SEGENGGAM KATA UNTUK-nya

Paragraf ini, seperti juga butiran gerimis yang jatuh dilautan. Aku, ataukah kita yang memulainya, hingga membentuk frasa pertama dan menikmatinya seolah kopi hangat dalam balutan gerimis, di luar sana. Malam semakin mengepung, kita segera terburu, seperti ingin menuntaskan kisah yang segera purba. Ah, kantukmu meminta jeda sejenak.

siapa? Kau lelap dalam sapa
tak ada isyarat, hanya tanda di ujung gang
sejenak menunggu gelombang kata
dipenghabisan malam, seperti menghilang

Perlahan-lahan, aku resapi tiap jejak itu seolah pahit di dalam kopi. Meski meninggalkan  kesan apatis, meski resah setiap kali gerimis mengeraskan pelipisnya. Kali ini aku seorang diri, tanpa melompat ke dalam cerita, tanpa bertanya-tanya, kenapa?

adakah kota sudah basah? sejak semula?
sejak muram itu tiba… aku mencinta

Di dalam paragraf ini, gerimis adalah hujan yang menua menjadi senja tanpa wajah. Karena  wajah adalah dirimu yang hilang di ujung gang, untuk menepis sepi, untuk meningglkan hujan yang begitu lembut. Saat itu, kopi terasa pahit dan hujan adalah kerikil asing yang sunyi.

tiap regukan kata, tiap senyum itu tiba
di tengah perjamuan terakhir
dingin menyeruak, mengendapkan butiran suara
seperti sunyi yang jatuh ke titik nadir

Kini, kopi sesunyi malam hari, dan kata-kata akan segera usang. Senyummu menjelma bayangan, untuk kemudian kugambarkan pada permukaan besi. Selanjutnya, hanya menjadi seonggok karat. Sedikit sekali: aku mengecup kopi dingin di dua belah tanganku, sejenak menimpali langit yang mulai pupus. Tak ada paragraf terakhir, yang ada adalah pertanyaan sungsang di tengah cinta kita yang begitu payah.

Banjaran, 5 April 2012

Leave a Comment