‘Kahuripan’ nama kereta ini. Sebuah kereta kelas ekonomi yang membawaku menuju Yogyakarta. Lucunya, kahuripan dalam bahasa indonesia berarti ‘kehidupan’. Sesuai dengan potret kehidupan sebagian masyarakat kita di dalam gerbong-gerbong Kahuripan.
Oleh Isa Jatinegara
Aku berdiri di sini bersama keramaian menatap ke arah cahaya lampu yang menyorot dari barat stasiun Kiaracondong. Tubuh besi itu merayap pelan-perlahan masuk ketempat pemberhentian. Jes-gejes-gejes, berat suara khasnya menggelitik telinga.
Kereta kelas ekonomi Kahuripan yang dijadwalkan tiba pukul 19.40 WIB tersebut, tiba tepat waktu.
Kereta itu cukup panjang dengan beberapa gerbong berbalut cat merah dan biru dongker.
Semua orang bersiap-siap ketika kereta mulai masuk dengan perlahan.
Setelah ia benar-benar berhenti, orang-orang yang berada di peron langsung bergegas masuk ke dalam gerbong. Segera saja kuikuti langkah mereka.
Lalulintas di dalam gerbong benar-benar sesak. Belum lagi keluar orang yang akan turun, para penumpang yang di luar sudah terlebih dahulu naik. Sehingga semua orang harus berjejalan di dalam. Sebuah pemandangan yang tak akan ditemukan jika kita menggunakan kereta kelas bisnis, lebih-lebih eksekutif.
Tempat dudukku berada di gerbong tengah. Ketika kutemukan kursi itu telah ditempati orang, aku pun memilih pindah ke sebelahnya─21 D.
Pemandangan lazim di sini adalah para pedagang yang langsung menjajakan dagangannya semenjak penumpang mendapatkan kursinya masing-masing.
“Nasi..nasi” kata seorang ibu.
“kopi.. kopi, teh..” sambut yang lainnya.
Kehadiran para pedagang itu cukup meramaikan keadaan di dalam gerbong Kahuripan.
Setelah cukup lama kereta berhenti. Peluit ditiup, Tanda kereta akan berangkat. Ketika kereta mulai berjalan, waktu menunjukan pukul 19.52 WIB. Ia berjalan, merayap pelan hingga nanti kecepatan bertambah sampai batas maksimalnya.
Jes-jes-jes
Kereta melintasi rumah-rumah penduduk di kanan-kirinya. Biasanya, orang-orang yang kebetulan rumahnya berdekatan dengan jalur kereta tak akan terganggu dengan suara kereta yang berat. Mereka telah terbiasa setiap harinya mendengarkan suara-suara itu.
Selain areal pemukiman, si tubuh besi ini melintasi areal persawahan dan perkebunan. Sayang, karena malam aku tak bisa melihat dengan sempurna semua keindahan yang hanya sekali waktu dapat dirasakan.
Stasiun pemberhentian pertama dari Kiaracondong adalah Rancaekek. Waktu menunjukan pukul 20.02 WIB. Para penumpang dari stasiun itu masuk mengisi kursi-kursi yang masih kosong. Tempat duduk yang tadi hanya diisi olehku saja kini ditempati oleh seorang bapak, yang denganku berhadapan anak gadisnya yang akan menikah, serta seorang lelaki muda sebaya denganku yang terlihat sangat lelah.
Satu hal yang menyenangkan bepergian dengan kereta api lintas provinsi seperti saat ini adalah, dua suku berada dalam satu kereta yang sama. Dua bahasa, dua kebudayaan. Sunda dan Jawa. Mendengarkan logat bahasa ketika mereka bercengkerama benar-benar meninabobokanku. Menyenangkan.
Stasiun Cibatu, 21.25 WIB.
Setelah sampai disini, aku baru sadar, kereta ini terlalu sepi..
Ada pertanyaan yang muncul di kepalaku, Ke mana para pengamen?
Ini terlalu aneh, tak biasanya.. Lebih tertib, sangat tenang..
