CHAPTER 2 – Upssss…….

            Pagi ini, cuaca sedikit mendung. Awan kelabu menggelayut manja di angkasa, sehingga mentari tidak bisa eksis hari ini. Mungkin sama yang dirasakan oleh Dita. Setelah kemarin Dita hanya menghabiskan waktu di alam mimpi, hari ini Dita bertekad akan melakukan semua rencananya yang tertunda. Mulai dari jogging, mandi lebih pagi, terus menyatroni salon untuk mempercantik diri.

            “Cklek…..cklek” Dita membuka pintu depan rumah pelan-pelan. Ibarat maling yang masih amatir, Dita berjalan mengendap-endap sambil menenteng sepatu jogging-nya. Penampilannya pagi ini, mirip dengan instruktur senam di kelurahan. Selain pakai celana pendek, jaket parasut, ikatan kepala dengan warna mencolok yang tak lupa disematkan untuk menutupi rambutnya. Dita juga menggunakan kaos kaki yang tak kalah hebohnya dengan warna ikat kepalanya.

            Mendengar pintu depan dibuka oleh seseorang, Mama sambil berbisik membangunkan Papa yang kembali terlelap setelah shalat subuh.

            “Pa..Papa…aduuuuhhh, Paaaa….., bangun.. Paaaa….Papa”

            “hmmmm….” Papa hanya menggeliat tanpa membuka mata

            “Paaaaaa…….Papa……… bangun dong, ada yang penting nih Paaaaa,”

            “Kenapa sih Ma? Berisik banget. Apa yang penting di pagi buta kayak gini?”

            “Pintu depan Pa, Pintu depan”

            “Kenapa Ma? Kenapa Pintu depannya? Mama lagi ga ngidam mau diambilin pintu depan rumah sendiri kan, seperti waktu ngidam Karina..Mama juga bangunin Papa kayak gini, mau diambilin engsel pintu pagar”

            “Papa…Mama ga becanda Papa,”

            “Terus kenapa pintu depannya Ma?”

            “Seperti ada yang coba buka, Pa”

            “Ahhhhhh, yang benar Ma?” Papa meloncat turun dari tempat tidur, memperbaiki sarungnya, mengambil tongkat kasti yang sengaja diletakkan dibelakang pintu kamar tidur mereka.

            “Ayo, Ma. Kita lihat siapa yang berani-beraninya masuk rumah mantan pemain kasti hebat kayak Papa ini,”

            “Baru menang satu kali diperlombaan 17-an saja, lagaknya sudah jadi atlet nih.. Papa,”

            “Iyaaa, ga ada yang larang toh Ma,” Papa tersenyum keki mendengar pernyataan istri tercintanya.

            “Ayooo..Ma, buruan! Nanti barang-barang kita sudah pada diambilin sama tuh maling,”

            Dita yang tidak tahu bahwa bunyi berisik kunci pintu tadi telah membangunkan kedua orang tuanya. Dita tetap asyik mengikat tali sepatu jogging-nya yang warnanya juga tidak kalah menterengnya dengan kaos kaki. Sepatunya berwarna kuning terang, kaos kaki biru langit, celana pendek warna hijau, jaket parasut warna pink, ditambah ikat rambut warna coklat dan orange. Perpaduan warna yang cocok untuk rainbow cake.

            Dita memang selalu menggunakan warna yang mencolok, setelah kejadian tabrak lari yang dialaminya 2 tahun lalu. Itu lantaran, selimut hitam masih meninabobokan sang surya, ketika Dita memutuskan akan jogging dengan mengenakan pakaian serba hitam kebesarannya. Jaket hitam, sepatu hitam, ikat rambut hitam, dan celana training hitam. Alhasil, belum sampai perempatan kompleks Dita disambar oleh pengendara motor yang ugal-ugalan di subuh hari. Sejak itu, Dita memutuskan untuk menggunakan pakaian serba mentereng saat jogging, takut kejadian buruk itu kembali terjadi, lantaran pengguna jalan mengira tidak ada orang yang sedang jogging.

            “Pa…papa.. itu orangnya.. gila aja, mencolok banget tuh pakaian yang dipakai buat maling rumah orang,” Mama berbisik sambil menunjuk orang yang sedang duduk di depan pintu.

            “Iya Ma.. apa komplotan perampok rainbow kali Ma ya,” Mama mencoba menahan tawanya mendengar celotehan Papa barusan.

            “Bisa-bisanya ada perampok rainbow berkeliaran,” Batin Mama juga ikutan geli.

            “Hehehe,…. Papa ada-ada saja,”

            “Husssss…. Nanti malingnya kabur Ma, jangan berisik,”

            Baru saja Dita ingin beranjak meninggalkan tempat duduknya menuju pintu, tiba-tiba sebuah pentungan melayang dengan sukses ke kepala Dita.

