Dan Bintang Mencair Di Batas Vanilla

bukan pada pagi yang sejuk.
hanya tegur sapa seadanya saja.
kataku katamu yang masih berpendar bebas hingga mengujung di angkasa, terbias hingga seperti vanilla.
bukan pada yang manis dan cantik sepertinya.
apa, pelangi?
juga bukan (kataku)

tengoklah, sedikit saja. disana tlah tertulis.
satu permintaan, atau dua, atau tiga atau bahkan beribu.
darimu bukan ?
yang tlah tersusun rapih seperti pola-pola pasir di luasnya Sahara
yang kau rangkai bersama takdir kecilmu oleh tanganmu yang menaungi mimpi abu-abumu

dan ketika bintang tlah mencair menetes di balik ubun-ubunmu, petunjuk arahmu sedikit pudar
akan terlihat samar dan semakin berpendar abstrak tanpa algoritma lagi
dikatakan sia-sia, tak tega rasanya
sepertinya kemarin baru saja yang ada adalah senja tak berfatamorgana
lalu angin-angin yang hanya mengombang-ambingkan segembong frasa yang belum tepat berdiri tegak
rasanya tubuh meluruh dan gontai menjadi satu di persimpagan jalan tanpa penunjuk arah

aih, rasanya ingin sekali satu kali saja kau lukiskan lagi bersama tinta warna merah mudamu
sedikit merah dengan putih yang berpendar menjadi warna yang cukup bersahaja
tanpa kata tanpa bahasa tak apalah
abstraksi itu aku cukup suka
ambigu ?
iya…
karna, biarlah hanya aku dan Tuhanlah yang tahu
bukankah kebaikan itu ditujukan padaNya?

sembari menghitung tetesan bintang yang mencair,
menampungnya dalam satu kendi hitam yang kan aku bawanya ia di ujungnya lingkaran ini
menyusunnya kembali, tanpa batas lagi, tanpa abu-abu lagi
lalu disana aku tatap wajahku sendiri pada  bias bayangan mentari
tak tampak, hanya hitam sedikit putih tanpa warna merah muda lagi

aih, sambil ku torehkan sajak kecil ini di papan kayu yang tlah usang
biar aku jadikan sampan yang kelak kan membawa aku ke bintang
hingga akhir, hingga terjuntai seutas cerita yang tak elok namun cukup berwarna
lalu, kita berjapat dengan tangan yang sejuk menggenggam hidup
di akhir cerita… di akhir bintang padam.

Leave a Comment