Oleh: Rahmat Hidayat Nasution
Syeikh Muhammad bin Abu Bakar mencantum di dalam al-Mawaa’id Al-‘Ushfuuriyyah salah satu kisah yang layak jadi pembelajaran. Kisah dua orang penyembah api.
“Di masa Malik bin Dinar, hidup dua orang majusi, penyembah api. Yang satu berusia 73 tahun dan yang satunya lagi 35 tahun.
“Hai, kemari!” panggil yang tua kepada yang muda. Lalu dia berkata lagi, “Apakah api ini akan menolong kita atau membakar kita sebagaimana dia membakar orang yang tidak menyembahnya. Jika tidak membakar kita, ayo kita teruskan menyembahnya. Tetapi jika membakar kita, maka buat apa kita menyembahnya?”
“Betul juga,” jawab yang muda.
Lalu mereka pun menyalakan api.
“Aku ataukah kamu yang menaruhkan tangan?” Tanya yang muda.
“Kamu saja,” jawab yang tua.
Kemudian ditaruhnya salah satu tangannya di atas api tersebut. Jarinya terbakar dan sontak dia menjerit.
“Au, cepat-cepat ditariknya jari tangannya.”
“Sudah tiga puluh lima tahun aku menyembahmu, masih juga kau menyakitiku,” gerutunya. “Ayo kita cari saja Tuhan yang Maha Esa, yang jika kita berdosa dan meninggalkan perintahnya selama 500 tahun, misalnya. Dia mau mengampuni dan memaafkan hanya dengan taat satu jam dan hanya dengan satu kali mintaa maaf,” ajak yang muda.
“Baiklah! Kita cari orang yang bisa membimbing kita ke jalan yang lurus, yang mengajarkan kepada kita agama yang menyelamatkan.”
Lalu mereka pun sepakat untuk menemui Malik bin Dinar di Basrah. Sesampainya di Basrah, mereka berdua menemukan Malik tengah berdakwah di depan masyarakat. Tiba-tiba yang tua berkata, “Aku tidak jadi masuk Islam. Aku sudah kelewat tua. Umurku habis untuk menyembah api. Sekiranya aku masuk Islam pun, tentulah keluarga dan tetanggaku akan mencaciku. Neraka lebih aku suka daripada caci maki mereka.”
“Jangan lakukan itu!” cegah yang muda, “cacian bisa berhenti, tapi nereka itu abadi,” nasehat yang muda.
Yang tua tetap saja tidak memperdulikan nasehat tersebut, “Kamu adalah kamu. Biarkan aku memilih pilihanku. Celakahlah kau, hai gelandang dunia dan akhirat,” makinya. Lalu ia pun pulang dan tidak jadi masuk Islam.
Sedangkan yang muda malah mengajak anak dan isterinya mengikuti pengajian tersebut hingga Malik selesai mengajar. Kemudia dia berdiri dan menceritakan masalahnya dan niatnya memeluk agama Islam bersama keluarganya. Lalu mereka pun masuk Islam. Dan Orang-orang yang mendengar kisah dan keinginannya masuk Islam menjadi suka cita.
Ketika ia dan keluarganya ingin pulang, Malik bin Dinar menahannya, “Tunggu sebentar. Jangan dulu pulang. Duduk dulu di sini hingga kawan-kawanku mengempulkan sedikit hartanya untuk kalian.”
“Tidak. Aku tidak ingin menjual agamaku dengan dunia,” tolaknya.
Kemudian ia pamit dan tetap melanjutkan keinginannya untuk pulang. Ia pun menelusuri jalan-jalan setapak demi setapak hingga di ujungnya terdapat rumah tua. Di sanalah ia dan keluarganya tinggal.
Keesokan harinya, isterinya berkata, “Pergilah ke pasar. Carilah pekerjaan. Belilah makanan secukupnya untuk makan kita hari ini.”
Sesampainya di pasar tak seorang pun mau memberinya pekerjaan yang menghasilkan.
“Lebih baik aku berkerja untuk Allah saja,” katanya kepada dirinya sendiri.
Ia memasuki masjid yang sepi dari manusia. Ia shalat hingga malam tiba. Lalu pulang dengan tangan hampa.
“Apakah abang tidak mendapatkan sesuatu?” tanya isterinya.
“Hari ini aku bekerja untuk Raja. Hari ini Dia belum memberinya. Semoga saja besok diberi.”
Mereka pun melewati malam dengan rasa lapar.
