A thousand winds

            Seseorang harus punya suatu yang ia percaya untuk bisa bertahan hidup. Begitupun aku, aku percaya bahwa tuhan memiliki suatu yang manis untuk masing-masing umatnya. Juga bagiku yang sangat mengharapkan suatu kehidupan yang manis. Meski saat ini adalah saat dimana aku banyak mengeluh dan aku merasa buntu. Aku masih ingin terus memegang kepercayaan itu. bahwa aku pasti akan menemukan jalannya, jawabannya.

             Inong. Begitulah orang-orang selalu memanggilku. Nama itu mulai melekat di tubuhku sejak aku berumur 2 tahun. Pada saat ayahku sering mendengarkan salah satu statiun radio. Satu tokoh lucu dalam sebuah iklan radio yang sangat Ayah sukai tersebut bernama Inong. Sejak saat itu Ayah maupun orang di sekitar mulai memanggilku dengan sebutan Inong. Sampai akhirnya aku tumbuh dewasa dan tak banyak orang yang tau nama asliku.

            Berbicara tentang tumbuh. Aku memiliki cerita yang ingin aku bagi pada banyak orang.

            Sepanjang aku bisa mengingat tak banyak kenangan dimana aku dapat melihat ayah setiap hari. Entah sebab apa, aku mulai tinggal berdua saja bersama nenekku. Di rumah sempit yang seingatku pernah aku tinggali bersama ayah, ibu dan kakak laki-lakiku. Pada saat itu aku belum banyak mengerti mengapa mereka tak ada disampingku. Dan aku tak cukup punya keberanian untuk menanyakan hal tersebut pada nenekku. Aku hanya diam dan menyimpan pertanyaan.

Setiap hari aku terbangun sendiri dari tempat tidur dan melihat nenekku tengah menanak nasi. Nenekku tak pernah banyak memasak lauk. Ia hanya menyiapkan telur dadar atau ikan asin. Entah untuk pagi, siang atau malam. Jika aku merengek meminta jajan, ia akan mengeluarkan uang seribu rupiah yang ia sembunyikan dibalik batik kumalnya. Jika aku meminta jajan kedua kalinya di hari yang sama, nenek tak segan memarahiku. Kadang aku tak bisa terima. Aku berpikir lebih baik aku menangis saja sekencang-kencangnya. Tetangga kerap protes karena suara tangisku mengganggu kedamaian mereka. Dan bila sudah seperti itu, nenekku makin tak sabar untuk menghentikan tangisku. Dia akan mengangkat apapun benda yang ada didekatnya dan mengancam akan memukulku dengan benda itu jika aku tak berhenti menangis. Alih-alih berhenti, biasanya aku memilih untuk semakin menjerit-jerit karena kesal pada tetangga yang malah menyulut emosi nenekku. Aku menjerit-jerit saat itu sebagai bentuk protes pada nenek dan tetanggaku.

            Saat itu adalah liburan tahun pertamaku di sekolah dasar. Ayahku datang berkunjung bersama kakak laki-lakiku. Hari itu aku pikir betapa senangnya jika ayah ada di sini. Aku dapat jajan berkali-kali dalam sehari. Bahkan aku dapat membeli jajanan yang dari dulu aku selalu ingin aku beli di warung dekat rumahku. Dan keinginanku lainnya. Yaitu mengenakan baju bagus di lemari yang selalu nenek larang untuk aku kenakan. Untuk hari itu saja aku merasa tak ada alasan bagi teman-temanku untuk tidak bermain bersamaku. Aku punya bekal yang sama seperti yang mereka miliki disaku celananya. Aku mengenakan baju bagus seperti yang selalu mereka kenakan sehari-hari. Ayah, ku mohon jangan pergi. Ini pertama kalinya aku bisa mengingat bahwa aku punya Ayah.

