Fenomena mengkritik cara baru, yaitu dengan menggalang dukungan lewat hashtag (tanda pagar) di sosial media twitter dan kritik lewat meme (foto beredit tulisan atau cerita bergambar yang berisi kritik yang disebarluaskan melalui media-media berbasis internet) begitu menarik perhatian belakangan ini. Bagaimana tidak, perkembangan kebijakan pemerintah sedikit banyak dipengaruhi oleh kedua produk teknologi itu.
Sebut saja, ketika polemik KPK versus Polri lalu. Muncul tanda pagar #SaveKPK, berisi komentar dukungan untuk lembaga antirasuah terkait upaya pelemahan yang dilakukan Polri dan Presiden Jokowi. Gara-gara tagar itu, tingkat kepercayaan rakyat kepada orang nomor satu di Indonesia itu menurun.
Contoh lain, tentu semua orang tahu perseteruan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham Lunggana alias Haji Lulung. Kali ini lebih ekstrem. #SaveAhok dan #SaveHajiLulung. Bukan hanya menurunkan nama baik masing-masing di ranah nasional, tapi juga mampu menyita perhatian dunia. BBC News, pentolan pemberitaan Inggris pernah menyinggung ini. Penyanyi Justin Beiber dan One Direction sempat menanyakan, “Who is Haji Lulung?” lewat akun twitter masing-masing. Bahkan, Vladimir Putin, Pemimpin Uni Soviet pun tidak mau ketinggalan mencuit lewat media sosial yang sama.
Meme juga tidak ketinggalan berpengaruh. Selama berbulan-bulan, Haji Lulung menjadi aktor top di situs www.1cak.com. Di laman internet khusus meme itu, Lulung diibaratkan sebagai orang paling digdaya di dunia. “Diludahin Haji Lulung, gue kaya raya, ludahnya jadi duit”. Sampai seperti itu.
Ini adalah bukti bahwa teknologi komunikasi yang berkembang di jaman sekarang telah mempengaruhi cara kritik kepada pemerintah. Hebatnya, pengaruh ini lebih signifikan daripada saat teknologi berbasis internet ini belum eksis di Indonesia beberapa tahun lalu.
Ingat sebelum tahun 1998. Kala itu, kritik kepada pemerintah hampir nol karena sikap diktator Soeharto yang tak segan melenyapkan penentangnya. Hingga akhirnya pengumpulan simpatisan mahasiswa besar-besaran di Senayan mampu menggulingkan presiden ke-2 RI itu.
Presiden Habibie yang menggantikan posisi Soeharto paska lengser, langsung mengembalikan fungsi media dengan menerbitkan Undang-Undang Pers Nasional. Setelah itu, kritik-kritik mulai bermunculan. Media komunikasi mulai dari: Koran, Televisi, dan Radio menjadi tempat penyampaian kritiknya.
Kini, ketika memasuki era tekonologi internet yang mengencang, muncullah meme dan tagar di facebook, twitter, instagram, LINE, Blackberry Mesengger, Whatsapp, dan lain sebagainya sebagai wahana “mengkritik” yang baru. Dan ternyata, kritik ala teknologi ini ternyata lebih bisa membuat pemerintah bergeming daripada pendahulunya.
Keuntungannya tak lain adalah bisa diakses semua orang tanpa kecuali. Entah pelajar sekolah, mahasiswa, atau pengangguran diperbolehkan menyuarakan opini lewat meme atau “kicauan” twiter diserati hashtag. Sehingga partisipasi kritikus dari pelajar perpendidikan tinggi sampai rakyat biasa tercakup. Sehingga antusias “mengkritik” masyarakat menjadi besar. Berbeda dengan surat kabar yang mengutamakan opini dari seorang terpelajar saja.
Keuntungan lain adalah berbasis internet. Teknologi ini memungkinkan informasi dapat tersampaikan ke segala tempat yang jauh dalam hitungan sepersekian detik. Jadi, mendukung atau mengkritik isu tertentu sangatlah mudah didengar ratusan massa, bahkan seluruh masyarakat Indonesia.
Juga para pemilik akun-akun jejaring sosial ini termasuk presiden dan pejabat Negara. Alangkah malunya bila namanya muncul di trending topic twitter tetapi bernada negatif. Lebih efisien menyentil telinga pemerintah daripada harus panas-panasan berdemo atau berdebat di televisi.
Akhirnya, meme dan social media menjadi “teknologi” kritik paling mutakhir dewasa ini. Belum terbuka kemungkinan gairah membuat meme dan berkomentar ala media sosial akan meredup dalam waktu dekat. Yang pasti teknologi komunikasi akan terus berkembang mengubah masa depan tanpa mengenal kata berhenti.