Yang ada semenjak tadi hanyalah para pedagang yang menjajakan dagangannya yang jika aku hitung terdiri dari 18 lebih jenis dagangan yang dijajakan. Mulai dari kaos kaki, alat tulis, makanan, boneka kelinci, teka-teki silang sampai hiasan kaligrafi ataupun jam tangan. Mereka tak henti-hentinya menawarkan apa yang mereka punya. Salah satu potret masyarakat kita tergambarkan jelas dalam gerbong kereta kelas tiga ini. Perjuangan orang-orang kecil yang berusaha bertahan hidup dengan berjualan di dalam kereta, termasuk para pengamen yang sejak tadi aku nantikan. Kehidupan yang sama sekali jauh dari kemewahan.
Di sepanjang perjalanan lamunanku kubiarkan mengembara. Sesekali kutarik ia kembali ke belakang. Mengenang masa-masa lalu, apa yang telah aku alami. Sesak dada ini jika teringat akan orang-orang yang kita cintai jauh berada, atau telah tiada. Rasanya bagai ditusuk sesuatu yang bahkan lebih tajam dari sebilah belati. Berat-menusuk-dingin.
Sesekali pula kuajak pikiranku menjelajahi masa depan. Apa yang ada di depan sana?
‘misteri kehidupan’ kata orang-orang.
Berikutnya, lalu siapa? Besok ? Lusa Siapa? Seribu wajah datang dan pergi menyisakan seribu kenangan menyaru.
Seandainya aku dapat membalik waktu, ingin rasanya aku rangkul mereka, sebentar saja, sebentar saja!Dan setiap malam aku putar mesin mimpiku, bermain bersama mereka Wajah - wajah yang aku sayangi hingga esok pagi aku terbangun dengan linangan air mata..
Dengan menggenggam sebuah kamera foto dan polah tingkahku yang mondar-mandir, membuatku menjadi pusat perhatian orang–orang di kereta.
Sebisa mungkin kucatat semua hal yang ada di gerbong-gerbong ini. Mulai dari berapa stasiun yang aku lewati, lengkap dengan waktu tibanya. Juga termasuk orang-orang yang tersimpan dalam gulungan rol filmku.
Total Stasiun semenjak pemberangkatan sampai tiba di Lempuyangan berjumlah 16 stasiun. Kuharap catatanku benar.
Hal yang harus dimaklumi juga adalah toilet yang berada di ujung setiap gerbong. Bau pesing yang tak asing itu kentara tercium. Entahlah, apakah untuk mendapatkan toilet yang lebih nyaman memang memerlukan dana yang cukup besar.
Macam-macam juga bawaan para penumpang. Selain tumpukan tas-tas diatas rak penyimpanan. Ada juga yang membawa furniture meja kecil, sepeda motor yang diikat oleh rapia di gerbong paling belakang. Juga sepeda BMX yang disimpan di dalam sebuah toilet.
Di dalam kereta kusempatkan berkeliling, memotret sana-sini.
Kulihat seorang bapak berambut putih duduk meringkuk menghadap keluar kereta. Ia di depan pintu dekat sebuah toilet.
Entah, apakah ia tidak mendapatkan tempat duduk, tapi kulihat masih ada beberapa tempat duduk yang masih kosong. Kukira ia tidak mempunyai uang untuk ditukar dengan sebuah tiket kereta kelas tiga.
Sengaja ia tidak kuusik, khawatir mengganggu istirahatnya. Kubidik saja ia dengan satu-dua jepretan.
***
Setelah melewati Tasikmalaya, ingin kucoba segelas teh manis hangat yang biasanya dijajakan oleh petugas dari bagian restorasi. Harganya standar, dua ribu rupiah.
Slurp.. kuminum seteguk, lalu seteguk lagi. Menurut indera pengecapku, rasa tehnya tidak enak. Berbeda dengan teh yang biasa aku nikmati. Tehnya sangat transparan.. tidak kental dan tidak begitu manis. Tapi lumayanlah.. sebagai penghangat di kala malam.
