THE BLACK HOLE – CHAPTER 1

CHAPTER 1

The Kid

 

“Selamat, Pak,” ucap pria berumur 40 tahun berkumis tebal itu pada sosok nan tampan yang berdiri tegak di hadapannya. “Anda kami terima untuk mengajar di SMU Soekarno-Hatta ini sebagai guru fisika,” tambahnya sambil mengulurkan tangan.

            Pemuda rupawan itu tersenyum. Dengan yakin dan mantap, ia sambut tangan pria yang menjabat sebagai Kepala Sekolah di SMU tersebut. Mereka pun berjabat tangan, tanda bahwa telah terbentuk kesepakatan yang kokoh di antara mereka.

            “Terimakasih, Pak Tanto,” balasnya.“Saya akan melakukan yang terbaik dan mengabdi sepenuhnya untuk sekolah ini.”

            “Bagus sekali, Pak. Tapi….” Raut wajah Pak Tanto berubah. “… tolong rapikan rambut Anda jika sedang berada di sekolah ini!” pintanya tegas.

            “Lho? Kenapa, Pak?” tanya pemuda itu bingung. “Bukannya ini gaya rambut yang paling populer di Bumi?”

            “Maaf?”

            “Eh! Um… maksud saya, rambut saya ini kan, modelnya anak muda jaman sekarang. Jadi tak ada salahnya saya….”

            “Rapikan rambut Anda atau cari sekolah lain untuk Anda mengajar.”

            “Oh! Jangan, Pak! Baik, baik. Akan saya rapikan rambut ini sesuai permintaan Bapak.”

            “Nah. Jawaban seperti itu yang saya inginkan.” Senyum simpul kembali terbentuk di bibir Pak Tanto yang setebal kumisnya itu. “Baiklah, Pak. Silakan Bapak kembali besok untuk mulai mengajar di sini.”

            “Pak Tanto!” Seorang guru memanggil Pak Tanto dengan panik dari luar pintu.

            “Ada apa, Pak Galih?”

            “Pak Hamzah, Pak. Jantung beliau kumat lagi ketika mengajar fisika di kelas 3 IPA 1. Ambulance sedang dalam perjalanan menuju kemari.”

            “Di mana beliau sekarang?”

            “Sedang istirahat di ruang UKS.”

            “Nanti saya lihat keadaan beliau. Sudah ada yang menggantikannya mengajar?”

            “Belum, Pak. Guru-guru fisika yang lain juga sedang mengajar di kelas mereka masing-masing.”

            “Ya sudah. Pak Galih tenang dulu,” kata Pak Tanto. Pandangannya kembali ke pemuda semampai yang berdiri di sampingnya. “Maaf, Pak. Kebetulan sekali. Sepertinya saya harus meminta pertolongan Bapak untuk mengajar saat ini juga di kelas 3 IPA 1. Ini benar-benar di luar dugaan kami. Saya meminta Bapak untuk menggantikan jam pelajaran Pak Hamzah selama beberapa hari sampai beliau sembuh. Kebetulan beliau juga merupakan guru fisika. Setelah beliau pulih, baru lah kita jalankan prosedur yang sudah kita sepakati tadi. Bagaimana, Pak? Sanggup?”

            Pemuda itu kembali tersenyum optimis. “Seperti yang saya katakan tadi, Pak Tanto,saya akan melakukan yang terbaik dan mengabdi sepenuhnya untuk sekolah ini. Tentu Anda tahu persis maksud dari kata-kata itu. Jadialangkah malu dan hinanya saya jika tidak menyanggupi permintaan Bapak di hari pertama ini,” kata pemuda itu tegas. Semangat dan aura pemuda itu terasa begitu meluap hingga membuat dua pria itu terkesan. Biar masih muda, tapi kata-kata yang keluar dari bibir tipisnya menjadikannya terlihat begitu ‘besar’.

            Pak Tanto dan Pak Galih tersenyum bangga pada guru baru itu. Sepenuhnya mereka sadari bahwa bukanlah pria biasa yang sedang mereka hadapi ini. Sebuah kehormatan bagi mereka bisa bekerja sama dengan guru yang berdedikasi seperti pemuda itu.

