

Entah petani dan kerbau itu kini dimana, tapi yang jelas terimakasih untuk lagunya, Pak!

Leave a Comment