Sudah berjam-jam aku menunggu, para pengamen itu belum juga terlihat batang hidugnya. Nampaknya pihak pengelola per-kereta apian telah membuat larangan untuk mengamen dalam kereta.
Dugaanku benar!
Ketika kukonfirmasikan hal tersebut kepada para karyawan PT KAI di bagian restorasi, mereka membenarkan mengenai larangan tersebut.
PT KAI menyewa dua orang petugas dari kepolisian Kediri guna menjaga keamanan di kereta Kahuripan. Para polisi ini ditugaskan oleh komandannya sesuai permintaan pihak PT KAI.
Menurut Nurohman dan M. A. Rivai petugas dari Samapta Kediri yang mengawal Kahuripan tersebut, Sistem keamanan ini baru dimulai sejak 2 bulan yang lalu.
Alasan dari pengamanan ini adalah karena banyaknya keluhan dari penumpang kereta kelas ekonomi, teristimewa Kahuripan. Mereka mengeluhkan mengenai banyaknya pengamen yang acapkali menganggu kenyamanan di sepanjang perjalanan.
Di antara pengamen-pengamen ini ada yang meminta uang dengan paksa, membangunkan penumpang yang sedang terlelap tidur, dan tak jarang di antara mereka melakukan tindakan-tindakan fisik seperti menggeplak kepala penumpang.
Atas alasan-alasan itu pulalah, pihak PT. KAI melakukan langkah responsif guna memberikan layanan yang lebih baik untuk para konsumennya.
Banyak yang ingin aku tanyakan kepada kondektur yang bertanggung jawab di kereta tersebut. Hanya saja sayangnya, kondektur yang aku temui enggan berkomentar menjawab pertanyaan-pertanyanku. “Lebih baik tanyakan saja kepada Kadaops,” ujarnya.
Si bapak yang satu ini memang agak sulit ditaklukan. Sampai akhirnya obrolan berakhir, karena penggantian kondektur dilakukan. Aku tidak mendapatkan informasi mendetail yang imgin kuketahui. Bahkan permintaanku untuk memotret di ruang kemudi ditolaknya mentah-mentah. Dengan alasan dia hanya menjalankan tugasnya dan harus ada izin dari kepala daerah operasional (Kadaops). Tapi setidaknya dengan obrolan singkat tadi, menyiratkan ada sesuatu yang terjadi, terutama berkaitan dengan tidak adanya pengamen yang biasa terlihat, dan aku punya rencana..
***
Seperti rencanaku sebelumnya. Aku akan nekat masuk ke ruang kemudi untuk memotret.
Salah satu yang menguatkan tekadku adalah bayangan tentang sunrise yang bisa aku rekam dengan kamera fotoku melalui jendela depan ruang kemudi, pasti indah..
Ketika tiba di Kebumen pikiranku terfokus kepada bagaimana caranya aku bisa naik ke ruang kemudi di depan sana. Saking inginnya, aku sampai lupa mencatat jam berapa tiba di stasiun ini. Padahal dari awal keberangkatan aku selalu mencatat setiap kali tiba di setiap stasiun.
Segera saja kugendong ransel dan gembolan kantong berisikan peralatan fotografiku.
Aku turun dan langsung berlari menuju ruang kemudi. Aku harus cepat, kereta ini tidak berhenti lama.
Akhirnya sampailah aku di depan. Kudongakan kepalaku. Kulihat bayangan orang didalam sana. Ia menoleh ke arahku.
Kuacungkan saja kartu pers-ku. “wartawan pak! Minta izin motret di dalam,” kataku berharap.
Kulihat mereka yang di dalam berbicara.
Keyakinanku 50:50 untuk dapat izin masuk
“Mau motret apa?” tanya orang di dalam.
“Cahaya matahari jam setengah enaman pak”
“Kalau gitu nanti saja jam segitu”
“Saya mau motret dalam ruang kemudinya sekarang,” alasan yang kurang punya hujjah sebetulnya. Tapi toh akhirnya mereka mengizinkan masuk.