            “Baiklah kalau begitu, Pak. Sekarang Bapak ikut Pak Galih untuk mengambil seragam guru untuk Bapak. Begitu selesai, segera lahkembali dan kita temui siswa-siswi kita di kelas 3 IPA 1.”

 

* * *

Asap tebal mengotori langit hitam yang indah itu. Gemuruh senjata api, sabetan pedang, teriakan manusia, serta darah yang membanjir menambah buruk suasana. Namun keadaan itu sama sekali tak menggoyahkan semangat tempur seorang laki-laki tangguh berumur 25 tahun yang dengan lihai memainkan pedangnya menyerang musuh-musuh yang mengadang. Ratusan jiwa yang mengganggu telah gugur di tangannya.

            Hingga akhirnya, lawan seimbang yang ia tunggu muncul juga di tengah ramainya medan perang. Dua pria yang saling bertatapan dengan sorot mata penuh kebencian itu berlari berhadapan dengan kecepatan tinggi dengan menggenggam erat pedang yang siap mereka ayunkan dengan tenaga bak setan. Jarak mereka semakin dekat dan pertarungan adu pedang pun tak terhindarkan.

 

“Pak? Pak?” Suara berat Pak Tanto memecah lamunan pemuda yang baru saja diterima menjadi guru itu. “Mari kita temui murid-murid kita.”

            “Baik, Pak Tanto,” jawab pemuda itu yang kemudian bangkit dari kursi yang didudukinya dan melangkah menuju ruangan yang akan menjadi ‘medan tempurnya’. Baju batik bercorak hitam-putih, celana kain hitam panjang yang berkilau, serta rambut basah belah samping yang tersisir rapi menjadikan pemuda itu terlihat semakin rapi, tampan, namunterkesanlugu. Dengan berjalan di belakang Pak Tanto, pemuda itu memasuki ruang yang bertuliskan ‘3 IPA 1’ di pintu masuknya.

            Semua mata tertuju padanya. Terdengar samar olehnya, decak kagum para siswi yang menatapnya. Mata genit mereka terbelalak seperti sedang melihat malaikat.

            Langkah Pak Tanto dan pemuda itu terhenti persis di depan kelas, berhadapan dengan siswa-siswanya.

            “Anak-Anak, beliau inilah orang yang Bapak sebutkan tadi, yang untuk sementara waktu akan mengajar fisika menggantikan Pak Hamzah yang saat ini kurang baik kondisinya. Silakan perkenalkan diri Anda, Pak!” Pak Tanto mempersilakan.

            “Terimakasih, Pak Tanto.”

            Sayup-sayup, terdengar suara bisik-bisik nakal dari mulut para siswi.

            “Kayaknya dia keturunan Eropa, deh. Pasti namanya kebarat-baratan gitu. Mukanya aja imut, ganteng. Kayak bule gitu. Iya nggak, sih?” bisik salah seorang siswitomboi pada teman sebangkunya yang cenderung lebih feminin dan cantik.

            “Pastinya, Sab. Tebakan gue nih ya, pasti namanya Steve, Gerald, atau Edward, mungkin? Aduuuuuh, ganteng banget, sih? Bisa betah nih gue diajarin ama dia. Kyaaaaa!!” sahut temannya yang disusul dengan teriakan gemas dan pipi yang memerah luar biasa. Teriakannya menyihir kelas menjadi lebih senyap. Semua mata kini tertuju pada gadis manis itu. Iapun menunduk malu karenanya.

            Pak Tanto geleng-geleng kepala.

            Pemuda itu tak ambil pusing dengan kejadian ganjil barusan. Ia melanjutkan perkenalan yang tadi tertunda. “Perkenalkan, Anak-Anak,” ia memulai, “nama saya….”

            “Steve…!”

            “Edward…!”

            “Bernard…!”

            “Joe…!” Kembali terdengar bisikan-bisikan para siswi, menerka nama sang guru baru yang berwajah agak western itu.

            “Soekarno Mangunsoetjipto,” pemuda itu menyebutkan namanya. Suasana kelashening seketika. Kali ini benar-benar senyap. Seisi kelas seolah tak percaya akan apa yang mereka dengar barusan. Waktu seakan berhenti.

            “Bi… bisa Bapak ulang?” pinta siswi yang berteriak tadi. Tubuhnya gemetar.

