CHAPTER 2
Second Day
Jadi begitu lah. Nama asli pemuda itu adalah Dave, yang tengah mengemban sebuah misi besar yang wajib ia selesaikan. Dave membawa sebuah robot aneh bersamanya, yang tentu saja harus ia sembunyikan. Robot itu menyebut dirinya Yadsendew.
Hari kedua. Hari di mana Dave akan kembali dalam penyamarannya sebagai staf pengajar di SMU Soekarno-Hatta. SMU megah yang memiliki berbagai penilaian di mata masyarakat.
Sekolah ini sudah dikenal betul kebaikan fasilitas-fasilitas yang ada di dalamnya. Baik itu staf pengajaryang berkualitas, maupun kelengkapan berbagai kebutuhan siswa sehingga menghasilkan banyak lulusan-lulusan yang kompeten.
Akan tetapi, di balik citra baiktersebut, sekolah itu juga dipandang buruk oleh sebagian masyarakat lantaran sering terdengarnya rumor tidak sedapmengenai beberapa siswa nakal dan meresahkan yang tidak pernah diadili lantaran mereka anak orang kaya. Hal tersebut kian diperkuat dengan kenyataan bahwa tidak sedikit guru yang mengundurkan diri dari sekolah itu.
Dave tahu, siswa mana yang paling bertanggung jawab atas rumortersebut.
Di hari kedua ini, sebagaimana seharusnya, Dave datang tepat waktu. Baru saja ia menginjakkan kaki di pekarangan sekolah, Dave sudah disambut dengan tatapan kagum para siswi yang tentu saja membuatnya semakin percaya diri. Para siswi itu berbisik satu sama lain sambil tertawa genit. Sementara para siswa, hanya bisa gigit jari melihat itu.
Tiba-tiba, salah seorang siswi yang kemarin pingsan mendadak, Maya, menghampiri Dave.
“Pagi, Pak,” sapanya.
“Pagi, Maya. Hari ini kamu fit, kan?”
Gadis itu mengangguk. Pipinya memerah. “Maaf ya, Pak. Kemarin saya kurang sopan.”
“Nggak apa-apa. Nyantai aja. Ngomong-ngomong, apa yang sedang kamu pegang?”
Dengan malu-malu, Maya memperlihatkan apa yang dipegangnya tersebut:sebuah bingkisan berlapis kertas kado bergambar hati.Ia memberikan itu kepada Dave. Bentuknya persegi. “Ini kue buatan saya. Silakan dinikmati, Pak.”
“Ya ampun! Untuk apa repot-repot segala?”
“Nggak repot kok, Pak. Itung-itung sebagai wujud permintamaafan saya. Tolong diterima ya, Pak.”
Dengan perasaan sungkan, Dave pun menerimanya. “Aduh, terima kasih banyak, ya. Jadi nggak enak.”
“Sama-sama, Pak.” Maya menatap Dave.
“Hm? Ada lagi yang ingin kamu sampaikan?”
Namun tak ada respon dari gadis itu. Ia memandang mata Dave begitu lurus, dengan mulut menganga.
“May?”
Maya tersentak. “Oh, maaf, Pak,” katanya. Pipinya semakin memerah. Tanpa pamit, ia pun langsung pergi.
“Gadis aneh.”
Terdengar suara dari dalam sakunya. “Kelihatannya gadis itu tertarik sekali padamu.”
“Berisik! Nanti ketahuan!”
Di mejanya di ruang guru, Dave melihat jadwalnya hari ini, dan menemukan jam pelajarannya di kelas 3 IPA 1.
Tiba-tiba suara nyaring yang kemayu menusuk telinganya. “Anda Pak Karno, yaaaaa?” tanya sesosok pria pendek berperawakan sedang dan berkacamata tebal berusia menjelang 30 tahun itu.
“Iya,” jawab Dave ramah. Ia mengulurkan tangannya. “Salam kenal ya, Pak….”
“Mahmud Sucipto,” sahutnya sembari menjabat tangan Dave. “Panggil saja Mahmud.”
Dave mengangguk tersenyum. “Ngajar apa, Pak?”
“Sejarah. Bapak fisika, kan? Hati-hati dibenci sama anak-anak lho, Pak.” Mahmud nyengir.
Dave tertawa. “Dibenci kenapa? Karena pelajarannya sulit?”
Mahmud mengangguk cepat. “Tapi kalo Bapak yang jadi gurunya sih, saya yakin anak-anak nggak bakal nggak suka. Apalagi yang cewek.” Ia kembali nyengir.
Dave mulai menyukai orang ini. “Nggak juga, Pak. Buktinya kemarin ada anak-anak yang terang-terangan melawan saya.”
“Bayu dan teman-teman? Kalo mereka sih, saya nggak heran. Anak manja memang begitu kelakuannya. Untung aja saya ngajar di kelas IPS. Jadi nggak harus berhadapan dengan mereka.”
“Saya sudah dengar tentang mereka. Khususnya si Bayu itu. Sepertinya siswa seperti dia nggak bisa dikeluarin gitu aja biar pun udah bikin kesalahan sebesar apa pun, ya.”
“Bener banget, Pak!” sahut Mahmud semangat. Ia paling gemar membicarakan orang lain. “Karena itu, anak itu jadi kurang ajar. Guru-guru aja sering dikerjai! Dia juga sering berantem di luar sekolah dengan masih memakai seragam sekolah. Reputasi sekolah ini jadi makin tercemar karena itu. Pokoknya sekolah ini ancur banget semenjak kedatangan dia!”
“Kalau begitu, kita sebagai gurunya yang harus bertindak. Kita nggak bisa biarin orang-orang seperti Bayu bebas berbuat sesuka hati. Apalagi kita tahu orangtuanya saja begitu, terlalu memanjakan anaknya. Jadi kita yang harus mendidiknya agar dia berubah atas kesadarannya sendiri.”
“Iya, Pak. Kami tau. Tapi tadi kan sudah saya bilang kalo kami para guru aja sering dikerjai. Gimana mau bertindak.”
“BRENGSEK!” teriak seorang guru buncit yang baru saja masuk ke ruangan itu. Sekujur tubuhnya berlumur pecahan telur. Sumpah serapah dan isi kebun binatang berhambur keluar dari mulutnya. Seluruh guru yang ada di situ terperangah melihat kondisinya pagi ini.
“PAGI-PAGI SAYA SUDAH KENA KERJAI OLEH TUYUL-TUYUL SIALAN ITU!!” geramnya. Beberapa dewan guru menutup telinga karena suaranya yang nyaring seperti kapal pecah.
“Siapa, Pak?” tanya Mahmud.
“ANDA MASIH BERTANYA LAGI!? BUKANNYA SUDAH JELAS!? SI BAYU DAN ANTEK-ANTEKNYA ITU!!” Tangan berlemak guru itu menghantam meja dengan keras. Ia benar-benar sakit hati. “BUKAN HANYA SAYA! LIHAT SAJA DI LUAR! BERAPA ORANG SISWI YANG MENANGIS KARENA MEREKA KERJAI!!”
