Dapur

Seseorang yang berkecimpung dalam bidang tertentu sepertinya hanya akan tertarik pada hal-hal yang berhubungan/berkaitan dengan bidang yang digelutinya. Setidaknya teori itu aku dapatkan setelah melakukan sebuah obrolan mesra dengan ibuku di dapur beberapa menit yang lalu. Sambil ditemani sebuah lagu yang lawas abis dari handphone milik bersama (ibu dan bapak), ibu asyik menggoreng serundeng sambil bersenandung riang mengikuti si penyanyi lagu itu. Aku duduk di belakangnya, memandang langit dengan tatapan nanar, menerawang jauh kesana. Baik audio maupun visual pada ruangan itu benar-benar aneh. Di dapur mana lagi kamu akan melihat seorang ibu yang terlihat begitu bahagia, bernyanyi2 sambil menggoreng sedangkan anaknya di ruangan yang sama terlihat sangat putus asa, yang dari sorot matanya seperti ingin mengakhiri hidup. Ini baru keanehan pertama. Keanehan selanjutnya adalah irama yang dihasilkan oleh perpaduan antara suara musik dengan  suara dari aktivitas menggoreng . Sreng srong sreng aku pun tak sudi sreng melihat srong dia lagi srooooooong.… (kebetulan lagu Inke Christy). Sungguh kombinasi yang luar biasa janggal, kalau dalam linguistik mungkin itulah yang disebut “kalimat rumpang”.

          Sebenarnya ketika itu aku berpikir, dengan gaya tatapan menerawang aku akan terlihat seperti orang pintar yang sedang berpikir untuk memecahkan sebuah masalah besar. Menurutku, dulu seorang ilmuwan fenomenal seperti Enstein gayanya kurang lebih seperti itu ketika sedang memikirkan rumus E = m.c2. Atau seperti Socrates—seorang filsuf ternama, dengan posisi yang sama seperti yang kumaksudkan dia kemudian mampu memikirkan sebuah kalimat filosofis yang sangat terkenal “yang aku tahu bahwa aku tidak tahu”. Tapi  walaupun gaya kami mungkin sama, namun kesan yang ditimbulkan berbeda. Aku saat itu justru terlihat seperti orang yang sarat dengan problem yang tingkat kegalauannya mendewa-dewi, sama sekali tidak ada pancaran karismatik yang keluar. Memang naïf, aku menyadarinya.

          “Bu, ternyata cahaya matahari yang kita lihat sekarang adalah cahayanya delapan menit yang lalu”. Aku memulai pembicaraan, masih dalam posisi menerawang tanpa menoleh kearah ibu yang kuajak bicara. Sekali lagi, aku benar-benar ingin terlihat mengagumkan, cerdas, pintar, berwawasan luas, disiplin, hemat, maju, religius, dan berbudaya. “Kenapa, karena ada pembiasan?” beliau menjawab (menjawab atau bertanya, sih?), sama sepertiku tidak menoleh kearah lawan bicaranya. “Bukan, itu karena jarak bumi dengan matahari adalah delapan menit cahaya, artinya cahaya dari matahari membutuhkan waktu delapan menit untuk bisa sampai ke bumi.” Dengan sigap, tangkas, dan cerdik aku menjelaskan. Aku yakin, ibu akan tersepona (terpesona yang bertuba-tuba (bertubi-tubi yang membabi buta)) mendengar jawabanku yang terdengar sangat intelek. Pasti sebentar lagi beliau akan berkata “Oh, anakku.. kenapa kau bisa secerdas ini? Ibu bangga padamu, nak.” Hahahay….

          Tapi apa yang terjadi saudara, bayanganku tidak sesuai dengan kenyataan. Buih tinggallah buih. Lara merundung menyesakkan dada, hati masygul laksana sungai kering mengungkung ikan-ikan penuh dahaga (http://bahasasiletinvestigasi.com). Sampai lima detik berlalu belum ada respon. Sepuluh detik masih belum juga. Sepertinya memang tidak akan ada jawaban. Jangankan memperlihatkan tanda-tanda kagum, sekedar mengatakan oo.. saja untuk menunjukkan basa-basi tidak sama sekali. Sepertinya, menurut beliau sutil, wajan, dan serundeng memiliki daya tarik yang jauh lebih besar dari pada fakta ilmiah.Cute-hi5-04

Leave a Comment