            “Soekarno Mangunsoetjipto,” ulang pemuda itu.

            Seorang siswa bengal yang duduk paling belakang, di sudut sebelah kanan, tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Empat orang temannya tersenyum merendahkan.

            Gadis itu terdiam.Tubuhnya lemas seketika.Wajahnya pucat. Tak kuasa menerima fakta yang baru saja ia dengar, ia pun pingsan. Tubuhnya ambruk ke lantai.

            “Astaghfirullah, kelas ini.” Kali ini Pak Tanto benar-benar malu. “Kalian berdua! Bawa Maya ke ruang UKS!” perintahnya pada dua siswa berbadan besar yang duduk tak jauh dari siswi bernama Maya itu.

            “Maafatas ketidaknyamanan ini, Pak,” kata Pak Tanto setelah Maya digotong keluar.“Silakan lanjutkan.”

            “Baik, Pak.”Pemuda itu berdehem.“Biar lebih akrab, Kalian bisa memanggil saya dengan Pak Karno saja.”

            “Bapak tinggal dimana?” tanya siswi tomboi yang merupakan teman sebangku Maya tadi.

            “Untuk sementara, saya masihmengontrak rumah,” jawab pemuda itu.

            “Status Bapak lainnya?” tanya seorang siswa yang cukup tampan yang duduk di bangku paling depan, persis di hadapan meja guru.

            “Saya lahir pada tanggal 18 Maret dua puluh limatahun yang lalu.Masih single, lulusan Harvard University, jurusan….”

            “Harvard? Ah, bo’ong tuh!” potong siswa yang tertawa tadi.

            Ini sudah kelewatan.

            Pemuda yang mengaku bernama panggilan Karno itu melihatnya dengan begitu dingin. Tampaknya siswa itu adalah siswa dengan tubuh paling tinggi dan paling tangguh di kelas itu. Sama sepertinya, wajah anak itu juga agak kebarat-baratan.

            “Bayu! Jaga sikapmu!” bentak Pak Tanto.

            Pemuda itu tampak terkejut ketika Pak Tanto menyebut nama ‘Bayu’. Namun, ia sembunyikan keterkejutannya itu dan kembali pada perkenalannya seperti tidak terjadi apa-apa. “Ada lagi yang ingin bertanya?”

            Tak ada yang menjawab.

            “Baiklah, Pak Karno. Anda sudah bisa mengajar di kelas ini,” kata Pak Tanto. “Jika ada keluhan atau kendala, jangan sungkan untuk bicara pada saya. Satu hal lagi.” Pak Tanto berjinjit, hendak berbisik ke telinga pemuda itu.

            Sadar bahwa ternyata telinganya terlalu tinggi untuk dijangkau oleh bibir Pak Tanto, pemuda itu pun sedikit membungkuk.

            “Berhati-hatilah dengan lima siswa yang duduk di pojok kanan belakang itu. Mereka cukup sulit diatur. Khususnya siswa berambutacak-acakan bernama Bayu itu. Kenakalan mereka bukan kenakalan remaja pada umumnya. Saya harap Anda waspada dan bijaksana dalam bertindak.”

            “Saya mengerti, Pak.”

            “Nah, Anak-Anak. Bapak tinggal dulu, ya. Selamat belajar,” kata Pak Tanto mengakhiri pertemuan. Ia lalu melangkah keluar kelas.

            Tinggal lah pemuda itu seorang diri menghadapi para siswa. “Baik. Sudah sampai dimana pelajarannya?”

            “Potensial Listrik, Pak,” jawab siswi tomboi tadi.

            “Begitu. Kamu kelihatannya cukup aktif, ya. Siapa namamu?”

            “Sabrina Yusuf, Pak.”

            Pemuda itu mengangguk. “Si Maya itu, kenapa sepertinya kaget sekali mendengar nama saya? Apa nama saya sebegitu buruknya?”

            “Bagus kok, Pak,” jawab Sabrina gugup. Sekilas terlihat sedang menahan tawa.“Mungkin karena Maya hari ini kurang sehat. Jadinya… ya… gitu deh.”

            “Lagian Maya itu emang anaknya gampang sekali pingsan, Pak,” tambah siswa yang duduk paling depan tadi.