Mahmud berbisik pada Dave, “Anda liat sendiri kan, Pak?”
“Rupanya belum jera juga mereka itu,” ujar Dave. Matanya berkilat seolah mendapat tantangan menarik. “Biar nanti saya beri mereka pelajaran.”
“Jangan macam-macam, Pak. Nanti malah Anda yang repot.”
“Pak Mahmud tenang saja. Ini urusan saya dan Bayu.”
Dave menyadari, bahwa secara tak langsung, Bayu menantangnya terang-terangan. Sepertinya, taruhan yang mereka sepakati kemarin benar-benar dimulai.
* * *
Kemarin, usai menghukum Bayu dan kawan-kawan, Dave memanggil mereka ke ruangannya. Mereka datang dengan wajah muram, benar-benar kapok dan malu.
Kecuali Bayu. Sorot matanya tajam penuh dendam.
Bergiliran, para dewan guru yang ada di ruangan itu menatap anak-anak itu dan Dave. Beberapa dari mereka merasa iba terhadap Dave, menduga bahwa karir Dave akan tamat karena tindakannya ini.
Dave menyuruh mereka duduk di kursi yang telah ia sediakan. “Bagaimana? Kalian kapok?”
Bayu menyeringai. “Lo yang bakalan kapok!”
Dave sudah menduga Bayu akan berkata begitu. “Kamu mau ngadu ke orangtuamu?”
Bayu terdiam. Dengan segera ia tahu bahwa Dave telah mengetahui ‘senjata rahasia’-nya.
“Bagaimana mungkin kamu jadi orang seperti ini, Bayu?” tanya Dave tak percaya, seakan sudah kenal betuldengan Bayu.
Bayu dengan ketus menjawab, “Nggak usah sok akrab. Nggak penting kenapa gue bisa begini!”
“Kalau bicara yang sopan.”
“Diam! Orangtua gue aja nggak pernah nyuruh-nyuruh!”
“Pantes aja kamu jadi pecundang sekarang.”
Kata-kata itu tertancap tepat di hati Bayu. “Gue bukan pecundang, ya!” sahut Bayu marah dengan telunjuk mengacung.
Para dewan guru terperanjat melihat sikap kurang ajar Bayu.
Dave menggenggam telunjuk itu. “Jangan berani kamu nunjuk-nunjuk saya. Hargai saya dan juga guru-guru yang ada di ruangan ini!”
Bayu menarik telunjuknya dari genggaman Dave.
“Beri saya alasan kenapa saya nggak boleh manggil kamu pecundang,” kata Dave.
Dengan enteng, Bayu menjawab, “Gue bisa buat lo kehilangan pekerjaan hari ini juga. Lo liat guru-guru di sini! Nggak ada satu pun yang berani sama gue. Semua orang termasuk Kepala Sekolah, takut ama gue. Lo masih bisa bilang gue pecundang?”
“Pikir baik-baik. Mereka takut kepadamu atau ayahmu? Coba bayangkan seandainya ayahmu tidak ada, apa bisa kamu ditakuti seperti ini? Kamu selalu sembunyi di belakang orangtuamu yang kaya itu. Bahkan kamu bersikap congkak karena itu. Dengan begitu, apakah salah saya memanggil kamu dengan sebutan pecundang?”
Bayu merasa harga dirinya diinjak-injak. “Jaga mulut lo, Karno!” katanya seraya bangkit dari kursi, seakan ingin memukul Dave. Seluruh dewan guru, bahkan teman-teman Bayu sendiri terkejut melihat sikapnya yang kelewatan itu.
Salah seorang guru hendak bangkit untuk menengahi, namun Dave memberi isyarat bahwa ia bisa menangani ini sendiri.
“Gue bisa jalanin hidup gue tanpa mereka!” lanjut Bayu.
“Buktikan kepada kami,” kata Dave ikut bangkit. “Saya tantang kamu.”
Mata mereka saling memandang tajam. Dave tersenyum menantang. Bayu membalas dengan seringai licik.
“Gue terima tantangan lo.”
“Sekali lagi orangtua kamu ikut campur dalam urusan sekolah, kamu kalah.”
Semua terperangah melihat keberanian dan kecerdasan Dave dalam berbicara.
“Akan gue buat lo nyesal pernah masuk sekolah ini,” kata Bayu sembari melangkah keluar. Keempat orang temannya menyusul dengan kikuk.
* * *
Kendati tahu bahwa Bayu takkan membiarkan ayahnya ikut campur tangan dalam urusannya di sekolah, tetap saja para guru enggan melawan anak itu. Cerita tentang adu mulut Dave dan Bayu dengan segera menjadi buah bibir sekolah. Semua orang berharap Dave, atau yang mereka kenal dengan nama Karno, akan bertahan di sekolah itu. Karena hanya ia lah yang berani bertindak tegas pada Bayu dan kawan-kawannya.
Namun sayangnya, bukannya berubah, kini Bayu malah bersikap semakin keterlaluan. Penindasan yang dilakukan bersama teman-temannya terhadap siswa-siswa lemah semakin menjadi. Bahkan beberapa orang guru terang-terangan mereka kerjai.
Pagi itu, banyak sekali laporan yang masuk ke ruangan Pak Tanto mengenai ulah Bayu tersebut. Guru-guru Bimbingan Penyuluhan yang bertugas menangani siswa-siswa seperti Bayu bahkan mengaku tidak sanggup lagi menghadapi kasus ini. Terakhir kali Bayu dipanggil ke ruang BP, ia malah meledek guru-guru itu, lalu melangkah keluar dengan kurang ajar, tanpa pamit. Sudah berkali-kali pula mereka memanggil orangtua Bayu. Namun bukannya menasihati anaknya, mereka malah mengumpat.
“Seharusnya kalian lebih meningkatkan kualitas kalian sebagai guru. Bukannya menyalahkan anak saya! Saya sudah bayar sekolah ini mahal-mahal. Saya juga sudah cukup sering memberi sumbangan dan dana untuk sekolah ini! Tapi mengapa ini yang saya dapat!? Saya kecewa! Terus terang saja, dengan koneksi yang saya miliki, kalian para guru yang tidak becus ini bisa saja diberhentikan hari ini juga! Sudahlah, saya sibuk! Saya mohon diri!”
Kalau sudah begini, Pak Tanto pun kewalahan. Memanggil Bayu ke ruangan dan memarahinya pun sia-sia saja. Oleh karena itu, siang ini, ia mengadakan rapat.
Bayu sengaja bersikap seperti ini. Ia tahu bahwa para guru takkan begitu saja berani menghukumnya. Ia ingin menunjukkan kepada Dave bahwa ia bisa bertindak sesuka hati di sekolah itu. Bayu dan teman-temannya juga telah menyusun siasat agar Dave tak betah mengajar di sana dan segera mengundurkan diri.