            “ADUUUUUHHHHHHHHHHHHH,……AAaaOOOOwwwWWWWWWW,”

            “Pa..koq suaranya, suara perempuan Pa?”

            “Iya ya, Ma”

            “Mirip suara Dita lagi Pa”

            “Masa sih, Ma?”

            “AduuuuHHHHHHHHHHHHHHHHHHH…… AAAAaaaaaaaooooooowww,”

            Mendengar keributan di ruang tamu, Karina dan Andi keluar dari kamarnya masing-masing.

            “Ada apa sih? Koq ribut pagi-pagi gini?” sewot karina sambil masih mengucek kedua matanya.

            “Iya nih, inikan masih gelap. Andi kan masih ngantuk” Andi ikutan sewot, sambil mengalakan lampu ruang tamu.

            “Papa…Mama… Kak Dita????”

            “Pada ngapain sih, bawa tongkat kasti? Karina-kan masih ngantuk.”

            “Kak Dita, kenapa? Koq sudah mencolok banget pagi-pagi buta kayak gini. Sudah pakai sepatu andalan lagi,”

            “Mama sih, tuh bukan maling?”

            “Papa..juga sih yang salah, kenapa langsung main tabok aja, ga nanya-nanya dulu. Apa dia maling atau anak kita,”

            “BERRIISIIIIIKKKKKKK!!!!, Dita sakit nih Ma, Pa. koq malah saling nyalahin. Bukannya ngeliat keadaan anaknya dulu kek,”

            Mendengar omelan Dita, mama langsung mendekat dan mencoba melihat kepala Dita yang kena pentungan Papa tadi.

            “Kamu ga apa-apa nak? Aduhhh… anak mama yang cantik, kenapa ga bilang-bilang mau keluar pagi-pagi? Emangnya pakai baju seheboh ini, mau kemana Ta?”

            “Ke pasar,” jawab Dita dengan sebal.

            “Ke pasar?? Koq pakaiannya gini? Trus koq ga ngajak-ngajak Mama?”

            “Mama…..Adduuuhhhhhhhhhh, dalam keadaan gini, Dita mohon Mama ga usah lugu deh. Masa Dita sudah pakai sepatu jogging gini mau ke pasar. Percaya aja lagi apa yang Dita bilang,”

            “Ohhh…mau jogging toh, kirain mau ngelenong soalnya pakaian anak mama yang cantik ini, heboh banget warnanya,” ujar Mama prihatin sambil ngelus kepala Dita yang benjol.

            Papa, Andi, dan Karina yang mendengar ocehan Mama mencoba untuk tidak terbahak, karena takut Dita semakin emosi dan bakal mencak-mencak seharian. Andi dan Karina memutuskan untuk kembali ke kamar masing-masing. Belum sempat Papa berbalik dan melangkah menuju kamar, Dita minta pertanggung jawaban.

            “Papa mau kemana?? Setelah pentungan kasti itu mendarat di kepala Dita, trus Papa mau pergi gitu aja, tanpa tanggung jawab sedikit-pun?”

            “Hmmmmm…eeehhhhh,” Papa jadi salah tingkah mendengar kata-kata Dita.

            “Pokoknya Dita minta Papa tanggung jawab!!” masih sambil memegangi kepalanya yang benjol kayak telur ayam. Mama yang melihat benjol Dita semakin besar, berlari ke dapur untuk mengambil sesuatu.

            “Tanggung jawab ya, Ta?”

            “Iya Pa, tanggung jawab”

            “Emang dengan cara apa?”

            Otak ga mau rugi Dita berputar dengan cepat.

            “Duit saja deh Pa,”

            “Ohh..Duit? berapa?”

            “Cukuplah untuk ke salon Dita nanti siang,” Senyum Dita mengembang, dengan anis kanan naik turun.

            “Ok, Ta. Maafin Papa ya.. Ini gara-gara Mama kamu tuh,” ucap Papa sambil ngelus kepala Dita yang benjol. Belum sempat Papa kembali berbalik, dari arah dapur Mama berlari membawa pisau. Melihat Mama dengan pisaunya, Dita dan Papa panik dan berhampuran masuk ke kamar masing-masing.

            “Koq, pada lari sih? Mama-kan Cuma mau minta tolong Papa buat ngempesin benjol Dita dengan pisau ini. Aneh.. Ya sudahlah kalau gitu,” Mama kembali masuk ke dapur dan mulai kegiatan ibu rumah tangganya di pagi yang masih gelap.

            Akhirnya Dita kembali bersemedi di kamarnya dengan benjol merah mudanya. Rencana ke salon terpaksa ditunda sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan, hingga benjolnya kempes. Malukan sama orang, apalagi kalau ada cowok ganteng di Salon.

            “Upsss….. ketahuan deh, tujuan ke salonnya mau ngapain..hehehe, kan sekalian, berhubung salon di Mall, apa salahnya kalau menyelam sambil minum air hehehe,”

 

Leave a Comment