“addaw..” lirihku menahan sakit jari yang terjepit pintu— yang ke tiga kalinya sejak aku di kereta.
***
Di dalam ruangan itu ada seorang masinis yang bertanggung jawab mengemudikan kereta tersebut. Lalu, Seorang asistennya yang tadi berbicara denganku, dan ketiga orang bukan staf PT KAI. Sepertinya mereka penumpang gelap—orang yang naik kereta dengan alasan tidak mempunyai uang. Peraturan adalah peraturan, namun hati nurani masinis dan asistennya adalah lain hal.
Ruangan itu tidaklah begitu luas mungkin jika ditaksir sekira 2 x 2,5 Meter. Tempat itu gelap tanpa pencahayaan. Cahaya satu-satunya selain lampu indikator yang menunjukan kecepatan kereta adalah remang cahaya bulan di luaran sana.
Aku berdiri di samping belakang masinis. Ketiga penumpang ilegal itu rebahan di tempat yang agak kosong di sisi kiri kereta. Di atasnya duduk asisten masinis tadi.
Kalau tak salah jam, selularku pada waktu itu menunjukan pukul tiga-an. Berarti aku akan berdiri disini sekitar 2 jam sebelum akhirnya tiba di Lempuyangan. Tidak begitu buruk, aku pernah dapat yang lebih buruk dari ini.
Derum mesin kereta terdengar lebih keras di sini. Sejak tadi aku belum tidur barang sedetik pun..
Satu-satunya alasan mengapa ada orang dapat menikmati tidur disini adalah, rasa lelah.
Lampu indikator kereta tersebut naik turun. Kecepatan maksimal yang sempat aku rekam mencapai 92 Km/jam. Sesekali sang masinis mengurangi kecepatan. Sesekali pula sang masinis menarik tungkai yag ada di sisi kirinya, membunyikan peluit khas kereta api, pertanda kereta api lewat.
Tut-tut-tut
***
Ketika kami tiba di Yogyakarta waktu menunjukan sekira pukul limaan. Kereta begitu saja melewati stasiun Tugu. Tugu memang bukan perhentian kereta kelas tiga seperti Kahuripan ini.
Kereta terus berlalu meningalkan Tugu. Aku tak hentinya memandang ke luaran sana. Memandang kanan-kiri Yogyakarta. Ada sebuah kerinduan dalam hati.
Kereta kembali melambat, merayap lagi hingga akhirnya indikator di depan menunjukan angka nol. Dalam beberapa menit kereta telah sampai di Lempuyangan.
Semua yang ada di ruangan tersebut turun, termasuk masinis dan asistennya.
“Makasih Pak!” teriakku pada kedua petugas itu.
***
Setelah puas beberapa saat duduk di stasiun, aku keluar melewati pintu utama. Di luar telah siap tukang becak, ojeg dan taksi menyambut setiap tamu yang keluar dari stasiun.
“Taksi mas?” tawar salah satu dari mereka.
Dengan gestur tangan aku mengisyaratkan menolak tawaran mereka. Aku ingin berjalan saja.
Sekarang Pukul 05.00 pagi.
Yogyakarta nampaknya masih terlelap tidur. Kuputuskan melewati kawasan Hayam Wuruk. Terlihat di pinggiran jalan satu-dua pedagang yang menjual nasi, sepertinya gudeg.
Selewat aku menerawang. Banyak kenangan di sini.
Tidak seperti satu-dua tahun lalu ketika aku berada di sini. Perasaanku kali ini tidak menggebu lagi. Barangkali karena aku sadar, tak ada lagi yang kunanti di bawah langit Mataram. Harapan itu lenyap, bersamaan dengan genggaman yang kulepaskan di Vredeeberg.
Setelah berjalan cukup jauh, tibalah aku di pertigaan. Bingung memilih jalan mana yang kutempuh. Lurus terus ke depan atau belok ke kanan. Lucu juga pikirku. Seperti teka-teki kehidupan. Kita hanya bisa mengira-mengira apa yang ada di depan sana…
Fin