Dave yang menyadari bahwa semua kegaduhan ini adalah permainan dari Bayu, menyambutnya dengan senang hati.
Yadsendew berbisik padanya, “Kalau begini terus, bisa-bisa waktu yang diberikan kepada kita akan habis. Terlalu lama. Kita takkan bisa membawa pulang Bayu tepat waktu.”
“Tenang, Dew. Akan kubuat dia tunduk padaku. Kalau sudah begitu, takkan ada kendala lagi. Percaya padaku.”
* * *
Sudah 10 menit sejak jam pelajaran pertama dimulai.
Hari ini, Dave sudah banyak berkenalan dengan para guru. Dave menyukai mereka, begitu pula sebaliknya. Dengan segera ia pun menjadi akrab dengan guru-guru itu.
Seorang guru masuk ke ruangan dengan marah-marah. Tepung terigu menodai dirinya dari kepala hingga pinggang.
“Cukup sudah!” katanya sembari mengemasi barang-barang. “Saya mengundurkan diri dari sekolah ini!”
Para guru segera mengerti apa yang terjadi. Pria itu adalah Pak Galih, guru biologi yang mengajar di kelas 3 IPA 1 pada jam ini, staf pengajar yang dikenal Dave kemarin.
Ia dikerjai habis-habisan oleh Bayu dan kawan-kawan. Semua membujuk pria itu agar ia mengurungkan niat untuk keluar.
“Mana bisa saya bertahan di sekolah yang bahkan kepala sekolahnya pun tak berani mengambil tindakan tegas terhadap siswanya sendiri!!” katanya.
“Jangan terburu-buru mengambil keputusan, Pak. Setidaknya tunggu hingga rapat nanti siang,” bujuk Dave.
“Rapat kita selenggarakan sekarang,” kata Pak Tanto yang tiba-tiba saja muncul dari balik pintu masuk. “Situasi semakin gawat. Tolong semua segera menuju ruang rapat.”
* * *
“Baru beberapa menit saya memulai pelajaran, mereka sudah melempari saya dengan balon-balon berisi tepung itu!” papar Pak Galih. Ia menceritakan kejadian yang menimpanya tadi di ruang rapat itu. “Kalau Pak Tanto masih saja diam seperti ini, kapan masalah si Bayu ini akan selesai? Sudah tiga tahun anak itu kita biarkan bebas. Masa’ dalam waktu selama itu, Bapak belum menemukan solusi apa pun?”
“Solusi apa yang Bapak maksud? Mengeluarkan Bayu?” sahut Pak Tanto yang menyadari bahwa wibawa dan kehormatannya sudah hilang di mata para guru semenjak kedatangan Bayu. “Kita semua tahu dia itu anak dari orang yang berpengaruh dalam pembangunan sekolah ini, tidak bisa begitu saja disingkirkan. Lagi pula, untuk itu lah saya mengumpulkan Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu berkumpul di ruangan ini.”
“Apa Bapak sudah menemukan solusi?” tanya seorang guru.
Pak Tanto menjawab dengan agak ragu. “Bisa dibilang begitu. Jadi begini, saya masih takjub dengan apa yang dilakukan Pak Karno kemarin.”
“Ah, itu bukan apa-apa, Pak. Justru saya hanya membuat masalah semakin buruk,” ujar Dave.
“Itu tidak benar. Anda sudah membuat Bayu berjanji untuk tidak melibatkan ayahnya dalam masalah di sekolah. Itu merupakan sesuatu yang sangat jarang terjadi.”
“Tapi tidak ada jaminan kalau Bayu akan memegang janjinya, Pak,” kata seorang guru. “Dia itu Bayu! Apa benar janjinya bisa dipegang?”
“Bisa, Bu,” Dave menjawab. “Saya sudah mengatainya habis-habisan kemarin. Tentunya ia akan sangat malu kalau tidak menepati janjinya. Anda lihat sendiri kan reaksinya kemarin ketika saya menekannya?”
“Tapi Bayu itu masih remaja, Pak. Pikirannya dapat berubah sewaktu-waktu.”
“Bayu tidak sama dengan remaja lainnya.”
“Bagaimana Anda bisa seyakin ini? Anda kan guru baru di sini.”
Dave sadar ia sudah terlalu banyak bicara. Ia pun mencoba tetap tenang dan berpikir jernih. “Pokoknya, saya bisa buktikan.”
Guru itu tertawa merendahkan.
“Cukup,” Pak Tanto menengahi. “Benar apa yang dikatakan Bu Ida. Kata-kata Bayu tidak bisa dipegang. Tapi saya tetap percaya Bayu bisa berubah.”
Semua mendengarkan.
“Anak seperti Bayu, biasanya bersikap begitu karena kurang perhatian. Itu bisa kita lihat dari kesibukan orangtuanya sehari-hari. Pak Karno tentunya belum tahu hal ini, jadi tak ada salahnya kita bahas lagi.
“Sebenarnya, Bayu itu anak yang pintar. Bisa dikatakan jenius. Dari SD hingga SMP, berturut-turut Bayu memegang juara umum.”
Dave tidak heran.
“Kelakuannya di masa SD dan SMP pun tidak seburuk di sini. Rekan-rekan saya yang mengajar di sana sendiri yang berkata demikian. Lalu semenjak ayahnya naik pangkat dan semakin sibuk, dan ibunya pun sering tidak di rumah, Bayu menjadi semakin terabaikan dan jadi lah ia seperti sekarang ini.”
“Tapi kalau memang begitu keadaannya,” kata Dave, “bagaimana mungkin ayahnya masih sempat meladeni urusan sekolah Bayu sampai-sampai ada guru yang diberhentikan karenanya?”
“Anda jangan salah, Pak Karno. Ayahnya melakukan itu justru karena ingin masalah anaknya cepat selesai dan bisa segera pergi lagi. Ia bahkan mungkin tak tahu separah apa sikap anaknya di sini. Dan yang paling disayangkan, Bayu yang pintar itu menjadi acuh terhadap pelajaran sehingga nilai-nilainya anjlok sama sekali.”
“Lalu bagaimana dengan empat orang lainnya? Kenapa mereka tidak dikeluarkan saja? Bukannya kelakukan mereka sama buruknya dengan Bayu? Mungkin dengan mereka dikeluarkan, Bayu tidak akan seliar ini.”
Pak Tanto menghela napas. “Sudah saya lakukan, Pak. Tapi tak lama setelah itu, ayah Bayu segera memasukkan mereka lagi atas permintaan Bayu.”
“Karena itu lah nama sekolah kita ini jadi jelek,” kata Pak Galih.
“Kalau Anda memiliki gagasan yang bagus, katakan, Pak! Jangan bisanya hanya mencela saja!” hardik Pak Tanto.
