Aku lebih memilih memanggilmu papa
Mengapa bukan ayah, atau abah, atau semacamnya
Melainkan papa . . .
Sejatinya aku pun tak tahu mengapa memanggilmu papa
Mungkin karena tak sengaja terngiang ditangis pertama,
Tangis sapaan ke dunia . . .
Alhamdulillah, aku lahir dengan adzan berkumandang di telinga
Melumerkan tangisku, damai, hening, senyap di pagi selasa
Terimakasih papa . . .
9 april secara resmi kamu dititipkan untuk menjadi papa
Aku dititipkan untuk menjadi anak lelakimu di dunia
Titipan ini kita jaga dengan nama keluarga . . .
Dan ini aku sekarang, melihat kenangan lama di album keluarga
Papa kurus disini, dengan seragam keamanan sebuah badan usaha
Aku suka melihatnya. . .
Mungkin saat itu aku masih umur setahun, dua tahun, atau tiga
Jelas kelihatan gagah dengan sikap siaga
Haru dan bahagia . . .
Berjalannya waktu di selasar beberapa dasawarsa
Putih dan merah, aku pun berseragam gagah seperti papa
Namun papa tak lagi siaga . . .
Papa seperti pegawai sipil tak bertuan dengan dasi dan kemeja
Membawa tas hitam, aku pun punya tas namun tak sama
Papa kini pekerja . . .
Aku temui senyum papa di halaman selanjutnya
Senyum berdasi, sungguh lain dengan senyum sikap siaga
Senyum papa berbeda . . .
Mungkin karena Siantar tidak bersahabat lagi dengan kita
Kamu membawa aku, ami dan adik lelakiku pindah kota
Sebuah tanya, mengapa . . .
Kita mencoba bersahabat dengan kota Medan di hari pertama
Aku mulai berseragam putih merah kini seperti papa
Tidak lagi siaga . . .
Sebuah sekolah dasar menyambut aku dan seragam kemeja
Lalu papa di sambut dengan teriknya cuaca
Papa seorang pegawai swasta . . .
Aku sempat ingin mengumpat kepada Medan yang merubah papa
“Kemana papaku, kembalikan dia” papaku kini sangat bersahabat dengan kota
Papa selalu kerja . . .
Minggu itu aku bertanya kepada ibunda “Ami, papa kemana”
Pertanyaan sama setiap hari minggu dan jawaban yang sama
Papa sedang bekerja . . .
Aku mengganti album, dan tetap membuka kenangan lama
Medan membuat papa gendutan tampaknya
Aku mulai tak lagi mengenal papa . . .
Ingatkah papa, seketika itu kita bertamu sekeluarga
Ke rumah nasabah papa yang aku tak tahu alamatnya
Aku sungguh gembira . . .
Kita duduk di ruang tamunya bercakap apa saja
Dan aku tersenyum malu dengan anak perempuannya
Saat itu aku kelas lima . . .
Teman kerja papa bertanya aku kelas berapa
Mengapa papa menjawab ragu padanya
Papa tidak tahu aku kelas berapa . . .
Apakah mungkin papa terlalu banyak berbicara asuransi jiwa
Jenjang kelasku papa tidak mengetahuinya
Maluku berubah senja . . .
Mungkin aku yang salah, tidak ada waktu untuk papa
Tidak ada waktu untuk kita saling bertukar kata
Maafkan aku papa . . .
Putih merah dilunturkan putaran masa
Aku berseragam kemeja putih dan biru tua
Sekolah menengah pertama . . .
Aku semakin mengimbangi kesibukan papa
Hanya berbicara seperlu dan seadanya
Aku kini seperti papa . . .
Papa pergi kerja aku masih tidur karena sekolah siangnya
Aku tidur malamnya, kegiatan dunia baru memulangkan papa
Kita semakin jarang bertatap muka . . .
Aku masih berkutat dengan lembaran album keluarga
Mencoba mengingat bila ada kenangan yang terlupa
Kenangan aku dan papa . . .
Seragamku bertahap menjadi abu-abu muda
Memudar dahulu biru tua disingkirkan oleh usia
Aku semakin mirip dengan papa . . .
Berseragam kurusku ini, mirip papa kata ibunda
Mirip saat papa berseragam abu – abu muda
Aku dan papa adalah sama . . .
Aku mulai mencari tahu sedikit banyaknya tentang papa
Menjadikanku lebih banyak bertukar kata dengan ibunda
Aku tahu semua . . .
Aku mulai menyangkal mirip dengan papa
Dan tidak sedikit pun mau seperti papa
Aku dan papa tak sama . . .
Saat aku tahu wajah membiru ibunda
Aku semakin tak mau disamakan oleh papa
Aku bukan papa . . .
Dulu aku tak ambil pikir dan kini menduga – duga
Seringnya ibunda menangis, seringnya ibunda melamun hampa
Apa itu karena papa . . .
Aku memang anak lelaki papa, tapi tidak akan seperti papa
Aku akan menjadi ayah, tapi bukan seperti papa
Aku adalah anak lelaki papa . . .
Aku sayang papa, tidak ingin seperti papa