Pelangi Hitam Putih – Part 2

JAKARTA 2009

September kelabu, mendung menyelimuti langit Jakarta, gerimis turun pelan diiringi angin yang bertiup kencang, sementara matahari diam di balik awan hitam. Gelap disetiap sudut kota tak terkecuali di ruang kamar kost di kawasan pemukiman daerah kemang Jakarta Selatan.

Hanya suara pembaca berita di televisi yang terdengar samar sedang mengiklankan indahnya objek wisata daerah Lombok.

Sejenak lelaki berusia sekitar 26 tahun yang dari tadi menonton dengan seksama mulai browsing dengan laptop kecil di depannya, beberapa keywords tentang objek wisata Lombok dituliskannya di kolom searching Google. Matanya yang dari tadi seperti menyimpan kegelisahan mulai berbinar, entah apa yang ditemukannya pada mesin pencari serba ada tersebut yang sekarang memaparkan beberapa gambar pantai indah di hadapannya. Tak sampai di situ, penelusuran dilanjutkannya pada situs yang lain, situs info harga dan pemesanan tiket pesawat.

Bagas merenung, sebatang rokok yang tergeletak di pinggir asbak dihisapnya perlahan, dan hembusan nafas panjang yang kemudian dilepaskannya membentuk gumpalan asap yang menambah kusam ruang kamar kostnya yang gelap, karena hanya diterangi cahaya monitor televisi dan cahaya monitor laptopnya. Diluar kamar hujan terdengar semakin deras mengguyur.

“Maaf Raysha, kamu pantas untuk yang lebih baik!” Gumamnya dalam hati, sambil memandangi gambar seorang gadis cantik yang tersusun dalam beberapa gambar dengan beberapa pose manis yang menjadi wallpaper di layar laptop.

Teringat oleh Bagas pertengkarannya dengan Raysha tadi siang.

“Bagas, kamu serius mau mengakhiri hubungan ini?” Suara serak Raysha sambil menahan isak tangisnya.

“Iya, karena percuma! Kamu pantas untuk yang lebih baik! Sementara, aku juga mau pergi!” Jawab Bagas sedikit angkuh namun berusaha menahan gejolak berat di dadanya.

“Kamu mau pergi kemana?” Timpal Raysha, sambil menghapus air matanya yang sudah tidak kuasa ditahannya.

“Kelangit! Tempat dimana kamu tidak bisa ikut!” Bagas menghentak, rasa cintanya pada Raysha, dan bencinya pada keadaan yang tidak mendukung hubungannya membuat sisi temperamentalnya sedikit keluar. Dan pertengkaran itu hanya berakhir begitu saja, Bagas melaju pergi dengan sepeda motornya, meski kemudian berbalik dan melihat dari jauh Raysha menaiki mobil yang sudah menunggu tidak jauh dari tempatnya berdiri, seorang lelaki paruh baya yang tak lain adalah supir pribadi Raysha terlihat membantu Raysha menaiki mobil tersebut.

Bagas mematikan televisi dengan remote, untuk kesekian kali asap rokok mengepul memenuhi kamar kostnya yang tidak terlalu luas, beberapa puntung rokok berserakan di dalam asbak. Jari-jarinya bermain di keyboard Laptop, sebuah konfirmasi pemesanan tiket Jakarta Lombok untuk dua hari kedepan tertera dilayarnya. Tanda panah bergerak-gerak di layar laptop tersebut dan tepat di kolom “Yes” Jari Bagas menekan touchpad dengan pelan.

Hujan semakin deras di luar kamar, suara petir sesekali menggetarkan jantung. Beberapa laju mobil dan motor terdengar meraung-raung di jalanan. Hawa dingin menusuk hingga ke tulang sumsum. Hati Bagas membeku seiring matanya yang terpejam.

***

Raysha berlari-lari kecil, matanya mencari-cari papan petunjuk di sepanjang koridor Bandara. Orang-orang yang ramai di sepanjang koridor dilewatinya sambil berlari zigzag. Sebuah papan billboard bertuliskan “Skywalk Airways” menghentikan langkahnya. Ditemani Rindu, sahabat sejati yang dari tadi berusaha mengikuti langkahnya, Raysha bergegas masuk ke dalam dan berdesakan dengan puluhan orang lainnya yang sepertinya punya tujuan yang sama dengannya.

Dijaga oleh beberapa petugas Bandara, Raysha dan beberapa orang lainnya dipersilahkan masuk secara bergantian, karena kapasitas ruangan yang sangat kecil. Wajah-wajah tersebut seperti halnya Raysha menyiratkan tanda tanya dan kecemasan.