“Pak Tanto tidak mengerti apa yang telah kami alami selama ini. Akibat Bapak tidak bertindak tegas dan terlalu takut, kami para staf pengajar yang terkena dampaknya! Lihat apa yang terjadi dengan saya sekarang! Lalu Pak Hamzah….” Suaranya tertahan, menahan amarah. “Tidak perlu dipertanyakan lagi mengapa jantung beliau bisa kumat kemarin!”
“Jadi guru yang kemarin….” Dave tak percaya. “Astaga.”
Pak Galih mengangguk. “Bukan hanya sebagai guru fisika, Pak Hamzah juga merupakan wali kelas di kelas Bayu. Tentu Anda tidak dapat membayangkan bagaimana kewalahannya beliau mengurus kelas itu. Ditambah lagi, beliau memiliki penyakit jantung. Itu lah yang menyebabkan beliau jatuh kemarin.”
Pak Tanto terdiam. Ia menyesali dirinya yang benar-benar lemah sebagai seorang pemimpin.
“Jadi, apa sebenarnya yang ingin Anda sampaikan dalam rapat ini, Pak Tanto?” salah seorang guru akhirnya bertanya.
Pak Tanto pun segera tersadar dari lamunannya. “Jadi begini, berdasarkan apa yang telah kita ketahui bersama mengenai tindakan yang diambil Pak Karno kemarin, maka saya memutuskan untuk menyerahkan Bayu dan kawan-kawan di bawah bimbingannya.”
Dave terkejut.
“Karena bisa kita lihat sendiri, bagaimana Bayu terpancing dengan kata-kata beliau. Saya percaya, Pak Karno bisa membuat Bayu menjadi lebih baik. Bagaimana, Pak?”
“Tapi Pak Tanto lihat sendiri, kan? Karena berdebat dengan Pak Karno juga lah Bayu menjadi lebih liar dari sebelumnya,” kata seorang guru.
“Anak-anak seusia Bayu tidak semudah itu ditundukkan, Bu. Kelakuan Bayu hari ini semata-mata karena ia tidak terima dipermalukan seperti kemarin. Ia ingin membuktikan bahwa ia tidak semudah itu ditundukkan. Anak itu memiliki motivasi yang besar. Motivasi itu lah yang harus diarahkan ke jalan yang benar agar ia menjadi manusia yang lebih baik. Saya ingin Pak Karno yang melakukannya. Apalagi usia mereka tidak jauh berbeda. Tentunya itu akan lebih memudahkan. Saya rasa langkah itu yang paling tepat.”
Tentu saja Dave menerima permintaan itu. Itu akan membuatnya menjadi lebih dekat dengan Bayu sehingga ia bisa segera menuntaskan misi. “Baik, Pak. Akan saya coba.”
Ada yang ragu, dan ada pula yang yakin dengan keputusan Pak Tanto ini.
Dan akhirnya, setelah beberapa bujukan, Pak Galih mengurungkan niat untuk mengundurkan diri.
* * *
Sudah tiba waktunya Dave mengajar. Setelah mengambil beberapa referensi yang diperlukan, ia pun meninggalkan ruang guru dan menuju kelas 3 IPA 1. Di jalan, ia berpapasan dengan Mahmud yang baru selesai mengajar.
“Rapatnya dipercepat ya, Pak?” tanya Mahmud.
“Iya tuh. Barusan aja kelar. Rada panas juga tadi suasananya.”
“Emang selalu gitu kali, Pak. Yang jadi bahan rapat juga itu-itu aja.”
Setelah berbincang sejenak, mereka pun berpisah dan Dave melangkah kembali.Ketika akan berbelok ke tikungan yang ada di hadapannya, seseorang menabrak tubuh Dave hingga terjatuh. Salah seorang siswa.
“Ma… maaf, Pak,” katanya. Tubuhnya begitu pendek. Ia berkacamata tebal, memakai alat bantu pendengaran, serta bertingkah seperti cacing kepanasan.
“Nggak apa-apa,” sahut Dave yang kemudian mengulurkan tangan untuk anak itu. Anak itu pun meraih tangan Dave, kemudian berdiri. Sebentar-sebentar ia betulkan letak kacamatanya yang kelonggaran itu. Bentuk kacamatanya yang besar dan tebal membuat anak itu terlihat lucu. Ia bahkan berkeringat cukup banyak dikarenakan gerakan tubuhnya yang tak karuan itu sendiri.
Lalu, entah karena takut atau apa, anak itu segera berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dave menatap bocah itu dengan pandangan heran. Namun karena merasa itu tidak terlalu penting, Dave pun segera melupakannya.
Dan tibalah ia di kelas yang dituju. Kelas itu hening. Sepertinya mereka sudah tahu ketibaan Dave.
Namun ada yang tidak biasa. Pintu itu tidak tertutup sepenuhnya, padahal ruangannya ber-AC. Mengandalkan insting tak biasa dalam dirinya, Dave pun segera mengerti apa yang terjadi.
Ia mendorong pintu masuk itu tanpa melangkah. Tiba-tiba, ada sesuatu yang jatuh. Dengan kecepatan dan kekuatannya, sebelum benda itu menyentuh lantai, Dave menendang benda itu hingga mengenai sisi lain kelas dengan keras. Air keluar dari benda itu dan tumpah menyiprati lantai dan meja-meja yang ada di dekatnya.
Benda itu adalah ember besar berisikan air. Semua terjadi begitu cepat. Seisi kelas terperangah melihat Dave. Dave melangkah tak peduli seolah tak terjadi apa-apa. Pandangannya begitu dingin. Ia melihat Rahmadi, si Ketua Kelas. Di sekitar mata anak ituDave melihat adanya bilur halus. Bajunya juga kusut, dan beberapa kancingnya copot. Kemudian, pandangan Dave alihkan ke sudut belakang kelas. Bayu menatapnya tajam. Sementara teman-temannya memandang Dave takut-takut.
Lalu langkah Dave terhenti. Ia menemukan kursi guru terletak secara kurang wajar. Semua terlihat tegang.
“Hei!” tunjuk Dave ke salah seorang teman Bayu. “Kemari kau, Bangsat.”
Anak itu terperanjat. Ia menggeleng ketakutan.
“Cepat maju atau kuseret,” ancam Dave tenang. Ketenangan sikap Dave justru membawa teror bagi anak itu.
Dengan ragu, bocah itu bangkit dari kursinya dan melangkah maju. Ia menangis ketakutan.
“Cukup! Berhenti di situ! Sekarang, kamu lari dari sana sampai ke depan pintu! Tidak boleh melompat atau pun berhenti.”
“Tapi licin, Pak,” kata bocah itu.
“Saya tidak peduli. Cepat lakukan.” Dave menepi. “Sekarang!”
