Pagi ini jalanan-jalanan di kota yang biasanya penuh sesak, nampak lenggang dan sepi. Hanya satu serta dua unit kendaraan yang lalu lalang. Pertokoan masih tutup, pun begitu halnya pasar-pasar yang masih belum aktif kembali. Kucing-kucing pasar menguap, mengantuk dan menahan lapar.
Sebelumnya, izinkan saya mengucapkan selamat Idul Fitri 1435 H, mohon maaf lahir dan bathin. Semoga kita semua diberikan umur panjang agar kembali berjumpa di bulan suci Ramadhan mendatang. Aamiin.
Perayaan Idul Fitri menjadi semacam perayaan rutin yang setiap tahunnya begitu ditunggu-tunggu oleh kalangan masyarakat. Berbagai persiapan dilakukan sejak jauh-jauh hari. Ada yang bersiap untuk menjalankan ibadah puasa sebelumnya agar mendapatkan fitrah di hari yang fitri. Ada yang menabung agar bisa membeli segala keperluan nanti saat lebaran. Ada yang telah menjadwal kegiatan mudik, dan sagala sesuatu lainnya yang dipersiapkan secara matang.
Sesungguhnya, Idul Fitri merupakan suatu momentum yang sangat tepat untuk melakukan transformasi diri dari hal-hal yang tidak baik, sekiranya menjadi suatu pendekatan diri agar menjadi insan yang lebih berbudi guna mencapai kesucian yang hakiki.
Sudahkah kita mencapai fitrah tersebut? Atau, adakah bagian dari diri kita yang mengalami perubahan ke arah yang lebih baik setelah sebelumnya diuji di Bulan Ramadhan? Dan bagaimana pula mempertahankan kesemua itu agar tetap menjadi lakon dalam kehidupan kita sehari-hari, bukan hanya sekedar hinggap semata lalu hilang dan kembali ke kehidupan yang membosankan serta jauh dari nilai-nilai Islami?
Kesemua pertanyaan itu sepetutnya hanya kita dan Tuhanlah yang tahu jawabannya. Namun marilah kita sedikit kembali mengingat apa yang telah kita lakukan di Bulan Ramadhan yang lalu.
Menjadi lebih sibuk
Pasar-pasar menjelang habisnya puasa menjadi lebih ramai dari biasanya. Ribuan manusia tumpah ruah di pusat-pusat perbelanjaan. Jalanan berubah menjadi tempat menjajakan berbagai jenis pakaian, sepatu, sandal, hingga kembang api dan mercon.
Semua berbondong-bondong berbelanja dalam jumlah besar. Mesjid menjadi lebih sepi bila dibanding dengan awal-awal Ramadhan tiba. Tak ada yang fokus lagi kepada peningkatan ibadah saat akhir-akhir Ramadhan. Terminal penuh sesak oleh para pemudik yang rindu kampung halaman, bahkan suara takbir hanya sayup-sayup terdengar, ditutupi oleh suara mercon yang sahut-sahutan seperti menjelang pergantian tahun yang meriah dan wah.
Itu hanyalah sebagian potret rutinitas masyarakat menjelang Ramadhan usai. Masyarakat kita yang memang sudah sangat komsumtif, malah makin menjadi-jadi di momen-momen seperti ini. Perputaran uang luar biasa jumlahnya karena masyarakat akan lebih royal, jauh dari makna Ramadhan yang sebetulnya turut mengajarkan kita untuk berhemat.
Kemudian yang tersisa?
Belum lagi saat lebaran yang ditunggu-tunggu itu tiba. Berbagai hidangan tersaji dalam jumlah yang fantastis. Komsumsi daging menjadi lebih banyak dari biasanya, dan bermacam-macam kue khas lebaran yang belum tentu habis dimakan oleh setiap tamu yang hadir.
Akhirnya, makna lebaran yakni kembali meraih fitrah dan menjalin silaturahmi dalam kesederhanaan seperti tak hinggap, lepas begitu saja. Sehingga bersisa dari sebuah perayaan besar seperti lebaran Idul Fitri hanyalah makanan yang tak habis dan hampir basi, jalanan yang masih saja sepi, serta tumpukan sampah yang tinggi seperti Gunung Fuji.
Seperti sebuah kebiasaan yang awet sejak masa lampau. Kadar keteraturan hidup hanya ditentukan dari momen-momen tertentu yang habis masanya dan kemudian tak ada makna yang akan tertinggal.
Hanya saja, kita patut terus berharap agar Ramadhan serta Idul Fitri mendatang akan lebih baik dari tahun ini. Agar kita semua, betul-betul mampu memaknainya menjadi momentum perubahan diri.