Filosofi Pohon Kelapa & ULar

            Hiduplah seorang anak dari keluarga yang biasa-biasa saja, di sebuah dusun kecil. Dia anak ketiga laki-laki dari empat orang bersaudara. Sebut saja namanya Rudi. Rudi tumbuh menjadi anak yang normal hanya sampai berusia 5 tahun. Karena penyakit yang tidak kunjung sembuh, pasca Rudi terjatuh di pinggiran sungai ketika menemani ibunya mencuci, dia pun harus rela kehilangan cahaya terindah dalam hidupnya.

            Semenjak itu, hidupnya hanya ditemani kesunyian dan gelap yang tak kunjung henti. Beberapa kali Ammak dan bapaknya mencoba untuk membawanya berobat ke dokter hingga ke dukun tersakti didusunnya. Namun, semua usaha orangtuanya sia-sia saja. Matanya tetap saja tertidur meski kelopaknya terbuka.

            Hidup seorang anak yang diharapkan sebagai penerus darah keturunan keluarga, kini pupus ditengah jalan. Si anak juga, tidak lagi seriang dulu, tidak ada lagi tawa, canda yang sering dilakukan diruang keluarga, hanya senyum yang tidak pernah lepas dari bibir mungilnya. Kedua orang tuanya pun, kini harus hanya bisa pasrah menerima keadaan anaknya.

            “Pak, Rudi sebentar lagi harus masuk sekolah. Kita harus menyekolahkan Rudi di sekolah apa ya?”

            “Tetap di sekolah biasa saja Mak,”

            “Tapi, bagaimana dengan matanya Pak?”

            “Semua pasti akan baik-baik saja, percayalah,” Jawab Bapak Rudi sambil melihat anak lelaki satu-satunya yang kini berjalan pun harus meraba sekitarnya.

            “Apa tidak sebaiknya, Rudi kita masukkan ke sekolah luar biasa atau sekolah khusus Pak?”

            “Anak kita tidak cacat Mak. Jika kita memasukkan Rudi ke sekolah khusus, kita meragukan kemampuan anak kita sendiri. Lihat saja, sejak enam bulan lalu dia tidak dapat melihat, apa pernah Ammak melihat Rudi menangis, justru dia yang selalu menghibur kita,”

            “Iya Pak. Ammak Cuma takut kalau Rudi tidak mampu bersaing, jika di sekolah biasa,” ujar Ammak sambil tertunduk.

            “Wajar kalau Ammak mencemaskan semuanya. Tapi, anak kita akan baik-baik saja,”

            Tidak sengaja Rudi yang berada tidak jauh dari mereka, menyimak pembicaraan kedua orang tuanya. Rasa sedih, marah bahkan ingin putus asa menerima nasib dari Tuhan. Tetapi, Rudi tetap saja bisa menyembunyikan semua rasanya lewat seutas senyum yang tidak pernah lepas dari bibirnya. Meski umurnya baru akan beranjak ke angka enam, namun ketabahan serta ikhlas yang ditanamkan oleh ayahnya sejak kecil, membuatnya tetap bisa berdiri meski langkah kecilnya tertatih.

            Sebulan sudah, Rudi tercatat menjadi anak kelas satu di SD Negeri di dusunnya. Meski, dusun tempat tinggal Rudi terpencil, tetapi fasilitas pendidikannya cukup lengkap, selain memiliki 1 Sekolah dasar, juga ada 1 SMP, dan 1 SMA.

            Di bulan kedua, Rudi hampir putus asa, tidak ada lagi semangat dalam hidupnya. Dunia yang tadinya menyenangkan, kini terkesan hanya sebagai mimpi buruk. Di kala teman-temannya, sudah tidak lagi direpotkan pengenalan huruf, Rudi masih saja harus bersusah payah menghafal huruf demi huruf.

            Sang Bapak ternyata menyadari hal tersebut, beberapa hari Bapak mencari akal untuk membuat semangat Rudi bangkit lagi, dan tidak putus asa hanya karena persoalan pengenalan huruf. Bapak berencana hari minggu ini, mengajak Rudi untuk jalan-jalan ke kebun sambil memberi sedikit motivasi.

            Hari minggu ini, cuaca sangat cerah. Jadi rencana bapak untuk mengajak Rudi ke kebun bisa terlaksana.

            “Ammak, habis sarapan bapak mau jalan-jalan ke kebun bersama Rudi ya?”

            “Mau ajak Rudi Pak, Asyyiiikk” Rudi jadi bersemangat mendengar bapak akan mengajaknya ke kebun.

            Dulu, sebelum matanya tidak bisa melihat, kebun adalah tempat Rudi menghabiskan waktu bersama kakak dan kedua orang tuanya. Tetapi, ketika penglihatannya tidak lagi berfungsi, Rudi tidak diperbolehkan untuk ikut ke kebun, karena takut kalau ada terjadi apa-apa dan tidak ada yang mengawasinya.

            “Bapak yakin, mau ajak Rudi?” Ammak bertanya dengan wajah bingung.

            “Iya, sudah lama Rudi tidak kita ajak ke kebun kan Mak?”

            “Iya sih Pak. Tapi..”