Bocah itu mencoba berlari, namun terpeleset. Ia terjengkal dengan cara yang amat memalukan. Seisi kelas terpingkal karenanya.
“Waaah, ternyata memang licin, ya,” ujar Dave santai. Lalu pandangannya kembali menajam. “Kalian berdua!” tunjuk Dave ke arah teman Bayu yang lain.
Yang ditunjuk pun langsung panik. Mereka tergagap saking takutnya.
“Maju!” kata Dave.
Dengan gemetar, mereka pun bangkit dan maju.
“Buka baju kalian!”
“Hah?”
“Saya bilang, buka baju kalian!” Dave menegaskan.
Dengan sangat terpaksa, mereka berdua pun melepas seragam itu dari tubuh mereka yang agak berotot itu. Mereka sama sekali tak paham maksud perintah Dave yang satu ini.
“Lap lantai itu sampai kering!”
“Hah?”
“Apa kata-kata saya kurang jelas?”
Dengan tidak percaya, salah seorang dari mereka dengan konyol bertanya, “Pakai apa, Pak?”
“Dasar bodoh. Tentu saja pakai seragam kalian!”
Sekonyong-konyong tubuh mereka pun lemas mendengarnya. Mereka berkelit putus asa. “Tapi bukan kami yang….” Omongan mereka terhenti begitu melihat mata marah Dave yang mengerikan. Mereka segera menyadari bahwa berbohong pun sia-sia. ‘Orang ini tak bisa ditipu,’ begitu lah pendapat mereka terhadap Dave sejak saat itu. Dan akhirnya, sambil menahan tangis penyesalan dan rasa malu yang teramat sangat, mereka segera mengelap lantai yang becek itu dengan seragam mereka. Kelas kembali dipenuhi gelak tawa.
Setelah lantai cukup kering, Dave menyuruh ketiga orang itu berdiri di depan kelas. Ia lalu memanggil seorang lagi teman Bayu dengan hanya menggerakkan jarinya. Anak itu pun dengan pasrah maju dan tinggal lah Bayu sendiri. Ini adalah saat paling menakutkan sekaligus memalukan dalam hidup mereka. Bahkan Bayu tak mampu berkutik.
“Sekarang, kamu lari sekencang-kencangnya dari situ sampai ke pintu. Tidak boleh melompat, tidak boleh berhenti!”
Bocah itu ragu. Ia memohon kepada Dave agar diampuni.
“Cepat lakukan!”
Bocah itu tetap bergeming.
Seperti pisau, mata Dave menusuk bocah itu dengan ketajamannya. Matanya tidak melotot, tidak pula menyipit. Aura mengerikan yang terpancar dari mata Dave adalah murni. Ada tenaga yang hebat di dalam diri pemuda itu.
Matanya kian mengerikan melihat bocah itu tak kunjung lari. “Saya bilang, cepat lakukan,” katanya datar. Jangankan bocah itu, semua yang melihat pun merasakan kengerian ketika Dave mengucapkan kalimat barusan.
Namun harga diri bocah itu terlalu tinggi. Ia tetap pada pendiriannya untuk tidak menuruti apa yang Dave perintahkan. Sampai akhirnya Dave berteriak.
“JANGAN BUAT SAYA MARAH!!”
Akibat terkejut yang membuahkan panik, akhirnya bocah itu berlari kencang secara spontan hingga kakinya tersangkut benang halus memanjang yang diikat di kaki meja salah seorang siswa hingga ke kursi guru sehingga terciptalah perangkap sederhana yang awalnya ditujukan untuk Dave. Ia pun tersandung dan wajahnya mengenai lantai dengan telak. Suasana hening kelas pun segera pecah oleh gelak tawa yang benar-benar menggelegar.
Tidak tahan merasa dipermalukan, Bayu mengambil balon berisi tepung yang tadi digunakan untuk melempar Pak Galih, kemudian melemparnya sekuat tenaga ke arah Dave. Ia marah. Bayu berharap serangan yang satu ini akan mencelakai Dave. Bahkan tak puas dengan satu balon, Bayu mengambil balon lainnya dan melemparnya lagi dengan kuat.
Kejadian terjadi begitu cepat sehingga nyaris tak disadari oleh siapa pun ketika Dave menangkap dua balon yang dilempar Bayu tersebut, kemudian melemparnya kembali.Balon itu pecah mengenai wajah Bayu secara beruntun. Bayu merasakan sakit di wajahnya, dan merasakan sakit yang lebih sakit di hatinya.
Ia tidak terima. Kelas kembali hening karena kejadian itu. Wajah Bayu penuh dengan tepung.
Tanpa pikir panjang, dengan hanya bermodal harga diri, ia berlari menyerang Dave. Tentu saja tinju Bayu ditepis Dave dengan begitu mudah. Lagi-lagi, tangan Dave mencengkeram lengan Bayu. Bayu mengaduh.
Mata mereka bertemu dalam amarah.
“Kalian berlima! Hormat bendera!!!” seru Dave menjatuhkan vonis. Ia lalu berbisik pada Bayu, “Dua-kosong.”
Untuk kedua kalinya semua orang takjub pada aksi Dave. Terutama Maya. Gadis itu benar-benar terpukau.
* * *
“Baiklah. Cukup untuk hari ini. Kalian boleh istirahat,” kata Dave mengakhiri pelajaran setelah lonceng berbunyi. Beberapa siswa menghambur keluar, beberapa tetap di kelas.
Terdengar kehebohan di luar yang sudah pasti dikarenakan lima orang tak terduga yang (lagi-lagi) dihukum hormat bendera.
Rahmadi menghampiri dengan wajahnya yang bonyok. “Maaf, Pak. Tadi saya sudah coba untuk mencegah mereka memaasang perangkap-perangkap itu.”
Dave menyahut dengan ramah, “Bapak tahu kamu udah coba sebisa kamu. Kan kelihatan.” Dave menunjuk mata Rahmadi yang kini semakin jelas bilurnya.
“Mereka keroyokan, Pak,” sahut Rahmadi malu.
“Saya tahu. Ya sudah, istirahat sana.”
Rahmadi pun melangkah keluar. Namun sebelum mencapai pintu, ia berpaling lagi. “Bapak hebat,” katanya tersenyum penuh rasa bangga.
Dave menanggapinya dengan mengacungkan jempol dan membalas senyum Rahmadi.
Belum selesai Dave mengemasi buku-bukunya, datang seorang murid lagi.
“Gimana kuenya, Pak?” tanya Maya dengan pipinya yang merona. “Enak?”
“Oh… ini saya baru mau makan, May,” jawab Dave.
“Semoga Bapak suka, ya,” ujar gadis itu malu-malu.
“Pasti saya suka. Ya sudah, saya kembali ke ruang guru dulu, ya.” Dave berlalu. Namun Maya memanggilnya lagi.
“Pak!”
“Ya?”
Maya terdiam. Pipinya kian memerah.
