Self Publishing adalah proses publikasi yang dilakukan tanpa keterlibatan pihak ketiga. Istilah self publishing di Indonesia sering digunakan dalam proses penerbitan sebuah buku. Dalam metode ini penulis memegang penuh seluruh kontrol proses penerbitan bukunya. Mulai dari menulis dan mengedit naskah, membuat desain sampul dan layout isi buku, mencetak, menentukan harga maupun proses pemasarannya semua dilakukan oleh penulis.
Istilah self publishing mulai dikenal pada tahun 1917. Sepasang suami istri dari Inggris Virginia Woolf dan Leonard Woolf mendirikan sebuah perusahaan penerbit untuk menerbitkan sendiri hasil karya mereka. Sejak munculnya penerbit indie milik pasangan Woolf, mulailah banyak bermunculan penerbit-penerbit indie lain di dunia literasi. Metode self publishing di Indonesia juga telah digunakan oleh beberapa penulis. Dewi lestari dan Asma Nadia adalah penulis Indonesia yang telah mempraktikkan self publishing.
Penulis Self Publishing di Indonesia
Dewi lestari atau yang dikenal dengan Dee menerbitkan novel pertamanya Supernova Satu Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh secara self publishing. Berbekal uang tabungannya Dee mendirikan sebuah penerbit indie dengan nama Truedee Books. Alasan dee mendirikan Truedee Books karena ia tidak ingin naskahnya diedit oleh penerbit. Beberapa kali Dee memang sempat ditolak oleh beberapa penerbit karena masalah editorial. Dibawah Truedee Books novel Supernova Satu Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh ini terjual 12.000 ekslempar dalam 35 hari saja.
Dee juga meluncurkan novel pertamanya Supernova Satu dalam edisi inggris pada tahun 2002. Dia bekerjasama dengan Harry Aveling sang ahli penerjemah karya sastra indonesia ke bahasa inggris. Novel pertama Dee akhirnya dapat menembus pasar internasional. Supernova Satu ini bahkan pernah masuk nominasi Katulistiwa Literary Award (KLA). Tahun 2003 awal Dee sempat menjalin kerjasama dengan penerbit mayor (penerbit besar) untuk novel Supernova Dua Akar. Tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama. Pertengahan tahun 2003 Dee mulai melakukan self publishing kembali bersama penerbit indienya.
Sama halnya dengan Dee, Asma Nadia juga telah memiliki penerbit indie sendiri dengan nama Asma Nadia Publishing House. Alasan utama pendirian Asma Nadia Publishing House sedikit berbeda dengan Truedee Books. Jika Dee karena masalah editorial, Asma Nadia mendirikan penerbit indienya karena masalah keterikatan waktu kerja dengan penerbit mayor. Beberapa novel karya Asma Nadia yang diterbitkan melalui Asma Nadia Publishing House telah berpredikat best seller. Bahkan beberapa telah diadaptasi menjadi film.
Penerbitan buku pada umumnya memang melalui penerbit mayor secara konvensional. Penulis mengajukan naskah tulisannya ke penerbit mayor. Penulis kemudian menunggu minimal 1-3 bulan untuk mendapatkan kepastian naskahnya layak untuk naik cetak atau tidak. Saat tema tulisan sudah sesuai dengan standart penerbit, proses tentu akan lebih cepat. Tetapi bagaimana jika penerbit menganggap tulisan penulis belum sesuai dengan standart yang mereka miliki? Maka berarti penulis harus memulai lagi dari awal proses pengajuan naskahnya ke penerbit lain dan menunggu lagi.
Bisnis Self Publishing di Indonesia
Tidak menentunya waktu proses penerbitan sebuah buku melalui penerbit mayor secara konvensional, menjadikan self publishing di Indonesia mulai menggeliat. Penerbit indie mulai bermunculan di Indonesia. Penerbit indie juga menawarkan paket-paket semi self publishing. Beberapa jenis paket semi self publishing yang sering ditawarkan oleh penerbit indie diantaranya:
1. Penerbitan dengan biaya Rp. 0,-
Dengan biaya Rp. 0,- penulis sepenuhnya bertanggung jawab terhadap isi dan kualitas naskah. Nama penerbit pada buku yang tercetak dapat sesuai keinginan penulis. Penulis tidak mendapatkan nomor ISBN. Penerbit hanya membantu memasarkan buku penulis secara online. Buku akan dicetak saat ada pembeli. Keuntungan yang didapat menggunakan sistem bagi hasil setelah dikurangi biaya produksi.
2. Biaya Rp 100.000 – 300.000,-
Penulis sepenuhnya bertanggung jawab terhadap isi dan kualitas naskah. Nama penerbit pada buku yang tercetak mengikuti nama penerbit. Penulis mendapatkan nomor ISBN. Penerbit membantu memasarkan buku penulis secara online. Buku akan dicetak saat ada pembeli. Keuntungan penulis sebesar 10-35 % dari hasil penjualan buku.
3. Biaya diatas Rp 400.000 ,-
Penulis mendapatkan layanan editing naskah, layout, desain cover dan mendapatkan nomor ISBN dari penerbit. Hampir sama prosesnya dengan sistem konvensional. Hanya saja naskah pasti terbit, penulis tidak usah khawatir untuk mendapatkan penolakan dari penerbit. Keuntungan yang didapat 5-10 % dari hasil penjualan buku.
Praktek self publishing di Indonesia juga memudahkan penerbit menemukan penulis-penulis berkualitas. Saat seorang penulis menerbitkan buku melalui jalur paket semi self publishing, penerbit sekaligus dapat mengamati respon pasar terhadap karya si penulis. Ketika respon pasar bagus berarti penulis sudah dapat diakui kredibilitasnya. Untuk kesempatan selanjutnya penerbit tidak akan ragu menerbitkan buku si penulis secara konvensional. Biaya dan tanggung jawab editorial, desain dan pemasaran sepenuhnya akan ditangani oleh penerbit. Penulis sekarang hanya cukup menyiapkan naskah saja. Tentu hal ini akan menguntungkan kedua belah pihak bukan?
Terbukti ternyata trend self publishing di Indonesia dapat melahirkan bisnis baru. Tidak hanya penerbit indie, bahkan beberapa penerbit mayorpun juga telah melakukan bisnis ini. Self publishing di Indonesia tentunya juga menjadi wadah bagi penulis-penulis baru meyumbangkan hasil karyanya pada dunia literasi Indonesia.