            “Oo, begitu.” Pemuda itu mengangguk sambil melihat nama siswa tersebut di bagian dada sebelah kanan. Rahmadi Prasetyo.

            “Emang kenapa? Lo naksir sama Maya?” tanya Bayu kasar. Ia lalu menaikkan kakinya ke atas meja, kemudian menyalakan rokok dengan santai. Perilaku serupa diikuti oleh empat orang temannya.

            “Kalian siswa baru di sini?” tanya pemuda itu tenang pada kelima berandal itu.

            “Menurut lo?” Bayu balas bertanya sambil mengisap rokok yang ada di mulutnya.

            “Kalau kalian siswa baru di sini, saya ingin beritahu bahwa siswa dilarang merokok di sekolah ini. Tapi kalau bukan,” ia melanjutkan,“berarti kalian tidak lebih dari binatang yang tidak memiliki akal dan pikiran. Dengan melihat wajah kalian saja, saya sudah tahu kalau kalian berlima adalahorang-orang bodoh. Apa saya benar?”

            Semua terkesiap mendengar kata-katanya yang begitu tajam.

            Lima siswa itu punlangsung terpancing emosinya. Mereka lalu bangkit dari kursi, dan menghampiripemuda itu. “Lo belum tau siapa gue, orang baru? GUE BAYU PRATAMA!! ANAK DARI uummmmfffhhhh…!!”

            Kalimat Bayu terputus akibat adanya hapusan whiteboard  yang tiba-tiba saja ada di mulutnya. Pemuda itu menyumpal mulut Bayu dengan kecepatan yang mengesankan.

            Seluruh kelas takjub dan tersenyum menahan tawa melihat itu.

            “Dasar anak manja. Di mana rasa malumu?” Kemarahan pemuda itu mulai tampak, namun ia tetap tenang.

            Bayu menyingkirkan penghapus itu dari mulutnya. “Brengsek!!” Ia melayangkan tinju ke wajah pemuda itu.

            Dengan tenang, pemuda itu menepisnya dengan begitu mudah, lalu mencengkeram tangan itu. “Jangan belagu kamu, Bocah ingusan!” katanya dengan tatapan yang liar. Pemuda itu memancarkan amarah yang dapat dirasakan oleh semua yang ada di ruangan itu.

            Bayu mengeluh kesakitan. Ia memberontak, mencoba melepas cengkeraman pemuda itu. Namun, pemuda itu terus mencengkeramnya dengan lebih keras hingga Bayu benar-benar kesakitan.

            “Seharusnya kau malu pada dirimu sendiri. Sudah sebesar ini masih mengandalkan orangtua. Bocah seumuranmu seharusnya belajar dengan giat dan buat bangsa dan orangtuamu bangga dengan prestasi yang kauraih. Bukannya sibuk berlindung di belakang bokong orangtuamu yang kaya itu,” kata pemuda itu. Ia tetap tenang. Namun pandangan liarnya meruntuhkan nyali mereka berlima.

            Situasisudah benar-benar kacau. Siswa yang lain hanya bisa menahan napas sekaligus takjub melihat aksi guru baru mereka.

            “Kau menodai bangsa kita,” geram pemuda itu.

            Bayu yang tak kuasa lagi melawan, membentak teman-temannya, “Kalian berempat kenapa diam aja!? Bantuin dong!!”

            Mata liar pemuda itupun beralih ke empat anak lainnya.

            Mereka terkesiap.

            Tidak tahan dengan rasa takut yang melanda dirinya, salah seorang dari mereka akhirnya menangis menghiba-hiba. “Ampun, Pak Karno. Kami salah. Kami minta maaf.”

            Semua tertawa lepas melihat tingkah kelimasiswa bengal itu. Tanpa sadar mereka bertepuk tangan untuk guru baru yang berhasil menaklukkan kelima siswa nakal itu sekaligus.

 

* * *

 

Bel istirahat akhirnya berbunyi. Siswa dan para staf SMU Soekarno-Hatta akhirnya bisa bersantai sejenak sebagaimana jam istirahat biasa.

            Namun ada yang tidak biasa kali ini: lima siswa paling bengal di sekolah itu dihukum hormat bendera sampai habis jam istirahat. Semua benar-benar tak percaya dengan apa yang mereka lihat.