“May?” Dave mulai bingung. “Eh? Kenapa kamu?”
“Ups!” Sabrina datang tepat waktu ketika Maya tiba-tiba jatuh pingsan. Ia menahan tubuh gadis pemalu itu.
“Lho? Kenapa lagi dia?” tanya Dave agak panik sekaligus kebingungan.
“Nggak apa-apa, Pak. Udah biasa ini,” jawab Sabrina sambil tersenyum canggung.
“Mari saya antarkan ke UKS.”
“Nggak perlu, Pak. Udah sering begini kok. Ntar juga sadar sendiri.”
Dave menatap dengan heran. “Bener nggak apa-apa?”
“Everything’s under control, Sir!” kata Sabrina sambil memberi hormat.
“Ya sudah kalau begitu.” Lalu Dave pun pergi.
Dengan tergopoh-gopoh, Sabrina membawa Maya ke bangkunya. Wajah Maya benar-benar merah. Tak lama kemudian, ia pun siuman.
“Gue jatuh cinta, Sab. Gue jatuh cinta,” katanya seperti orang mengigau.
“Gue tau!” jawab Sabrina ketus. “Lagian lu jatuh cinta pake pingsan segala. Nyusahin aja.”
* * *
Bayu yang sedang menjalani hukuman yang sama di hari kedua ini, merasakan amarah sudah menjalar ke seluruh tubuhnya hingga panas matahari dan pegal tangannya pun sudah tak terasa lagi. Tepung terigu masih menodai wajah dan bajunya. Seragamnya telah basah oleh peluh.
Ia berkata pada teman-temannya, “Gue nggak terima diginiin.”
“Udah deh, Bay. Gue udah kapok ama si Karno itu,” sahut bocah yang tadi terpeleset.
“Iyaaa. Lagian tuh orang pasti punya ilmu hitam. Masa’ jebakan yang udah kita pasang rapi bisa dilewati semua?”
“Pokoknya gue nggak mau lagi berurusan ama dia,” kata dua orang yang tadi kena hukuman mengelap lantai dengan seragam. Mereka bertelanjang dada. Seragam mereka yang basah dijemur di dekat tiang bendera.
“Gue juga. Tuh orang bukan orang biasa. Kalian nggak liat matanya waktu marah? Gue aja yang mantan preman sekampung ketakutan setengah mati!” sahut bocah yang tadi tersangkut benang.
“Dasar banci lo pada!!” hardik Bayu. Seandainya ia tidak sedang menjalani hukuman, tentu saja suaranya akan lebih besar. “Baru segitu aja udah keok! Mana harga diri kalian!?”
Mereka tak menjawab.
“Liat tuh orang-orang! Semua pada ngetawain kita! Apa kalian terima!?”
“Kalo mereka, tinggal kita kasih pelajaran, beres deh. Gue jamin mereka nggak bakal berani begitu lagi,” kata salah seorang dari mereka.
“Dasar bego! Lo kira si Karno bakal diem aja!? Kita bakal dihukum lebih parah dari ini!” omel Bayu.
“Kayaknya lo ngadu aja deh Bay ke bokap lo,” sahut yang lain putus asa.
“Nggak akan! Nggak sudi gue kalah taruhan dari si Karno itu! Gue harus bisa singkirin dia dari sekolah ini dengan cara gue sendiri!”
“Berarti kami nggak perlu ikut campur dong?”
“Ya… maksud gue dengan bantuan kalian juga,” Bayu meralat. “Apa kalian terima dikalahin dengan cara kayak begini?”
“Kali ini gue ngaku kalah, Bay. Gue nggak sanggup kalo lawannya dia,” kata salah seorang dari mereka yang disusul anggukan setuju dari yang lain.
“WOY!” geram Bayu. “Kalo bukan karena gue, lo semua udah pada dikeluarin dari sekolah ini! Sekali ini aja bantu gue!!”
Mereka berempat terdiam. Mendengar itu, mau tak mau mereka harus setuju membantu Bayu dalam ‘pertarungannya’.
“Oke deh,” kata salah seorang dari mereka mewakili. “Kali ini apa rencana lo?”
Bayu berpikir sejenak, lalu berkata, “Karena gue rasa nggak mungkin untuk nyerang dia terang-terangan, gimana kalo kita keroyok dia dari belakang?”
“Buset dah! Banci amat strategi lo?”
“Emang lo ada usul lain!?” tanya Bayu tersinggung. “Lo kan tau gimana gesitnya gerakan tuh orang? Pukulan dan lemparan gue aja ditepis kayak nggak ada apa-apanya! Belum lagi waktu dia nendang ember penuh air yang kita pasang tadi. Dia nendang ember itu kayak nggak ada air di dalamnya. Kita aja setengah mati ngangkatnya. Sementara dia…. Mungkin anggota militer aja nggak semuanya bisa begitu. Nyerang dia terang-terangan sama aja dengan bunuh diri!”
“Nggak! Gue tetap nggak setuju! Itu bukan cara gue!”
“Bener, Bay. Masa’ jagoan kelas atas kayak kita pake cara kotor gitu. Ogah!”
“Gue juga ogah sih sebenernya,” aku Bayu. “Tapi nggak ada jalan lain.”
“Gini aja, lo tantang si Karno dari depan, ntar kami berdua nahan dia dari belakang, trus, lo pada pukulin deh! Gimana?”
“Dodol! Sama aja kotornya!” sahut yang lain.
“Nggak. Dia bener,” kata Bayu. “Kita harus cari tempat yang tepat untuk lakuin hal itu.”
“Sip dah! Lagian kalo dipikir-pikir, tuh cara nggak kotor-kotor amat kok. Kapan kita sikat tuh orang?”
“Nanti. Pulang sekolah,” jawab Bayu mantap.
“Pulang sekolah!? Gile, tangan gue masih pegel banget nih! Besok aja!”
“Iya, Bay. Napsu amat lu jadi orang!”
Ketika Bayu hendak menanggapi keluhan teman-temannya, terdengar suara Dave.
“Ada apa ini ribut-ribut?”
Mereka berlima pun segera tutup mulut rapat-rapat.
Dave berdiri di hadapan mereka. Ia menyesap teh botol dingin di tangannya dengan begitu nikmat. “Hmmmmmmm! Segaaaaaaaaaaaar! Memang enak panas-panas begini minum teh. Betul, tidak?”
Bayu dan kawan-kawan meliriknya kesal.
Lalu seketika wajah Dave kembali serius. “Kalian berlima, dengarkan saya! Ini yang terakhir kali saya lihat kalian bertingkah seperti tadi. Sekali lagi kalian kedapatan berbuat onar, saya dan Pak Tanto takkan tinggal diam. Kalian akan menderita lebih dari ini! Mengerti?”
Tak ada yang menjawab.