            “Rudi tetap akan bapak ajak ke kebun, hari ini Ammak libur saja. Di rumah saja sama anak-anak. Biar bapak saja sama Rudi yang ke kebun,” bapak menjawab sambil menarik tangan Rudi keluar rumah.

            “Pakkk, Tapi…” Bapak berjalan terus dan tidak lagi menengok ke belakang, meninggalkan Ammak dengan penuh rasa tanda Tanya.

            Sesampai di kebun, Rudi dan Bapak langsung ke rumah kecil yang sengaja dibuat untuk beristirahat di kala rasa lelah bekerja. Aroma kebun yang menyegarkan paru-paru, serta udara yang sejuk seketika membuat Rudi merasa sangat senang. Bapak juga hanya bisa tersenyum melihat Rudi yang meloncat-loncat kegirangan. Wajah sedih yang beberapa hari ini, tidak lagi terlihat.

            “Dasar anak-anak,” Bapak Cuma bisa geleng-geleng kepala.

            Di teras rumah yang terletak di tengah perkebunan kelapa, bapak mengajak Rudi untuk duduk di tepi tangga.

            “Rud, kamu tahu tidak kenapa keluarga kita lebih memilih menanam kelapa di perkebunan ini?”

            Rudi kecil hanya bisa menggeleng.

            “Sebelum penglihatan Rudi seperti saat ini, Rudi masih ingat seperti apa pohon kelapa?”

            “Iya Pak, pohonnya tinggi, batangnya keras dan buahnya sangat enak,”

            “Nah, petiklah pelajaran hidup dari pohon kelapa nak,”

            “Maksud bapak?”

            “Jadilah seperti pohon kepala yang tinggi menjulang, memiliki batang yang kuat, serta jika berbuah, buahnya bisa menghilangkan rasa lapar dan haus sekaligus,”

            “Ooooo” Rudi kecil terus memperlihatkan wajah yang ceria mendengar cerita Bapak pagi itu.

            “Bukan itu saja, pohon kelapa adalah pohon yang membutuhkan perjuangan jika ingin tumbuh sebesar yang ada di kebun kita. Tunasnya harus menembus batok kelapa yang keras, harus berjuang keluar melewati sabutnya. Setelah itu, tunas yang sudah jadi, harus mempersiapkan akar yang kuat untuk dapat menahan batang yang akan tumbuh menjulang tinggi membelah angkasa. Semua perjuangan yang dilaluinya, akhirnya membuahkan hasil yang sangat bermanfaat bagi manusia,”

            Rudi masih terus saja mengangguk mendengar cerita bapak.

            “Hidup bukan hanya membutuhkan usaha dan perjuangan nak, tetapi hidup ini juga harus menghasilkan sesuatu yang berguna untuk manusia lain. Belajarlah dari pohon kelapa, tidak ada kata menyerah, tidak pernah ada kata susah, jika kita tetap berusaha,”

            Rudi hanya tersenyum mendengar perkataan bapak.

            “Satu lagi, Rudi masih ingat ular yang pernah hampir menggigit Ammak di kebun ini?”

            “Iya pak, ular yang cukup besar,”

            “Belajarlah juga hidup darinya,”

            “Maksud bapak?”

            “Ular diciptakan tidak memiliki tangan dan kaki, tetapi ular tidak pernah mengeluh menjalani hidupnya. Malah ular merupakan hewan yang bisa memanjat pohon tertinggi sekalipun dengan cepat, meski tanpa tangan dan kaki. Jangan pernah jadikan keadaanmu saat ini, menjadi penghalang untuk mengejar cita-citamu nak. Petiklah pelajaran dari kelapa dan ular. Dan buktikan pada dunia, bahwa hanya orang yang bersungguh-sungguhlah, pada akhirnya yang akan memetik hasil yang diinginkan dalam hidupnya,” Bapak mengelus kepala anak lelakinya yang kini mulai tertunduk dan menitikkan air mata. Padahal, ketika dokter mengatakan matanya tidak lagi ada harapan untuk melihat, Rudi seakan sangat siap menerima semuanya. Namun, bagaimana pun Rudi masih tetap anak kecil yang membutuhkan semangat dari kedua orang tuanya.

            Sejak kejadian di kebun itu, Rudi menjadi sangat giat belajar. Bahkan, dari semua anak Ammak dan Bapak, hanya Rudi yang berhasil menyelesaikan sekolahnya hingga jenjang tertinggi di salah satu universitas swasta di kota.

            Meski matanya tak lagi bisa melihat, tetapi semangat belajar yang dimilikinya mengalahkan mereka yang memiliki penglihatan normal. Semua pengalaman pahit hidupnya, dijadikan cambuk untuk terus maju. Tidak ada kata menyerah sedetik pun, untuk meraih cita-cita tertingginya menjadi seorang pengajar di sekolah anak-anak normal.

            Satu yang ingin dibuktikannya, bukan mata yang akan membuat anak manusia bisa bermanfaat bagi orang lain. Bukan juga, karena memiliki organ tubuh yang lengkap. Tetapi, cukup dengan tekad dan kerja keras menjadikan seseorang menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama, dan pada akhirnya akan membawa langkahnya ke tempat yang diinginkan.

           

 

 

Leave a Comment