Ada Lowongan Penulis Artikel, Ini yang Ditunggu-tunggu!

Menanti kerjaan sampingan berupa menulis artikel lumayan juga sabarnya, ya. Nah, ketika melihat info lowongan penulis artikel yang dinanti tersebut, segera otak, pikiran, dan tangan ini ikut gayung bersambut mencermati persyaratan yang tertera. Salah satu syaratnya menulis contoh artikel. Hmm, mau menulis apa ya. Atau mungkin tulisan yang dulu dan belum sempat dikirimkan ke media. Boleh juga nih untuk dicoba. Insya Allah mudah-mudahan ada rezekinya. Bismillah deh….

 

***

 

“ … Aku ingin hidup penuh makna dan mengisap semua sumsum kehidupan. Untuk mengusir semua yang tidak hidup, jika tidak, jika mati aku tahu bahwa aku tidak pernah hidup.”

Apa yang terbersit dalam benak Anda saat membaca puisi di atas? Dan pernahkah Anda bertanya pada hati jika ternyata selama kita hidup, tak ada sesuatu pun yang bermakna hingga kehidupan kita sirna? Dahsyat. Setidaknya itu yang pertama kali muncul dalam benak saya ketika membaca ungkapan bijak tersebut. Penggalan puisi karya Henry David Thorea di atas banyak menyiratkan sesuatu yang mendalam tentang kehidupan dan memberikan inspirasi untuk menjalaninya. Keinginan untuk hidup dengan bebas dan tidak terkungkung dalam suatu “kotak” yang membelenggu. Daripada hidup terbelenggu lebih baik, pergi meninggalkan dunia selama-lamanya.

Apa artinya hidup jika kita tidak pernah merasakan ‘hidup itu apa?’

Pernahkah Anda mendengar cerita tentang  seekor belalang yang telah lama terkurung dalam sebuah kotak? Suatu hari belalang tersebut akhirnya bisa keluar dari dalam kotak dan dengan gembira melompat-lompat menikmati kebebasannya. Di perjalanan ia bertemu dengan belalang lain. Namun, ia terkejut kenapa belalang lain yang tidak hidup dalam kotak loncatan bisa lebih tinggi dan lebih jauh ketimbang dirinya. Saat itulah ia tersadar bahwa selama ini kotak itulah yang telah membuat lompatannya tidak sejauh dan setinggi belalang lain yang hidup di alam bebas. 

Tak heran. Jika puisi memang genre dari karya sastra imajinatif sangatlah kental dengan nuansa romantis, kehidupan, keindahan, dan ungkapan jiwa. Dalam puisi, hakikat kehidupan dan keindahan menyatu padu dan saling membelit. Puisi bukan hanya sekadar ungkapan jiwa dan perasaan, tapi seluruh sumsum kehidupan yang mengakar kuat di dalamnya.

Berminat menjadi penyair? Paling tidak, untuk menjadi seorang penyair harus mempunyai daya empati yang dahsyat. Penyair menyadari akan eksistensi kehadirannya di dunia sebagai seorang pribadi yang mengalami kehidupan jasmani dan rohani, mempunyai sikap moral yang membedakannya dengan makhluk lain. Ia pun mempunyai kepekaan terhadap rangsangan sekitarnya dan mampu menerjemahkan kembali kesan yang dialaminya dan rangsangan-rangsangan yang diterima dan diekspresikan melalui proses pemilihan kata-kata yang tepat, warna bunyi yang sesuai dengan suasana. Bagi penyair, bahasa ataupun kata-kata merupakan alat yang paling komunikatif baginya untuk menggoreskan getaran pikiran dan gejolak perasaannya.

Tahukah Anda dengan film Dead Poets Society? Nah, N.H. Kleinbaum mencoba menulis kembali film tersebut ke dalam  bentuk novel dengan sangat hati-hati. Tidak ada suatu peristiwa yang ada dalam film luput dari pengamatannya. Malah dalam novelnya ini pemaparan peristiwa, situasi, karakter tokoh, dan tokoh-tokoh yang ada terasa lebih lengkap. Eksplorasi imajinasi penulis dalam novel sangat besar sehingga cerita yang terdapat dalam novel terasa lebih kental dan detail. Kita terkadang suka membandingkan alur cerita dalam suatu novel yang kemudian di angkat dalam layar lebar atau sebaliknya, sebagian besar lebih menyukai alur cerita dalam novel karena terasa lebih padat dan mengasyikkan.

Masuknya kembali siswa-siswa sekolah Akademi Welton setelah merasakan liburan musim panas yang panjang merupakan awal dari cerita. Akademi ini memang dikhususkan untuk siswa laki-laki lengkap dengan asramanya yang terletak di salah satu sudut kota di negara Amerika Serikat. Adalah Neil Perry, Charles Dalton, Knox Overstreet, Todd Anderson calon siswa-siswa teladan dari akademi ini.