14.Bagas Brahmana Putra.

Badan Raysha lemas, nama Bagas tertera dalam papan pengumuman penumpang pesawat Skywalk Airways yang dilaporkan hilang dan belum terdeteksi keberadaannya. Rindu sahabatnya berusaha menopang tubuh Raysha yang seketika hampir terjatuh dan menuntunnya untuk duduk di sebuah kursi di ruang tunggu.

“Pesawat hilang dari pantauan radar sekitar pukul 14:00 wib, sebelum hilang sempat terjadi komunikasi antara Pilot dengan petugas Bandara, tetapi tidak lama pesawat yang sebelumnya berada di ketinggian 35.000 kaki tiba-tiba menghilang.” Suara pembaca berita di televisi menyampaikan berita yang membuat seisi ruangan tempat Raysha duduk saling bersahutan isak tangis dan suara panik.

“Bagas benar-benar pergi ke langit!” ujar Raysha pelan setengah berbisik pada Rindu di sampingnya. Tangis Raysha pecah seketika.

***

Short Message Service yang tertera di layar ponsel dibaca lagi pelan-pelan oleh Raysha, pesan yang sudah dibacanya puluhan kali sejak 6 hari yang lalu, sebuah pesan pendek dari Bagas yang menyampaikan bahwa dia akan berhenti kuliah, menjual motornya dan akan pergi ke Lombok. Seorang teman lama mengajaknya untuk berbisnis di sana. Skill Photography yang dimilikinya secara otodidak dan dijadikan hobby sekian tahun akan menghasilkan uang di Lombok.

“Tim SAR masih melakukan pencarian Pesawat Skywalk Airways KH 674. Berbagai pihak memprediksi pesawat jenis Boeing 737-400 yang naas tersebut mengalami kerusakan mesin saat dalam penerbangan dari Jakarta menuju Lombok dan diprediksi terjatuh di daerah perairan sekitar samudrea hindia.” Pembaca berita televisi masih terus memberitakan kecelakan pesawat yang ditumpangi Bagas.

Raysha membanting HP di sofa, dan remote yang dari tadi tergeletak diambilnya untuk kemudian memainkan jari di tombol-tombol remote tersebut.

“Perkiraan pembajakan bisa saja terjadi pada pesawat Skywalk Airways KH 674, karena jika terjatuh seharusnya bangkai pesawat sudah bisa ditemukan, tetapi hingga pencarian hari ke-6 belum ada tanda-tanda keberadaan pesawat naas tersebut beserta penumpangnya.” Sebuah televisi lain memberikan analisa yang berbeda mengenai pesawat yang ditumpangi kekasihnya itu.

“Kriing”

Suara telpon terdengar dari ruang depan, dan tak lama Mbok Painem, pembantu di rumah Raysha mengetuk dari balik pintu kamar.

“Non Raysha, ada telpon dari Ibu Mas Bagas!”Sahut pembantunya itu pelan.

“Baik Mbok, saya segera keluar!”Sahut Raysha sambil menyeka air matanya dengan tissue.

Perlahan Raysha membuka pintu kamar dan bergegas ke ruang depan. Di ruang tamu tersebut terlihat Ibunya yang langsung menatapnya dengan sorot tajam. Raysha berusaha menyembunyikan wajahnya yang sembab. Di samping Ibunya terlihat Bapaknya yang sedang asyik bercengkrama dengan koleganya. Raysha sangat kenal dengan kolega Bapaknya tersebut. Lelaki yang sudah berumur sekitar 60 tahunan tetapi tetap terlihat energik itu adalah Om Setyono Diningrat. Seorang konglomerat, pengusaha property yang sudah membangun beberapa perumahan elit, Mall dan gedung perkantoran di daerah Jakarta. Bapak Raysha yang seorang petinggi di instansi Pemda kerap membantu perizinan untuk Om Setyono. Hasilnya Raysha bisa tinggal di perumahan yang cukup mewah juga dengan segala kecukupan yang nilainya sebenarnya melebihi pendapatan Bapaknya. Disamping Om Setyono duduk seorang pemuda berbadan tegap yang juga langsung memandang Raysha sambil melempar senyuman.

Setelah sedikit berbasa-basi Raysha melintas di ruang depan dan langsung menuju meja telpon di sudut ruangan.

Baru saja gagang telepon menempel di kupingnya, dari seberang terdengar sapaan seorang perempuan dengan suara serak dan terputus-putus yang diselingi sesekali isak tangis.

***Bersambung

Leave a Comment