            Tapi Ayah tak dapat mendengar seruan hatiku. Suatu pagi, dia dan kakak laki-lakiku sudah berpakaian rapi pagi-pagi sekali. Saat itu nenek mengantar mereka untuk pergi. Aku hanya bisa menatap dari kejauhan tanpa bisa merengek agar Ayah tetap tinggal bersamaku. Aku tak berani. Bahkan aku bertanya apakah mungkin aku berhak untuk memintanya tetap tinggal bersamaku. Aku hanya melihatnya tersenyum dan melambaikan tangan.

            Sepertinya aku telah tumbuh tanpa berdamai dengan nenekku. Hubungan kami masih tetap sama seperti saat aku berumur 4 tahun. Setiap hari aku masih merengek dan menangis. Dan rupanya makin banyak orang yang kumusuhi dalam hatiku. Tak satupun orang di sekelilingku yang aku suka. Tapi akupun tak punya keberanian untuk melawan mereka secara terang-terangan. Satu-satunya bentuk protes yang bisa aku luapkan adalah menangis menjerit-jerit saat nenekku memarahiku. Tak peduli itu kekesalan pada siapa, aku hanya akan menumpahkannya saat itu.

            Disaat aku sudah membenci semua orang yang tinggal di sekelilingku. Ada satu orang baru yang mulai datang dalam hari-hariku. Ibu. Seharusnya aku mengenali wajah itu dan bisa lebih dekat dengannya. Tapi aku tak bisa. Aku tak bisa mengenali wajah yang selalu melamun dan punya dunianya sendiri. Bahkan saking asyiknya berkutat dengan dunianya sendiri ia sampai tak bisa melihatku tumbuh dari hari ke hari. Dia hanya membawaku pergi dari rumah lama itu menuju rumah baru yang lebih besar. Dan aku hanya mengikutinya karena nenekpun mengikutinya. Tak ada pilihan bagiku. Tak ada.

            Meski kehadirannya tak seperti kehadiran ayah yang mewujudkan semua keinginanku. Tapi aku juga merasakan bahwa hidupku mulai membaik. Nenek tak lagi berteriak-teriak memarahiku. Dan semua baju bagus yang ada di lemari bisa aku pakai untuk bermain sehari-hari. aku mulai hidup membaik meski hatiku tetap saja protes karena merasa kehadiran ibu seperti ada bagiku. Ia tak pernah menengokku dan aku tak berani mengusiknya. Aku hanya melihatnya kadang bersama temannya. Datang kemudian pergi lagi. Kadang tidur seharian di kamar mendengarkan lagu-lagu yang ia suka. Bau badannya selalu wangi setiap kali ia melewatiku. Ibu selalu cantik dengan pakaian bagus yang ia kenakan. Suatu waktu ketika ia sedang tertidur dan pintu kamarnya terbuka, aku sangat ingin masuk dan berharap ia mengajakku untuk tidur disampingnya. Namun keinginan itu tak pernah terwujud sampai aku berajak dewasa dan mulai mengabaikan impian konyol tersebut.

            Alih-alih memikirkannya aku mulai menetapkan satu kerinduan yang kurasa lebih baik untuk dirasakan. Aku mulai merindukan kehadiran ayah dan berharap suatu saat ia akan muncul kembali bersama kakak laki-lakiku. Aku mulai mengingat bahwa pernah hadir satu pelukan hangat dalam hidupku. Pelukan dari ayahku.

            Semasa kecilku, aku telah banyak menyimpan rasa benci. Namun seiring berjalannya waktu, rasa itu mulai berganti dengan harapan dan mimpi-mimpi. Aku tidak ingat, kapan aku mulai menjadi gadis pendiam dan asik mengurung diri sendiri di kamar. Aku hanya nyaman ketika aku mendengarkan seorang Dj mengoceh di radio. Karena aku dapat merasakan bahwa dunia ini tidak sepi. Akupun mulai merangkai cerita-ceritaku sendiri. kadang aku mencatatnya, kadang aku hanya merenungkannya. Sambil kupandang jalan sepi dari balik jendela kamarku. Hati adalah teman terbaik untuk aku bertanya dan menemukan jawaban. Seperti Dj yang selalu ramai bertanya dan memjawab pertanyaannya sendiri.

