Siang; geliat hujan meruntuhkan bulu-bulu mata kita, sebuah perjanjian
luput di atas warna suplir yang sedikit luntur, ia membaringkannya: sebuah puisi,
sebuah ricik dalam ketiadaan. Semisal bayang-bayang yang susut sendiri,
adahalnya waktu, tiba dari arah pintu, menunggu untuk diimpikan.
Seperti hendak menangis, “kapan hujan berhenti berbisik? Sedangkan kau―
menyusutkan senyum dan merindukan ketukan dibalik pintu, mungkin menunggu
hujan akan segera masuk ke dalam tanah.”
Kami sedang menanti, lambaian sarung tangan dalam hujan. Siapa juga yang
hendak mengenalnya! “Kemarilah, susutkan rindumu di atas daun teh, sebab hari
akan terus berulang, demikian tawa kita.” Semakin lengkap debu di atas buku, dan waktu
yang berjalan di atas gerigi jam, “ia tak melihatnya, jam tangan itu.”
Banjaran, Maret 2012