“Saya anggap itu sebagai ‘ya’,” kata Dave. “Sehabis jam istirahat, kalian boleh kembali ke kelas. Kecuali Bayu. Kamu temui saya di ruang guru.”
Lagi-lagi tak ada yang menjawab.
“Saya juga anggap itu sebagai ‘ya’. Baik. Saya mohon diri dulu!” kata Dave sembari menyeruput tehnya. “Mmmmh! Nikmatnyaaa!”
“Brengsek tuh si Karno! Sengaja dia minum-minum di depan kita!” gerutu salah seorang teman Bayu.
“Kalo gini, gue setuju ama usul lo untuk nyergap dia pulang sekolah nanti, Bay. Gue udah nggak sabar mau hajar tuh orang!”
“Kita hajar dia sampe mampus! Sekuat apa pun dia, nggak akan mungkin bisa ngalahin kita berlima sekaligus!”
* * *
Masih ada beberapa menit lagi sebelum jam istirahat usai. Dave mengeluarkan bingkisan yang diberikan Maya tadi pagi. Bingkisan itu tertata dengan begitu rapi dan cantik. Agak sayang rasanya jika disobek.
Terdengar tawa Yadsendew dari dalam saku Dave. “Benar kataku. Gadis itu benar-benar tertarik padamu,” katanya.
“Berisik!” hardik Dave.
“Suara apa itu barusan, Pak?” tanya Mahmud yang kebetulan lewat.
“Nada dering saya, Pak. Jelek ya suaranya?”
“Nggak juga sih. Bingkisan apa itu, Pak?”
“Kue dari siswi. Mari Pak kita makan sama-sama.”
“Waaaaaah…. Pak Karno sudah punya fans rupanya,” goda Mahmud.
Dave tertawa. “Ah, ini sih biasa.”
Ketika Dave sibuk membuka bingkisan itu, Mahmud bertanya, “Bikin salah apa lagi si Bayu itu, Pak?”
Dave menghela napas. “Tadi dia coba mencelakai saya. Benar-benar kelewatan.”
Mahmud tak berkata-kata lagi. Dalam hati ia masih menyimpan rasa iba seandainya hukuman yang diberikan Dave ini sampai ke telinga ayah Bayu.
Dave melirik ke arah guru-guru yang tadi kena kerjai oleh Bayu. Mereka semua tampak lebih tenang. Bahkan beberapa tersenyum-senyum sendiri. Dave tahu mereka senang karena dendam mereka terhadap Bayu terbalaskan.
Bingkisan pun akhirnya terbuka.
“Wow! Cake coklat kismis,” seru Mahmud. “Hebat juga ya Bapak ini.” Mahmud menyenggol Dave dengan sikunya. “Baru kemarin masuk, sudah bisa dapat hatinya Maya. Jarang-jarang lho Pak ada yang bisa begitu.”
Dave tertawa. “Kok Bapak tahu ini dari Maya?”
“Maya selalu bikin kue ini setiap ada acara, atau ada orang yang spesial,” jelas Mahmud sembari mencomot kue yang sudah dipotong kecil-kecil itu.
Dave juga turut mencicipinya. “Enak banget! Jadi Maya sering ngasih ini ke cowok-cowok yang dia suka?”
“Nggak juga, Pak. Ini khusus untuk orang yang menurutnya spesial. Kira-kira begitu lah yang diceritakan Sabrina.”
“Oh begitu. Anda dekat dengan Sabrina?”
Mahmud tertawa. “Saya dan Sabrina udah seperti teman dekat. Karena saya dan dia punya hobi yang sama: menggosip!”
“Waaaaah! Bisa-bisa nanti kalian menggosipin saya karena kue ini.”
Mahmud nyengir. “Nggak kok, Pak. Nggak. Karena Bapak udah bagi-bagi kue ini, kali ini saya bakal tutup mulut.”
Mereka pun tertawa. Dave juga membagikan kue lezat itu pada guru-guru yang lain.
Bel masuk berbunyi. Siswa-siswa yang berada di luar pun segera kembali ke kelas masing-masing. Termasuk Bayu dan kawan-kawan yang akhirnya mengakhiri hormatnya pada Sang Saka Merah Putih. Teman-temannya memutuskan untuk membeli air, sementara Bayu langsung menuju ruang guru.
Ketika masuk, semua guru yang ada di situ memandangi Bayu dengan tatapan sinis, bahkan merendahkan. Bayu menyadari semua itu. Namun ia terus melangkah seolah sudah kebal.
Dan tiba lah ia di depan meja Dave. Ia melihat kue yang sedang dinikmati Dave dan Mahmud. Coklat kismis….
Maya. Nama itu langsung melintas di benak Bayu. Emosi pun kian merajainya. Tanpa ia sadari, tangannya mengepal geram. Hatinya serasa terbakar.
Dave meminta Mahmud meninggalkan mereka berdua. Setelah pria feminin itu berlalu, Dave mempersilakan Bayu duduk.
“Kue?” tawar Dave.
Bayu menggeleng singkat. “Langsung aja. Lo mau ngomong apa?”
“Bisa kamu bicara lebih sopan?”
“Nggak!”
Dave menghela napas. Ia bingung harus bagaimana lagi supaya Bayu jera.
“Dengar!” kata Bayu.
Dave melirik. Ia mulai terbiasa dengan sikap kurang ajar Bayu.
“Gue bakalan berubah. Gue bakalan patuh sama segala peraturan sekolah ini.”
“Tapi?”
“Tapi lo harus bisa ngalahin gue secara laki-laki.”
Dave tertawa. “Kamu ngajak berantem?”
Bayu diam. Namun tatapan benci Bayu yang mengarah pada Dave menjawab semua.
“Oke,” kata Dave. “Saya harap ini kompetisi terakhir kita. Kamu harus tepati janji. Bisa, kan?”
“Kalo gue nggak bisa tepati janji, lo nggak bakal berada di sini sekarang, kan?”
Dave tersenyum. Ia mengangguk. “Kalo saya menang, kamu bakalan patuh. Gimana kalo seandainya saya kalah?”
“Lo harus keluar dari sekolah ini,” jawab Bayu dengan raut wajah yang kejam. “Berani nggak?”
Dave tertawa lagi, membuat Bayu semakin kesal.
“Oke. Saya terima,” kata Dave dengan senang hati. Ini kesempatan bagus untuk bergerak ‘mendekati’ Bayu.
“Gue tunggu di belakang sekolah.”
* * *
Bayu memasuki kelas dengan wajah tegang. Ia melangkah tak acuh di depan guru yang baru saja akan memulai pelajaran itu. Ia menatap Maya sembari terus melangkah.
Maya balas menatapnya. Tatapannya sarat akan kebencian dan kekecewaan.
Sakit hati dan rasa kecewa Bayu terhadap Maya saat itu benar-benar mengganggunya. Ia pun duduk di bangkunya yang terletak di pojok belakang, di mana teman-temannya menatapnya heran.