            Ibu, aku telah banyak diam dan berpikir dalam hidupku. Saat ini aku merasa bahwa aku ingin mulai mencari sesuatu yang mungkin membawaku keluar dari rumah yang sepi ini dan mendapatkan kehidupan yang manis. Walau selama ini aku tampak tak peduli. Tapi tetap saja, aku sering terluka karena kau seolah mengabaikanku. Dan orang-orang disekeliling yang entah mengapa seolah terusik dengan kehadiranku. Aku ingin lenyap dari hadapan mereka.

            Tak pernah ku bayangkan bahwa gemuruh besar akan datang mengoyak rumahku yang hening. Aku kedatangan orang yang selalu kurindukan. Tapi kali ini berbeda. Dia tak nampak seperti orang yang aku banggakan. Urat wajahnya menegang memancarkan kemarahan yang dahsyat. Ia berhadapan dengan ibu cantikku yang mulai menangis menjerit-jerit. Sedang ku lihat kulihat disisi lain, kakak laki-lakiku berusaha keras menyembunyikan tangisnya.

Tas ransel besar berisi baju-baju milik kakakku masih ia dekap erat-erat. Dengan wajah merah padam kakak masih duduk berjongkok didapur walau Ayah sudah pergi. Saat itu aku paham bahwa kedatangan Ayah kali ini adalah untuk mengantarkan kakak agar seterusnya dapat tinggal disini. Ayah bilang ia tak sanggup membayar uang sekolah Kakak. Saat itu aku merasa bahwa satu-satunya malaikat yang aku punya didalam hatiku telah mati. Ayah tak ubahnya dengan orang-orang yang kubenci. Hanya bisa membuat aku menangis.

Sudah seminggu Kakakku di rumah ini. Namun tak juga ia membongkar ransel dan membereskan baju-bajunya ke dalam lemari. Ku beranikan diri mendekatinya. Tak nampak seperti manusia. Yang nampak hanya pupil mata membesar yang berusaha ia tutupi dengan rambutnya. Ia masih tertidur memeluk ranselnya. Ingin ku dekap dan menghapuskan segala kesedihannya. Ingin ku katakan bahwa ia tak sendiri.

Tapi dikemudian hari, Kakakku perlahan bangkit. Hari itu adalah hari dimana ia memutuskan meninggalkan sekolah yang ia cintai. Ia mulai bekerja di sebuah home industri pengrajin topi. Ia lakukan apa saja yang ia bisa kerjakan agar ia dapat uang. Setiap hari bekerja keras dan mempelajari hal-hal baru. Hingga akhirnya ia bisa menjahit dan mendapat upah yang lebih besar. Diam-diam ia juga menyisihkan upahnya dan menabung.

            Kakakku yang pendiam. Aku tidak tau apakah kau memang pendiam atau kau memutuskan untuk diam sejak hari naas itu. Tapi semenjak kehadirannya aku merasakan sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Kedatangannya tak pernah aku nanti-nanti. Namun ternyata kedatangannya adalah yang paling aku butuhkan. Ia tak membelikan baju bagus untukku. Tapi ia selalu merapikan dandananku dari kepala sampai kaki. Ia meninggalkan sekolahnya kemudian mencukupi kebutuhan pendidikanku. Namun pada intinya kehadirannya adalah menyampaikan bingkisan tuhan yang sebelumnya selalu ku ragukan. Kasih sayang.

            Setidaknya aku berterima kasih pada Ibu yang telah melahirkannya untukku. Dan juga pada Ayah yang telah mengantarkan ia kesampingku.

Leave a Comment