Angin Yang Membawa Bunga – Part. 5

10 September (Tahun sekian..) 

Jalanan di kota ini tampak lengang masih tampak sebauh kerusakan masif akibat bencana alam beberapa tahun lalu. Pidie sedang berbenah.

Ini yang pertama kalinya aku berada di tanah rencong. Mobil yang kutumpangi adalah sebuah kijang tahun 2000-an. Bersamaku seorang supir yang nampaknya sangat mengenal sekali daerah-daerah yang kami lewati. Yah Hanafi, dia memang orang Aceh. Kami hanya berdua, di perjalanan sesekali kutanyakan bagaimana nasib orang-orang tanah rencong itu kini.

Semenjak rekonsiliasi yang berlangsung 2005 kebelakang, negeri ini tampak lebih tenang. Namun masih ada saja beberapa pihak yang merasa tidak puas dengan kondisi yang ada sekarang. Beberapa sisa ex-GAM masih melakukan perjuangannya. Sebagian dari mereka masih tinggal di gunung-gunung. Walaupun jumlah mereka sedikit, namun militansi mereka terhadap gerakan tinggi sekali. 

“Mobil kami melewati persawahan dan deretan pohon kelapa di sepanjang jalan… satu-dua orang terlihat berpapasan dengan kami. Hanya ada sedikit rumah saja di daerah tersebut.

“tempat ini indah juga ya naf,” kataku

sejak tadi aku tak hentinya mengagumi keindahan alam yang tersaji di tanah Aceh.

Angin segar menyeruak masuk kedalam mobil kami, sengaja jendela-jendela itu terbuka. Untuk apa pakai AC, ini bukan Jakarta, jauh-jauh kami dari Jawa kalau tidak merasakan atmosfir Aceh terdengar lucu.

 “kamu udah kawin?”

“saya udah punya dua anak bang,”

“o yah?”

“yang paling kecil umurnya baru du tahun dan yang paling besar baru masuk kelas 1 SD”

“o begitu ya, tapi kamu masih muda sekali”

“ iya bang saya menikah waktu umur saya 19 tahun”

“o pantas..”

“abang sendiri bagaimana?”

Ditanya dengan pertanyaan seperti itu, terus terang saja pertanyaan balik itu membuatku tertegun

“kenapa bang?”

beberapa detik yang terasa seperti 8 jam tidur itu membawa pikiranku kembali ke masa-masa yang lalu. Sesuatu, sebuah kota, sebuah nama.

“ah tidak apa-apa”

 

Hari semakin siang, angin sepoi-sepoi mengendorkan  ketegangan urat syarafku Perjalanan ini sungguh sangat melelahkan. Dibuai angin surga seperti ini menggoda diriku untuk mengatupkan mata, dan  tak lama kemudian aku pun mulai kehilangan kontak dengan Aceh—tertidur kelelahan…

 

Aku benar-benar tak tahu manakah jalan yang harus ku ambil. Ke kanan atau menukik sedikit ke bawah. Disaat- saat seperti ini aku harus mengandalkan kepada intuisiku menepis anggapan logika, karena tak ada satupun petunjuk untuk kujadikan acuan.

Kiri yang menjadi pilihanku. 

 

Tapi, rasanya aku tak asing dengan jalan ini. Sepertinya pernah kulalui berkali-kali. Ini kan..

Jalan menuju rumah eyang, Langen.

Di depan ada jalan yang agak sedikit naik, berarti sebentar lagi aku akan melihat pintu air.

Terus berjalan mataku tak berhenti melihat ke kanan-kiri jalan. Menikmati sebuah sensasi yang lama tak dirasakan. Jalan ini semakin lama semakin menyempit, aku yakin di depan aku akan menemukan rel kereta, aku akan naik kereta.

Cahaya matahari kala itu tidak terik suasana di sekitarnya agak redup. Seperti malam namun bukanlah malam.

Benar saja ketika aku tiba di perlintasan kereta. Kerata api datang dari arah barat. Perlahan dan berhenti segera di dekatku.

Aku segera naik. Dalam hatiku aku bisa membayangkan bagaimana Eyang akan senan melihat kedatangan cicitnya ini.

Jes-jes-jes

Tak lama kereta berhenti. Di kanan adalah sebuah stasiun. Di kirinya sebuah kolam ynag cukup luas. Langen! Kataku dalam hati. Aku bergegas turun dan berlari menyusuri rel yang berbatu, menysuri pamatang di kolam dan bertemu harimau.

Yah, patung harimau yang ketika ku kecil senang kupandangi, kuraba. Dan yang paling menggodaku adalah kedua bola matanya yang terbuat dari kelereng.

Jantungku sedikit berdebar. Dan sekarang aku berdiri tepat didepan sebuah rumah besar yang teduh dengan pohon rambutan di depannya dan pohon pakis dan bermacam bunga menghiasi halamannya.

 

*** 

 “Naf di depan yang ada pohon-pohon itu kita berhenti sebentar”

Setelah beberapa jam perjalanan yang cukup melelahkan aku memutuskan beristirahat sejenak di pinggir jalan dirindangi pohon yang menjulang.

Kubakar gulungan tembakau terakhir. Hisapan demi hisapan membawaku kembali menerawang. Kenangan masa kecilku yang indah, bayangan rumah dan keluargaku. Akupun teringat tentang seseorang, ah.. dimana dia? Ya Tuhan akankah kita dipertemukan lagi, atau.. kau takdirkan ia hanya lewat dalam kisah hidup yang telah kau rancang ini?

Srek-srek

Terdengar seperti sesuatu di antara belukar, bebrapa puluh meter dari tempat kami berada.

Di hutan seperti ini kira-kira makhluk apa saja yang hidup dsekitarnya, gumamku.

“Naf, kita lanjutkan lagi”

tak ada jawaban

“naf!”

aceh

kemana dia. Yang ada di sekeliling kami sejak tadi hanyalah pepohonan dan belukar. Mungkin Hanafi pergi kencing, tapi kemana apakah harus masuk kedalam hutan toh disini juga bisa kan.

Sebelum habis pertanyanku tersebut, orang-orang dengan senapan berjenis AK-47 sudah mengelilingiku. 

*** To be continue

Leave a Comment