Keesokan harinya ia kembali ke pasar. Masih juga tak mendapatkan pekerjaan. Ia pergi ke masjid lagi. Shalat sampai malam. Lalu pulang dengan tangan hampa.
“Masihkah abang belum mendapatkan sesuatu?” tanya isterinya kembali.
“Aku masih bekerja untuk Raja yang kemarin. Besok hari Jumat. Aku berharap Dia akan memberiku.”
Mereka kembali melewati malam dengan menahan lapar.
Esoknya, yaitu hari Jumat, kembali ia pergi ke pasar. Tapi tak juga dapat pekerjaan. Ia pergi ke mesjid. Shalat dua rakaat. Dengan mengangkat tangan ia mengadu, “Ya Tuhanku yang memiliki diriku! Telah Kau muliakan diriku dan keluargaku dengan Islam. Telah Kau berikan kepadaku keagungan Islam. Telah Kau berikan aku petunjuk dengan petunjuk terbaik. Atas nama kemuliaan agama yang telah Kau berikan kepadaku dan dengan kemuliaan hari Jumat yang penuh berkah. Hari yang telah Kau tetapkan sebagai hari agung, aku mohon tenangkanlah hatiku karena sulitnya mencari nafkah untuk keluargaku. Berikanlah aku rezeki yang tak terhingga. Demi Allah! Aku malu kepada keluargaku. Aku takut mereka berubah pikiran tentang Islam.”
Kemudian ia berdiri dan menyibukkan dirinya kembali dengan shalat.
Ketika tengah hari, saat laki-laki itu shalat jumat. Saat anak dan isterinya kelaparan, seseorang mengetuk pintu rumah mereka. Ketika dibuka oleh isterinya, seorang laki-laki sedang memegang nampan emas yang ditutupi dengan sapu tangan yang bersulam emas.
“Ambillah nampan ini. Katakan kepada suamimu. Ini upah kerjanya selama dua hari. Akan aku tambah bila ia rajin bekerja. Apalagi pada hari jumat seperti ini. Amal yang sedikit pada hari ini di sisi Raja yang Maha Perkasa nilainya besar sekali.”
Nampan itu pun diterimanya. Tak disangka, ternyata isinya 1000 dinar (uang emas). Ia pungut satu dinar untuk ditukarkan di tempat penukaran uang (money changer). Pemiliknya seorang Nasrani. Ia menimbang dinar tersebut. Ternyata beratnya dua kali lipat dari dinar biasa. Setelah diteliti ukirannya barulah tahu bahwa itu ukiran akhirat.
“Dari mana kau dapatkan ini?” tanya pemilik money changer tersebut.
Wanita itu pun menceritakan apa yang terjadi. Pemilik money changer tersebut langsung masuk Islam begitu mendengar ceritanya. Ia memberi wanita itu 100 dirham. “Pakai saja. Kalau habis bilang saja padaku aku akan memberimu lagi.”
Sang suami yang masih tetap di masjid melakukan shalat lalu pulang dengan tangan hampa. Diam-diam ia buka sapu tangannya dan mengisinya dengan pasir. “Jika nanti ditanya isteriku akan kujawab ini tepung,” gumamnya.
Ketika memasuki rumah, ia mencium bau makanan. Ia letakkan bungkusan pasirnya di samping pintu agar isterinya tidak tahu. Kemudian menanyakan apa yang terjadi di rumahnya.
Sang isteri menceritakan seluruhnya. Laki-laki itu pun langsung sujud syukur kepada Allah.
“Apa yang abang bawa itu?” tanya isterinya.
“Lupakan saja bawaanku.”
Isterinya yang penasaran beranjak untuk mengambil bungkusan yang dibawa suaminya dan membukanya. Atas izin Allah, pasir yang ditaruhnya di sapu tangan berubah menjadi tepung. Untuk kedua kalinya laki-laki itu sujud syukur.
Ia pun terus meningkatkan ibadahnya dari hari ke hari hingga akhir hayatnya.”
Apa yang layak dipetik dari kisah di atas?
Ada tiga hal, menurut saya. Pertama, Allah hanya memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. (QS. Al-Qashash [28]: 56). Meski sudah hampir mendapatnya, namun bila Allah belum izin, maka tak seorangpun akan mendapatkan hidayah-Nya. Itulah yang terjadi pada laki-laki majusi yang berusia 73 tahun.