Bayu melamun. “Secepat itu kamu lupain aku?” tanyanya dalam hati.
* * *
Akhirnya, tiba juga waktu pulang sekolah. Para siswa berhambur keluar kelas dengan ceria. Ruang guru pun perlahan mengosong ditinggal penghuninya.
“Nggak pulang, Pak?” tanya Mahmud yang menemukan Dave sedang melamun.
“Masih ada yang harus saya selesaikan. Pak Mahmud duluan aja,” jawab Dave ramah.
“Oo begitu. Ya udah, saya duluan ya, Pak,” Mahmud mohon diri.
Setelah yakin sekolah sudah cukup sepi, Dave segera bangkit dari kursinya dan melangkah menuju taman kecil tak terawat yang terletak di belakang sekolah. Tempat itu jarang didatangi. Tumbuhan liar menjalar di mana-mana. Kursi dan meja patah, serta kayu bekas tak berguna lainnya turut menyemakkan tempat itu. Terdapat pula pondok kecil yang dulu digunakan sebagai gudang.
Gosip yang beredar, taman itu berhantu. Karena itu lah tempat ini jarang didatangi.
“Berkelahi dengan siswa. Buruk sekali caramu memberi didikan,” kata Yadsendew yang masih tersembunyi di balik saku celana Dave sebagai ponsel.
“Kalau ada cara lain, akan dengan senang hati kugunakan,” sahut Dave acuh tak acuh sambil terus melangkah. “Hanya dengan cara ini mereka akan jera. Lagi pula, mungkin saja dengan begini kita bisa lebih dekat dengan Bayu. Bukankah dia sudah berjanji akan patuh?”
“Itu kan kalau kau menang.”
“Ngawur kau.”
Yadsendew tertawa. “Kalian memang mirip. Sama-sama keras kepala.”
Dan tibalah Dave di tempat itu. Ia melihat Bayu sudah menunggu dengan dua orang temannya. “Waaaah… tiga lawan satu?” tanya Dave dengan nada mengejek. “Keroyokan bukan cara laki-laki sejati, Bayu. Itu cara banci.”
Bayu mengangkat bahu. “Apa boleh buat. Mereka juga sakit hati karena lo udah mainin mereka.”
Sikap Dave yang begitu santai membuat mereka kesal. Mereka pun segera mengambil kayu berpaku yang berserakan di tanah berumput itu.
Mereka heran, mengapa Dave masih terlihat santai di situasi seperti ini. Pakaian batik yang seharusnya menghalanginya bergerak secara leluasa pun tidak ia lepaskan. Ia bahkan tersenyum seperti akan memainkan permainan yang sudah pasti akan ia menangkan. Bayu dan kawan-kawan segera sadar bahwa mereka diremehkan.
Dave merasakan ada langkah kaki yang mendekat di belakangnya. Dua orang. Lalu langkah itu berubah menjadi terkaman. Maka, Dave pun segera berbalik dengan lincahnya dan dengan beberapa gerakan ia berhasil menjatuhkan dua orang tersebut.Kedua teman Bayu itu pun langsung ambruk tanpa sempat membalas.
“Dari awal saya sudah curiga mengapa kalian hanya bertiga. Gampang sekali dibaca. Seharusnya kalian tetap muncul di hadapan saya berlima dan suruh teman lain menyergap saya dari belakang,” komentar Dave. “Taktik kalian payah!”
Bayu dan dua orang lainnya pun waspada. “Apa boleh buat. Kita serang dia bertiga,” bisik Bayu. Dan mereka pun menyerang dengan kayu di tangan mereka.
Dave berdiri dengan tenang menanti mereka. Ia mengambil ponselnya—atau lebih tepatnya Yadsendew.
Bayu dan kawan-kawan pun sudah sangat dekat dan dengan liar mengayunkan kayu kokoh itu.
“MAMPUS LO!!” geram Bayu.
Namun yang terjadi malah mereka terjatuh, terbawa oleh kekuatan mereka sendiri. Ketiganya bingung dengan apa yang terjadi. Mereka pun menatap kayu-kayu itu. Ukurannya tinggal setengah. Setengahnya lagi tergeletak di dekat kaki Dave. Mereka benar-benar kebingungan.
“Payah sekali kalian ini. Apa kalian tidak bisa membedakan mana kayu yang masih kokoh dan mana kayu yang sudah rapuh?” kata Dave sembari memasukkan Yadsendew kembali ke dalam saku celananya. “Lihatlah! Diayunkan sedikit saja sudah patah begitu.”
Kedua teman Bayu pun membuang kayu di tangan mereka dengan kesal. Pikiran mereka begitu kacau sehingga perkataan Dave barusan terdengar logis.
Tapi tidak dengan Bayu. Ia terlalu cerdas untuk menerima begitu saja semua pernyataan yang dikatakan Dave. Ia mengamati kayu di tangannya baik-baik. Kayu itu masih bagus, masih kokoh. Bagian yang terpisah tadi juga bukan karena patah yang disebabkan oleh kerapuhan. Bagian itu tampak rapi. Sudah jelas itu dipotong oleh sesuatu yang sangat tajam. Tapi apa? Apakah pedang? Ah, tidak mungkin, pikirnya.
Bayu mengamati Dave. Ia tidak membawa apa pun di tangannya. Lagi pula, serapuh apa pun sebuah kayu, mungkinkah akan patah semudah itu hanya dengan sekali ayun?
Melihat mereka berlima yang tergeletak putus asa, Dave yakin takkan ada perlawanan lagi dari mereka. “Bayu, kamu sudah kalah. Kamu sudah berjanji untuk patuh kalau kamu kalah, kan? Sekarang ikut saya!” Dave mendekati.
Bayu yang lagi-lagi merasa terhina karena kalah sekaligus bingung dengan apa yang terjadi, menolak ajakan Dave, kemudian lari meninggalkan mereka semua. Dave pun mengejar.
Setelah cukup jauh dari taman di mana empat orang teman Bayu masih terkulai, Yadsendew berkata, “Sudahlah, Dave. Tidak usah dikejar. Biarkan saja dulu. Kurasa sia-sia saja mengatakan yang sebenarnya kepada Bayu di saat seperti ini.”
Dave pun berhenti. “Tapi waktu kita tidak banyak, Dew! Kita tidak boleh mengulur-ulur. Penduduk Sanivia butuh Bayu segera.”
“Kau tenang saja. Mereka pasti akan bertahan. Lagi pula, waktu yang diberikan untuk kita masih tersisa dua puluh delapan hari lagi.”
Dave teringat akan tempatnya berasal, sebuah planet bernama Sanivia. Sebuah planet yang sedang mengalami krisis. Planet yang bahkan tidak bisa lagi menjamin keselamatan penduduknya.
Ia melihat sosok Bayu yang berlari semakin menjauh.
Hari yang panjang….