Oleh: Rahmat Hidayat Nasution
Alkisah, datang seorang wanita ke rumah Rasulullah Saw. Wanita tersebut menceritakan prihal dirinya yang ingin bertaubat, tapi masih malu.
“Ya Rasulullah, aku telah melakukan salah satu dari tujuh dosa besar yang kau sabdakan,” kata wanita tersebut.
“Taubatlah kepada Allah,” Jawab Rasulullah Saw.
“Aku malu pada bumi. Ia mengetahui setiap kali aku berbuat dosa. Kabarnya, di hari kiamat kelak dia akan menjadi saksi atas perbuatan zhalimku. Aku malu.”
“Ia tak akan menjadi saksimu. Karena Allah Swt. berfirman, “Pada hari itu bumi diganti dengan bumi yang lain.” (QS. Ibrahim [14]: 48)
“Tapi langit yang berada di atasku juga mengetahui dan dia juga bakal menjadi saksiku nanti di akhirat. Aku malu, ya Rasul”
Nabi Saw. Pun tetap terus memotivasinya dengan segera bertaubat dengan mengatakan, “Langit akan dilipat. Karena Allah Swt. berfirman, ’Hari itu kami melipat langit seperti melipat lembaran kitab-kitab.” (Al-Anbiya’ [21]: 104)
“Tapi, para malaikat pencatat amal telah menulis dosa-dosaku dalam buku catatan amalku.”
“Sesungguhnya kebaikan akan menyingkirkan keburukan, (Qs. Hud [11]: 114),” jawab Rasulullah. Belum sempat wanita itu berbicara, Rasulullah Saw kembali bersabda,”Orang yang taubat itu seperti orang yang tak memiliki dosa.”
“Tetapi para malaikat berhenti saat menyaksikan amal burukku?”
“Jika seorang hamba bertaubat kepada Allah dan Allah menerima taubatnya, maka Dia menjadikan malaikat pencatat amal lupa dengan apa yang telah ia kerjakan di masa lalu.”
Perempuan tersebut pun bertanya lagi kepada Rasulullah Saw. tapi kali ini dengan menggunakan firman Allah, “Hari itu lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi dengan apa yang telah mereka lalukan.” (QS. An-Nur [24]: 24)
Nabi Saw. menjawab, “Allah berfirman kepada bumi dan seluruh anggota tubuhnya, ‘Sembunyikanlah! Jangan kau ungkapkan kejelekannya selama-lamanya.”
“Benar. Semuanya menjadi hak orang yang bertaubat. Hanya saja tetap gentar pada hari kiamat dan malu ketemu Allah Swt. Bagaimana aku mengatasinya? Apalagi salah satu sabdamu bernada,”Pada hari kiamat orang yang berdosa akan menyebutkan dosanya. Lantas ia malu kepada Allah. Keringat menetes karena malu. Air keringat itu bisa jadi akan sampai ke lututnya, ke pusarnya atau kekerongokongannya. “
Nabi Saw. bersabda, “Hai orang-orang yang beriman, ingatlah hari tersebut jangan melupakannya. Taubat dan mendekatkan dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang.”
Kisah ini layak menjadi cermin. Karena setiap kali kita berbuat dosa, bukan hanya Allah Swt. yang melihat, tapi tanah, langit, dan ciptaan Allah yang lainnya juga mengetahui kita berbuat dosa. Maka wajar, bila wanita tersebut merasa malu. Dia takut di akhirat disebutkan satu persatu dosanya dibongkar. Padahal, ia telah taubat.
Pertanyaan demi pertanyaan wanita tersebut bukanlah menunjukkan dia tidak mau bertaubat. Tapi, ia merasa malu. Malu yang dipikirkan wanita ini, mengajarkan bahwa ketika berbuat dosa ternyata ada ciptaan Allah yang lainnya mengetahui. Meski bukan dari jenis yang sama. Ia merasa tak nyaman bila nanti diakhirat, ciptaan Allah tersebut membeberkan dosa-dosa yang pernah dikerjakannya.
Meski demikian, Rasulullah Saw. telah menjelaskan sebesar apa pun dosa seseorang, jika Allah menerima taubatnya maka akan ‘diputihkan’ segala dosa yang pernah dikerjakannya di masa lalu. Sehingga yang layak dipikirkannya adalah, amal ibadah saat ia taubat dan masa-masa yang bakal dilaluinya hingga nyawanya dicabut.
Untuk lebih jelasnya apa yang mesti dilakukan orang yang bertaubat kepada Allah, bacalah baik-baik sabda Rasulullah Saw. yang bersumber dari Ibnu Mas’ud ini,
“Malulah kalian kepada Allah dengan sungguh-sungguh.”
“Saya malu, ya Rasul,” kata salah seorang sahabat.
“Bukan begitu caranya. Tetapi yang dimaksud dengan malu yang sungguh-sungguh kepada Allah adalah dengan menjaga kepala, perut, selalu mengingat-ingat kematian dan selalu siap menerima ujian dari Allah. Siapa yang menginginkan kehidupan yang tenang di akhirat hendaklah ia tidak terpesona dengan aksesoris dunia. Apa pun alasannya, ia tetap mendahulukan akhirat dari dunia. Siapa yang melakukan seperti ini maka termasuk orang yang memiliki malu yang sungguh-sungguh kepada Allah Swt”.