Tips Mengatasi Kebuntuan Menulis Non Fiksi

Menulis non fiksi tidak sama dengan menulis fiksi. Jika tulisan fiksi tidak harus kisah nyata, tulisan non fiksi haruslah nyata berdasarkan fakta. Namun untuk menghasilkan tulisan yang berkualitas, baik fiksi maupun non fiksi, tidak dipungkiri harus didukung oleh riset yang memadai. Dan dalam proses menulis keduanya, bisa jadi, kebuntuan menulis menyerang. Berdasarkan pengalaman pribadi, berikut beberapa kiat untuk mencegah dan keluar dari kebuntuan menulis.

1. Buka mata, buka telinga.

Sejak membulatkan tekad untuk menulis, saya melatih diri agar panca indera saya makin peka. Sumber bacaan makin banyak. Tidak ketinggalan indera pendengaran makin diaktifkan. Dalam menonton film kesukaan, tidak luput saya memperhatikan kata-kata yang diucapkan tokohnya. Termasuk jika menonton public figure berbicara di TV. Karena pelupa, maka saya perlu mencatat kutipan-kutipan tersebut. HP atau buku saku saya tidak pernah ketinggalan untuk mencatat hal-hal menarik. Melihat kembali catatan-catatan tersebut, dapat menimbulkan inspirasi untuk mendukung proses menulis.

2. Manfaatkan dunia maya.

Semula saya bukan aktivis sosial media. Ya, sekarang juga tidak sih. Tapi saya berusaha mengoptimalkan facebook sebagai sarana belajar dan mencari inspirasi. Ada saja pelajaran, inspirasi dan hikmah yang dapat saya ambil dari interaksi di dunia maya. Bila pergaulan sehari-hari terlalu homogen, di dunia maya saya bertemu dengan berbagai tipe orang dengan bermacam latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan keluarga. Keberagaman itu memperkaya wawasan dan pergaulan saya. Selanjutnya, tergantung pilihan kita untuk mengambil inspirasi dari sana.

3. Keluar dari rutinitas.

Mengganti kegiatan rutin kita dengan sesuatu yang baru juga akan terasa sangat menyegarkan. Biasa ke gedung kantor melewati parkiran dan kantin. Ganti dengan jalan memutar melewati masjid. Bila biasanya begitu tiba di kantor langsung memasuki gedung, mampir sebentar ke taman untuk duduk-duduk dan menikmati suasana pagi. Bila tidak terikat jam kerja di kantor, peluang untuk bereksplorasi hal yang baru akan sangat terbuka. Tinggal kemauan yang akan menggiring langkah kita.   

4. Ganti suasana menulis.

Ada penulis yang memiliki tempat keramat sebagai tempat favoritnya untuk menulis. Namun tidak ada salahnya melangkahkan kaki ke dunia luar untuk perubahan suasana. Tempat favorit saya untuk berganti suasana adalah perpustakaan. Berada di tengah sumber ilmu dan karya manusia seakan-akan memompa semangat saya untuk dapat kreatif seperti para penulis buku-buku yang bertengger di perpustakaan itu.

5. Buat pointers.

Ini menjadi jalan keluar bagi saya bila di tengah proses menulis mengalami kebuntuan namun saya sadar point tersebut penting untuk dieksplorasi lebih lanjut. Alih-alih menghabiskan waktu untuk menyela tulisan saya dengan melakukan riset mengenai hal tersebut, saya akan mencatatnya dalam pointers terlebih dahulu supaya tidak terlupa. Lalu meneruskan menulis point selanjutnya yang sudah menari-nari di benak siap dituangkan ke dalam tulisan.          

6. Disiplin waktu.

Waktu untuk meriset, waktu untuk menulis. Ini berhubungan dengan kiat saya sebelumnya. Waktu berlalu begitu cepat. Saya harus mendisiplinkan diri untuk membagi waktu antara riset untuk tulisan, dan menulis itu sendiri. Mungkin anda sama dengan saya. Multitasking dengan mencampur aduk proses riset dan menulis tidak berhasil bagi saya. Apalagi dengan google sebagai sumber segala riset berada di ujung jari. Sangat mudah berpindah-pindah antara proses meriset dan menulis. Jika melakukan riset melalui internet, pastikan riset yang kita lakukan tidak melantur kemana-mana yang membuat tulisan kita jadi terbengkalai.

Gambar dari sini: creativemarbles.com

Tulisan lain di sini.

Leave a Comment