Penulis dan penerbit, bagai sekeping mata uang. Mereka saling terikat satu sama lain, menjadi sebuah kesatuan. Penerbit tanpa penulis, tak bisa tumbuh, begitupun penulis tanpa penerbit tak akan bisa meraih mimpi. Mimpi setiap penulis adalah melihat karyanya menjadi buku. Tapi itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Penerbit sangat selektif dalam memilih karya yang akan diterbitkan. Ada kriteria-kriteria khusus yang harus dipenuhi. Tak jarang penulis menelan pil pahit saat berkali-kali naskah mereka ditolak. Ada yang tetap berjuang, tapi tak sedikit yang patah arang, hayut dalam kekecewaan. Pada akhirnya banyak penulis beragapan menulis lebih mudah dibandingkan menerbitkan karya. Namun persepsi itu berubah seketika. Diakhir tahun 2010, saat self publising Indonesia mulai dikenal. Menjadi sinar yang menerangi jalan para penulis untuk melihat karyanya terbit. Berbunga-bunga akan sebuah harapan. Dengan menyediakan sejumlah uang maka hanya dalam hitungan minggu, buku sudah berada tangan. Sudah bisa dipajang dan dipromosikan keteman-teman. Impian yang telah lama terpedam akhirnya terwujud.
Semakin hari semakin booming, menjadi trend yang tak terelakkan. Apalagi semua bentuk naskah, bisa di terbitkan. Puisi dan cerpen yang jarang dilirik oleh penerbit, kini memiliki tempatnya. Penulis-penulis baru banyak bermunculan. Berbagai perlombaan bertebaran menjaring tulisan terbaik, dengan janji yang menang akan dibukukan. Menjadi angin segar untuk menggali eksistensi dan potensi. Antusias tak terbendung ratusan bahkan ribuan peserta terjaring. Berlomba-lomba mengirimkan naskah terbaik. Penerbit serupa, mulai bermunculan dengan tawaran yang semakin menarik.
Seiring berjalan waktu, awal tahun 2014 self publising Indonesia, mengalami penurunan peminat yang signifikan. Banyak penerbit yang gulung tikar, tapi ada berapa yang tetap bertahan. Satu persatu penulis mulai bermetamorfosis, menyadari satu hal bahwa bukan sekedar melihat buku terbit tapi lebih dari itu. Bagaimana buku itu tak hanya berseliweran di media sosial tapi memiliki tempat di toko buku. Tak hanya menghasilkan karya tapi juga melahirkan lembaran-lembaran rupiah sebagai penghargaan dari jerih payah. Tak hanya sekedar berkarya, tapi bagaimana buku itu sampai ke tangan pembaca. Ada berapa alasan utama yang mendasari kemunduran jumlah penggemar yaitu harga jual buku yang lebih mahal karena ada tambahan ongkos kirim bagi yang ingin membeli. Pemasaran hanya tersedia secara online. Modal yang dikeluarkan tak sebanding dengan keuntungan yang didapatkan, apalagi buku yang dikerjakan secara keroyokan kadang tak jelas royaltinya. Kualitas buku yang dihasilkan kadang dibawah standar karena pengerjaan yang cepat, tanpa proses editing yang memadai, serta karya yang diterbitkan tanpa seleksi.
Self publising Indonesia, sebenarnya bisa menjadi solusi bagi penulis yang ingin mendapatkan keuntungan yang berlipat. Salah satu penulis ternama yang memanfaatkan kesempatan ini yaitu Asma nadia. Mungkin timbul dalam benak kita, jelas karena dia sudah memiliki banyak penggemar jadi mudah bila memasarkan buku. Namun ada penulis pemula, yang bisa menjual ribuan ekslamper, malah karya dilirik oleh penerbit ternama untuk diajak bekerjasama. Satu hal yang bisa kita pelajari bahwa ada proses dan perjuangan yang harus dilalui. Sebuah proses yang tidak instan. Bila kita menerbitkan buku asal terbit maka hasil juga asal-asalan. Sebenarnya dimanapun buku itu diterbitkan bukan menjadi sebuah persoalan. Bila karya disiapkan dengan matang dan memiliki karakter pasti akan memiliki tempat di hati pembaca. Karya yang berkualitas akan selalu dikenang sepanjang waktu.