Karena itu, beruntung kita yang sudah diberi Allah hidayah. Sehingga rahmat (kasih sayang) Allah terhadap diri kita sudah ada. Tinggal tugas kita untuk senantiasa menjaganya agar rahmat dan hidayah Allah tersebut tak lekang dari diri kita. Kita mesti menjaganya dengan terus menerus melakukan amal shaleh, meningkatkan ibadah dan memantapkan pemahaman kita tentang Allah SWT.
Maka, jangan sampai kita sia-siakan kesempatan yang diberikan Allah terhadap diri kita ini. Kesempatan yang tiada seorang pun yang tahu bagaimana akhirnya. Sehingga pantas bila kita selalu mengingat-ingat sabda Rasulullah Saw., “Barang siapa dibukakan pintu kebaikan, hendaknya dia mampu memanfaatkannya karena ia tidak tahu kapan ditutupkan kepadanya.”
Kedua, Yakinlah kepada Allah. laki-laki yang 35 tahun menyembah api kemudian memeluk Islam, dosanya diampuni oleh Allah SWT. Keimanannya layak menjadi contoh. Dari awal ia tak suka dikasihani. Ia yakin bahwa Allah akan menolongnya. Meski dia sudah berusaha mencari pekerjaan, namun tak dapat pada hari itu. Ia tak putus asa. Jika bekerja dengan manusia hari itu tidak bisa, saatnya bekerja dengan pemilik manusia. Itulah yang ada di pikirannya. Makanya yang dicarinya adalah mesjid.
Di mesjid, ia memang ‘bekerja’ dengan Allah. Ia lakukan ibadah hanya karena Allah. Bahkan hingga malam ia ‘bekerja’ dengan Allah. Ketika hari itu belum mendapatkan, ia tetap berpikir positif (husnuzhzhon) kepada Allah. Ia pulang dan tetap meyakinkan isterinya bahwa besok akan diberi Allah ‘gaji’ dari pekerjaannya. Keesokan harinya belum berhasil, ia tetap juga bekerja dengan Allah. Lalu keesokan harinya menceritakan apa yang diiinginkannya kepada Rajanya.
Satu hal yang paling indah, di dalam doanya. Ia tak langsung mengadukan masalahnya. Ia memuji Allah terlebih dahulu. Ia pun hanya mengadukan apa yang dikhawatirkannya dari isteri dan anak-anaknya, bukan dirinya. Ia khawatir keyakinan mereka berubah tentang Islam. Usai berdoa, ia tetap ‘bekerja’. Ia tawakkal kepada Allah. Ia yakin bahwa Allah akan menolongnya.
Sungguh, kisah ini bisa menjadi bagian cara menjelaskan firman Allah swt. “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Barangsiapa tawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thala [65]: 2-3).
Ternyata, ‘gaji’nya bekerja dengan Allah berlipat-lipat. Bahkan bisa membuat seorang nasrani menjadi muslim. Apa yang dilakukannya memang benar-benar menerapkan konsep, “Allah dulu, Allah lagi dan Allah terus”. Saat ia mengalami kesulitan, ia mengadu terlebih dahulu kepada Allah. Setelah dia berusaha dan berdoa, ia tetap kembali lagi ‘bekerja’ dengan Allah melalui ibadah yang dilakukannya di mesjid. Setelah Allah beri dia rezeki yang tidak disangka-sangka jumlah, ia terus beribadah kepada Allah. Bahkan hingga dua kali dia sujud syukur mendapatkan karunia yang tidak disangka-sangka.
Ketiga, kemuliaan hari jumat. Lihatlah yang dilakukan pria taat itu. Dalam berdoa dia tak menyia-nyiakan keistmewaan hari jumat. Disebutkannya bahwa hari jumat adalah hari yang berkah. Karena itu, kita juga pernah menyia-nyiakan hari jumat. Kita harus meningkatkan ibadah kita pada hari itu. Bisa dengan membaca surat al-Kahfi, karena Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa yang membaca surat al-kahfi pada hari jumat, akan menyinarinya cahaya antara dua jumat.” Bisa juga dengan memperbanyak sedekah, memperbanyak istighfar dan amal ibadah sunnah lainnya.
Jangan lupa, di dalam berdoa kepada Allah tirulah cara laki-laki tersebut berdoa. Setelah memuji Allah, sebutkan bahwa hari jumat adalah hari yang berkah. Mohon pertolongan Allah bila kita sedang dalam kesulitan. Mudah-mudahan dengan meniru cara laki-laki tersebut berdoa, Allah juga mengizinkan kita mendapatkan rezeki yang tidak disangka-sangka. Inilah pemahaman saya terhadap kisah di atas, bagaimana pemahaman Anda?