            “Sabrina!” Seorang guru laki-laki yang bertingkah seperti perempuan memanggil Sabrina yang tak henti tertawa melihat lima orang yang menjalani hukuman tersebut.

            Sabrina pun menghampiri guru bertubuh pendek dan berkacamata tebal itu. “Pak Mahmud manggil saya?”

            “Ya. Siapa sih, Sab, yang berani menghukum Bayu cs itu?”tanyanya penasaran dengan cara bicara yang feminin.

            “Pak Karno, Pak.”

            “Pak Karno?”

            “Iya. Pak Karno. Itu lho, guru fisika baru yang gantiin Pak Hamzah. Hari ini hari pertama Pak Karno ngajar. Orangnya ganteng lho, Pak. Masih muda. Baik lagi,” jelas Sabrina.

            “Tadi dia ngajar di kelasnya kamu?”

            “Iya. Barusan aja kelar pelajarannya.”

            “Yang mana sih orangnya?” tanya Mahmud makin penasaran.

            “Yang itu, tuh. Yang lagi jalan,” tunjuk Sabrina.

            “Eh? Bule, ya? Wah, cakep juga tuh!”

            “Benerkan!”

            “Berani juga dia hukum si Bayu itu, ya. Tapi ini gawat, kan?”

            “Gawat? Maksud Bapak?”

            “Ya ampun, Sab. Kamu lupa ama kasusnya Pak Andra waktu kalian kelas satu dulu?”

            Sabrina memutar otak, mencoba mengingat kembali kejadian yang dimaksud. “Oh! Yang dipecat itu?”

            Mahmud mengangguk. “Waktu itu dia menghukum Bayu juga, kan?”

            “Trus?” tanya Sabrina yang masih belum menangkap maksud dari Mahmud.

            “Astaga nih anak begonya! Kamu nggak inget Pak Andra dikeluarin gara-gara bokapnya Bayu?”

            “Yeee! Biasa aja dong, Pak! Namanya juga lupa! Tapi sekarang udah inget! Bokapnya Bayu sang donatur terbesar sekolah yang nggak terima anak kesayangannya di hukum, meyakinkan Pak Tantoselaku kepala sekolah untuk mecat Pak Andra. Dan sialnya Pak Tanto terpengaruh, sehingga akhirnya bener-bener ngeluarin Pak Andra.”

            “Exactly! Gosip yang Bapak denger, Pak Tanto terpaksa penuhi permintaan itu karena disuruh pilih, Pak Andra yang keluar atau Pak Tanto sendiri yang dicopot dari jabatannya. Emang enakyapunya banyak kenalan orang-orang berpengaruh. Bisa semena-mena!”

            “Wah, berarti Pak Karno bisa aja ngalamin nasib serupa, dong?! Gimana nih, Pak? Gawat ini!”

            “Makanya dari tadi Bapak bilang juga apa!? Sekarang kita liat aja perkembangannya. Semoga Pak Karno lebih mujur.”

            Sabrina tak tega melihat pemuda yangbaru saja dilantik menjadi guru itu akan langsung dipecat hanya karena Bayu mengadukan hukuman yang ia terima pada ayahnya. Sabrina melihat sosok pemuda itu melangkah menuju ruang kepala sekolah. “Semoga nggak terjadi apa-apa pada Pak Karno,” harapnya cemas dalam hati.

 

* * *

 

“Pak Tanto memanggil saya?” tanya pemuda itu sopan.

            “Ya. Silakan duduk, Pak.”

            “Kalau saya boleh tahu, ada perlu apa Bapak memanggil saya?”

            “Saya dengar….” Suara Pak Tanto bergetar. Lalu setelah menghembuskan napas, ia melanjutkan,“… Anda menghukum Bayu dan teman-temannya dengan cukup keras?”

            “Benar, Pak. Sikap mereka tadi sangat keterlaluan.”

            Pak Tanto kembali menghela napas. “Apa yang telah dilakukan berandal-berandal itu kali ini?”

            Pemuda itu pun menceritakan kejadian yang sebenarnya. Lagi-lagi Pak Tanto menghela napas. Aura bahagia sama sekali lenyap dari wajahnya.

            “Saya jadi serba salah,” katanya.

            “Serba salah kenapa, Pak?”