Tradisi, kehormatan, disiplin, dan kesempurnaan, beberapa semboyan akademi ini yang patut di taati oleh siswanya. Sebenarnya hal ini menjadi sesuatu yang membosankan bagi Neil, Dalton, Meeks, Knox, dan yang lainnya ketika tinggal di sekolah ini. Sesuatu yang dianggap hanya sebuah klise dari “muka” sekolah yang ingin menjadi terbaik di mata masyarakat sekitar. Mereka ingin memberontak, tapi tidak bisa. Karena harus memperhitungkan resiko keluar dari sekolah dan perasaan orang tua yang ingin anaknya sukses di akademi ini. Mereka pendam hal itu sampai saatnya nanti. Sampai saatnya, John Keating, guru bahasa Inggris baru lulusan Welton beberapa tahun sebelumnya menggantikan Tuan Portius yang telah pensiun, yang akan membawa pembebasan pemikiran para siswa tadi yang telah lama terpenjara. Keating seakan membawa pembaharuan dalam hal mengajar, di saat para guru lain yang mengajar secara “klasik” berceloteh dengan teori dan memberikan tugas yang begitu menumpuk. Strategi mengajar Keating yang begitu unik, membuat beberapa kesan pertama bagi beberapa siswa Welton merasa aneh dan menakutkan.

Oh Capten, My Capten

Itulah cara perkenalan unik yang dilakukan oleh Keating. Judul puisi karya Walt Whitman yang ditujukan sebagai penghormatan kepada Abraham Lincon. Suatu sentuhan pertama yang dicoba untuk mengajarkan tentang puisi. Keating  yang sangat menentang teori mengenai puisi, sampai menyuruh siswa merobek buku teori yang ada walaupun teori tersebut yang berasal dari seorang profesor. “Omong kosong itu semua”, ujar Keating dalam menentang teori puisi tersebut. “Ini adalah peperangan teman-teman, korbannya mungkin hati dan jiwamu. Pasukan akademisi maju menyerang, mengukur puisi. Kita tidak bisa menerima itu.”  sambung Keating sambil membawa kotak sampah berkeliling di kelas dan menyuruh membuang robekan tadi.

“Pergilah teori Tn. Pritchard. Kalian akan belajar berpikir untuk diri kalian sendiri. Kalian akan belajar menyelamatkan kata-kata dan bahasa. Apa pun yang dikatakan orang-orang, kata-kata dan bahasa bisa mengubah dunia. Kita membaca dan menulis puisi, karena puisi itu bagus. Kita membaca dan menulis puisi karena kita anggota umat manusia ….” Itulah sebagian kata-kata Keating yang memancing emosi jiwa siswanya, sehingga sedikit demi sedikit beranjak naik.

Ada pendapat yang pro dan kontra mengenai mempelajari sastra yang berdasarkan teori dan yang berdasarkan imajinasi. Sastra yang berdasarkan teori terpaku pada aturan-aturan yang ada, sehingga seakan mengekang pemikiran dari penulis atau penyair. Ini biasanya terjadi pada kalangan akademik dalam mempelajari sastra. Sedangkan sastra yang berdasarkan imajinasi, bebas bereksplorasi dengan daya pemikiran yang tinggi dalam bersastra. Semua ini bergantung pada orang yang memahami dari berbagai sudut.

Carpe diem. Seize the Day. Raihlah kesempatan. Semboyan ini seolah akan menggantikan semboyan akademi yang begitu “beku” rasanya. Prinsip ini pula yang kemudian tertanam pada Neil, Dalton, Knox, Meeks, serta yang lainnya ketika menemukan suatu komunitas, Dead Poets Society, yang pernah muncul di sekolah ini, meskipun masih secara gerilyawan. Ternyata komunitas ini pernah diusung oleh Keating, guru bahasa Inggris mereka sendiri yang akhirnya tersentuh oleh cara pengajarannya mengenai sastra. Setelah diselidiki oleh siswa-siswa ini, komunitas ini menjadi komunitas yang terlarang oleh sekolah karena dianggap liar dan membahayakan. Karena liar dan membahayakan itulah, mereka malah berinisiatif untuk membentuk kembali komunitas ini. Akhirnya komunitas ini pun terbentuk kembali yang dipimpin oleh Neil Perry. Sampai akhirnya komunitas ini pun hancur kembali, karena ada kecerobohan salah satu anggotanya sampai diketahui oleh pihak sekolah dan juga ada yang berkhianat. Tragis sekali melihat kehancuran komunitas tersebut untuk kedua kalinya, sampai-sampai sang ketua meninggal bunuh diri karena jiwanya yang tidak kuat untuk memberontak akan aturan yang ada.  

Banyak hal dan peristiwa yang mewarnai cerita ini. Kisah Knox yang ingin mendapatkan cinta dari seorang gadis cantik dengan perjuangan puisi-puisinya. Dalton yang menjadi “liar” pemikirannya sampai harus dikeluarkan dari sekolah. Pengkhianatan salah satu anggota Dead Poets Society, Cameron, dengan alasan harus menghargai kode kehormatan sekolah, ketika guru bertanya dia harus menjawabnya dengan jujur.

