JEJAK-JEJAK KECIL SETELAH APRIL

Jejak /1/

kau pun berdiri di ujung ruang. bayangannya,
seperti berkata-kata, melangkah dalam riuh waktu
(gaib membisikkan: “dirinya telah lama pergi”
tak ada nyanyian itu, bersuit di celah daunan,
gaung rindu di atas bantal, dan menggugurkan
air mata di tengah gerimis,
sedang cuaca merapatkan kemejanya) rindu sekali

kau pun tiba-tiba merasa dan membuka mata, sejenak
menghempaskan kertas, sebelum akhirnya meniti
setiap tulisan, membubuhkan tulisan ke atas makna yang asing
“kau dimana?
namamu, barangkali di antara kita
telah dibangun rimba kota itu
semenjak bulan melepaskan diri dari langit malam hari”

ketika ruangan senyap
semakin asing bintang kecil
di langit timur, semakin purba jejak
dan perasaan, masuk ke dalam
labirin, terpisah dari suara-suara

Jejak /2/

iring-iringan suku kata, iring-iringan air mata; ruang senja;
dilipatnya ke dalam pusara tabah
menjadi mimpi, cemas,
dan diam-diam kau menghitung
detak jantung yang tergantung
di dinding angkasa. diam-diam kau pun
: alangkah nyaman
sakit ini, berjalan di atas tangkai, tergelincir…

bukankah pernah di tulisi bersama
tanah yang akan kita pijak itu (yang selalu dinyanyikan
dalam impianmu, yang pernah suatu kali kau untaikan
di tengah danau, yang tenggelam tiba-tiba hilang
setiap kali
kau memeluknya)

Jejak /3/

tiba-tiba waktu menjelma
secangkir teh dan beberapa larik puisi
(barangkali bisa melengkapi tembok yang retak, barangkali
bisa mengganti sobekan sayap kekupu, barangkali…)
tiba-tiba saja sang muazin mengulang rintihannya

kau pun menyusun sebuah doa
segera berkemas di ruang kosong; kanfas
dan kertas,
dan sukma yang segera bertanya, “kenapa ia
segera pergi, mimpimu?”
(“setelah malam ini, ia telah lama berangkat”
“hei, dimana letak jejak itu?”
“kalau ia sudah pulang nanti”
“iya…”
akan tetapi, sebuah papan nama di depan
rumahnya: dipanggang oleh waktu, dan
pintu yang acap kali terbuka, di buka
atau… “waktu yang tak pernah tentu, telah merubahnya?”)

Jejak /4/

ada beberapa yang harus kaulakukan sendiri: melihat
sosoknya yang lenyap di kedua matamu, menerka letak jejaknya,
menunggu perasaan yang pernah rontok
dari setahun lalu; mungkin, setelah ini
harus tersusun kenangan dari hatimu
yang ungu di antara warna-warni, cemas
di antara gumam orang-orang dan hibuk kendaraan

tetapi tiada pelukan dan ucapan hari ini
hanya menerawang gelap pekat
yang sejak dulu memburu langkahmu, kepingan
kata bisu, menyisir rambutmu dan membenarkan
letak kacamatamu itu

tiba-tiba kau merasa ingin berdiri
di pinggir jurang

Jejak /5/

pernah suatu ketika terdengar suaranya di
balik dering waktu yang mengambang di tembok rumah,
ketika kau pun sadar harus segera menentukan
pilihan: jarum jam yang menghitung tik tok jantungmu
yang senantiasa mengambil selembar demi selembar
rambut hitammu dan menggantinya dengan wajah,
mata, hidung dan mulutnya yang senantiasa menyergap waktumu
(seperti ada yang mendekapnya, katamu
yang menyentuh-nyentuh hatinya
yang mengulang-ulang genggam tangan itu
yang nafas dan rusuknya pernah diselaminya) ketika itu
kau mengerti sudah sepenuhnya bukan pemiliknya
di angkasa, sebuah penghabisan ― lembar
cerita yang akan disimpan
di tempat berkumpulnya ingatan

(hari terakhir saat langkahnya berguguran
di puncak ingatan: disini, katamu, pernah meledak
bunga-bunga dan kekupu ―
tatkala sepi meriap dan katamu:
“kubuang buku itu
yang pernah memuat gambar dan puisi
di sana; tidak sekalipun aku mengingat
rencana kecil kita yang pernah menumpuk
di lantai kamar rumahku, atau di kisi-kisi jendela
barangkali memang tak ada janji mulia itu”

sendiri kau ketika melihat ingatannya rebah,
tertinggal ditikungan)

Jejak /6/

tinggal sisa-sisa bangkai bunga yang kau bersihkan
dari jalanan bisu, sementara dia tidak pernah menoleh
lupa akan namamu yang pernah menyuguhkan
lambang berbentuk, yang selalu menorehkan
rencana di tiap senyuman
di senja hari, kini: dia merecah, membuangnya–
dan harus kau susun
kepingannya

utuh sebelum senja

“ampunlah hamba yang mencintai
hamba-Mu, yang masih dibalut gaib-Mu
yang tak pernah luput dari awas-Mu…
ya Allah”

sebab kata-mu adalah
isyarat yang dihamilkan makna di tepi danau
saat malam pun: mimpi terjaga
berusaha menelisik kata yang tak pernah dia
sampaikan. sebab kata meliuk menembus kebebasannya
sebab kata hilang dipengertiannya sendiri

rusukku sepenuhnya terasing, kini

3 Juni 2014

Leave a Comment