Angin Yang Membawa Bunga – Part. 4

Aku dan kamu pernah berjanji untuk bertemu di kotamu untuk urusan yang tidak kalah penting dengan pemilu raya. Hari itu kau mengantarkanku berkeliling. Baik sekali kamu. Waktu itu kita main ke Tamansari kan?

Yah di tempat itulah para raja-raja tanah mataram dulu bertapa, tempat itu lembab, dikelilingi oleh benteng. Ruang pertapaan itu terdiri dari beberapa jalan dan tangga yang berundak-undak dengan beberapa pintu mengelilingi sebuah tempat bundar. Ada seorang fotografer yang aku kenal pernah menjepret ruangan pertapaan itu, dan kalau tidak salah fotonya sempat mendapat penghargaan.

Di benteng paling atas aku memandang luas ke hamparan Jogja. Kulihat langit begitu indah. “itu di sana rumahku!” katamu merdu. Pinggiran kota yang terlihat hijau dengan hamparan persawahan dan barisan kelapa―Madukismo.

Apakah tempat raja memilih selir mempunyai arti tertentu untukmu?

Bagiku yah, sangat!

Tempat itu bermakna kepedihan.

Bukankah di tempat itu kuungkapkan perasaanku padamu?

Dan..

DENGAN SERTA MERTA TANPA TEDENG ALING-ALING KAMU BILANG..

“Maaf..”

ENAK SAJA KAU BILANG MAAF, MAAF BUKANLAH JAWABAN YANG PANTAS KAU UCAPKAN DI TEMPAT RAJA MEMILIH SELIR. KAMU SECARA SIMBOLIK TELAH MENENTANG KEKUASAAN HIRARKIS NENEK MOYANGMU SENDIRI.

“maaf.. ngga bisa, baru saja seminggu yang lalu..”

CUKUP!

Apa pun faktanya bahwa kau baru saja punya kekasih adalah hal lain, yang pasti kamu telah membohongi aku, bukankah kamu berjanji untuk menungguku di kotamu. Satu bulan lagi saja.. tidak lama kan?

Di bawah sorot lampu temaram Vredeeburg, Kulepaskan genggamanku. Ini adalah jabatan terlama dan kunikmati denganmu.

Mobilmu melaju menjauhi aku yang duduk memandangi roda mobilmu yang berputar semakin cepat..

 

*** 

 

Pernah suatu ketika pula, aku sempat melihat dirinya. Ketika entah untuk yang keberapa kalinya aku berada di bawah langit Mataram.

Di sebuah pusat perbelanjaan di Malioboro kulihat seorang wanita muda dengan seorang anak kecil usia 5 tahunan sedang-berjalan-jalan. Yah.. wanita yang sama yang pernah aku jumpai dahulu kala. Masih sama seperti dulu, tetap mekar, berseri. Ooh.. seperti yang aku bayangkan.

Aku beranikan diri untuk menyapa, tapi kau memang tidak mengenaliku, wajahku. Wajah dengan banyak lipatan kecewa dan sengsara ini, kau tidak mengingatnya.

Ketika kau berusaha meraba siapa lelaki yang berada dihadapanmu, aku segera bergegas pergi tanpa mengindahkan panggilanmu.

 “Bung!” katanya. “Sepertinya kita pernah ketemu..”

Anjing! goblok! babon bulukan! terang kita pernah bertemu. Ini malah kau panggil aku Bung, aku bukan Bung, kamulah yang Bung. Apakah tampangku mirip dengan proklamator itu!

Heran rasanya zaman seperti ini masih ada kata-kata ‘Bung’. Ini bukan zaman kemerdekaan Bung!

jogja2

*** Bersambung

Leave a Comment