            “Dua tahun yang lalu, Bayu dihukum oleh seorang guru karena kenakalannya. Ia disuruh berdiri di luar kelas dan tak diizinkan masuk hinggausai jam pelajaran. Bayu tak terima diperlakukan seperti itu.Ia pun mengadu kepada ayahnya yang merupakan orang berpengaruh yang memiliki banyak relasi di pemerintahan dan departemen pendidikan. Lalu ayahnya datang ke sekolah bersamabeberapa orangpenting tersebut, dan guru yang menghukum Bayu ituterpaksa sayaberhentikan hari itu juga. Saya tidak punya pilihan.Semua itu terjadi hanya karena menghukum murid dengan cara berdiri di luar kelas. Saya tak bisa apa-apa. Guru-guru pun tak ada yang berani menghukum Bayu semenjak kejadian itu. Kalaupun Bayu sudah keterlaluan, paling hanya diberi teguran biasa saja. Bayangkan apa yang akan terjadi jika ayah Bayu mendengar anaknya dihukum hormat bendera di hari yang panas begini.”

            “Anda menyalahkan saya?”

            “Tidak, Pak Karno. Sama sekali tidak. Saya hanya menyayangkan jika guru hebat seperti Anda harus berhenti mengajar karena hal tersebut. Di awal karir Anda pula. Saya sepenuhnya mendukung tindakan keras Anda terhadap siswa seperti Bayu.Namun saya takkan bisa apa-apa jika orang-orang yang kedudukannya berada di atas saya berpikir berbeda.”

            “Saya mengerti, Pak. Saya akan meyakinkan Bayu untuk tidak mengadukan ini kepada ayahnya jika keadaannya seperti itu.”

            “Dengan cara apa?”

            “Dengan cara saya.”

 

* * *

 

Pemuda itu keluar dari ruang kepala sekolah. Ia lihat Bayu dan teman-temannya masih hormat bendera dengan ditonton satu sekolahan. Ia meneruskan langkahnya menuju toiletpria. Tidak ada seorangpun di toilet ituselainpemuda itu dan….

            “Kau lihat sendiri kan, Dew? Tugasku kali ini cukup sulit,” keluh pemuda itu dengan sebuah bahasa asing.

            Sesuatu berwujud ponsel melompat keluar dari saku celana pemuda itu, yang kemudian berubah menjadi robot dengan tinggi kurang lebih enam puluh sentimeter.Bentuknya menyerupai manusia dengan tubuh berwarna keemasan. Mata bundarnya yang berwarna hijau menyala terang.

            “Berapa kali harus kukatakan, panggil aku dengan nama lengkapku:Yadsendew!” protes robot itu dengan bahasa yang sama pula.

            “Ya, ya, ya.”

            “Jadi bagaimana?” Yadsendew bertanya. “Apakah itu benar bocah yang kita cari?”

            “Ya. Aku yakin itu dia,” jawab pemuda itu.“Namanya juga sama: Bayu Pratama. Perawakan keras, wajah rupawan, tubuh tinggi, dan keras kepala. Bukankah itu sangat cocok dengan kriteria orang yang kita cari?”

            “Aku juga berpikir begitu. Lalu bagaimana dengan sikap manjanya?Itu sama sekali tidak mencerminkan sifat seorang laki-laki planet Sanivia.”

            “Begitulah jadinya kalau tinggal di planet tenang seperti ini. Diadopsi oleh orang kaya pula. Tapi untuk itulah kita kemari. Melatihnya agar menjadi kuat layaknya prajuritplanet Sanivia sejati, dan membawanya pulang ke sana.”

            “Semoga kekuatannya memang sehebat yang dikatakan para petinggi agar kita bisa mengusir para penjajah biadab itu. Tapi aku benar-benar tidak suka dengan sikapnya tadi. Sepertinya butuh waktu bagi kita untuk memberitahu yang sebenarnya tentang dirinya. Sepertinya ini akan sangat sulit, Dave.”

            “Dari awalsudah kubilang, ini tidak akan berjalan mudah. Aku akan berusaha semaksimal mungkin.Mulai dari penyamaranku sebagai Karno, hingga melatih Bayu Pratama, sang penguasa Lubang Hitam!”

Leave a Comment