Neil Perry dengan perjuangannya ingin bermain teater dan ditentang keras oleh ayahnya, sampai akhirnya ia pun menembak dirinya dengan pistol ayahnya sendiri, dan banyak peristiswa lainnya yang sarat dengan makna. Pembebasan pikiran mereka yang akhirnya harus menyedihkan. Keating pun akhirnya dipecat dari sekolah, karena dianggap kambing hitam dari semuanya ini. Ending ceritanya pun cukup mengena di hati, sebagai penghormatan terakhir kepada Keating, Todd Anderson nekat naik ke meja belajarnya walaupun Pak Nolan sang kepala sekolah yang sedang mengajar tidak digubrisnya sambil mengatakan, “Oh Capten, My Capten”. Hal ini diikuti juga oleh yang lainnya, sehingga Pak Nolan kewalahan menghadapinya.

Kemandirian N.H. Kleinbaum dalam mengemasnya nyaris sempurna ke bentuk novel dari film tentang sastra yang dahsyat. Tetapi, hal ini sepertinya bukan merupakan suatu karya yang original dari seorang penulis. Penulis di sini hanya dituntut bereksplorasi sedikit dari suatu cerita yang telah ada dan ditulis oleh penulis lain.

            Jika kita menoleh pada sejarah Indonesia sebelum merdeka, di mana bangsa masih terjajah oleh Belanda dan Jepang, banyak penyair-penyair yang menuangkan pemberontakannya melalui puisi. Hal ini dikarenakan kesadaran mereka untuk segera bebas dan lepas dari dunia jajahan. Kaum terpelajar Indonesia yang mengenyam pendidikan barat dan menguasai bahasa Belanda pada masa itu, dapat membaca buku para pengarang Belanda yang membela hak kemerdekaan bangsa pribumi. Salah satunya adalah Edward Douwes Dekker (1820-1887). Buah tangannya yang berjudul Max Havelaar sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan kesadaran kebangsaan dan keinginan merdeka bangsa Indonesia.

Hal ini pula yang memotivasi para pemuda bangsa untuk membebaskan diri dari keterjajahan. Pada tahun 1920 Muh. Yamin membuat puisi berjudul “Tanah Air”, puisinya ini merupakan lirik pujaan terhadap tanah airnya yaitu Sumatera. Tetapi kenyataan yang dilihatnya sehari-hari menyatakan bahwa tanah airnya yang mulia dan kaya raya ternyata tidak merdeka.

Penyair sejaman dengan Muh. Yamin adalah Roestam Effendi yang sadar akan tugasnya untuk berjuang bagi kemerdekaan tanah airnya. Puisinya yang berjudul ‘Mengeluh’, menggambarkan kegelisahannya melihat bangsa Indonesia yang berada dalam cengkraman penjajah.

Pada masa penjajahan Jepang prosa dan puisi banyak ditulis. Kondisi perang dan penderitaan lahir batin karena dijajah telah mematangkan jiwa bangsa Indonesia. Dan saat itu bisa dikatakan pula bahwa bahasa Indonesia mengalami pematangan. Ini terlihat pada puisi-puisinya Chairil Anwar dan puisi Idrus. Puisi Chairil Anwar yang terkenal adalah ‘Aku’, menggambarkan semangat hidupnya yang bersifat individualistis.

Puisi-puisi yang ditulis penyair-penyair pada masa penjajahan sangat mempengaruhi para pemuda yang ingin membebaskan diri dari penjajahan fisik dan mental. Disinilah, kekuatan ruh puisi muncul. Ada dan mengakar pada jiwa dalam membangkitkan makna hidup yang sesungguhnya. Memotivasinya untuk lepas dari keterkekangan materi yang menghimpitnya, tidak diperbudak, dan tidak memperbudakkan.

Namun sangat disayangkan, kekuatan ruh puisi karya Henry David Thorea malah menjebak tokoh Neil Perry ke dalam alam pemikiran yang buntu. Bunuh diri adalah jalan terbaik untuk mengakhiri hidup agar terbebas dari keterikatan dan ketertindasan idealismenya. Hal ini justru berbanding terbalik dengan kekuatan ruh puisi yang hakiki, artinya dapat memberikan kontribusi yang besar berupa semangat untuk menjalani kehidupan, bukan untuk mengakhirinya.

Berbeda halnya dengan para pejuang dulu, puisi yang menyeret mereka untuk mempertahankan hidup mampu mengalahkan penjajahan kepada pintu gerbang kemerdekaan. Tidak membiarkan dirinya mati begitu saja. Karena dengan cara itulah, kita dapat menghirup semua sumsum kehidupan dan menghisapnya. Yang harus dibunuh bukanlah berupa materi, namun pola pemikiran yang salah dalam mengartikan kehidupan.

         

***

Mudah-mudahan tulisan di atas bisa memberikan informasi yang bisa menambah pengetahuan tentang sastra. Karena dulunya kuliah jurusan sastra dan mengambil linguistik, jadilah perpaduannya terhampar di atas tulisan. Sekali lagi, mudah-mudahan bisa lolos, untuk lowongan penulis artikel.

Leave a Comment