10 September 1985, menuju Langen.
Tut-tut-tut
Gagah—tubuh besiku yang melintas di rel-rel yang membentang, membelah daerah-daerah yang kulewati. Hatiku senang meluncur dengan kecepatan tinggi.. menabrak angin.. dan masinisku yang dengan setia membunyikan peluitku untuk menyatakan keberadaanku.
Beberapa rupiah terbuang tidak masalah untuk dapat pelesir denganku, nikmati saja..
Anak itu gendut, berkepala bulat dan berkulit tidak seperti kebanyakan orang. Seperti Tionghoa keturunan.. Indo-Belanda barangkali.
Sepertinya sedari tadi asyik saja menikmati softdrink yang diberi oleh ibunya.
Dia tampak menikmati sekali perjalanan ini. Hah! anak yang lucu.. sesekali dia bertanya pada ibu dan bibinya yang ikut dalam kereta itu. Anak seumuran itu memang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan dalam isi kepalanya. Nampaknya ayah anak itu tidak ikut bersama mereka. mau kemana mereka?
Kereta ini berhenti di Lempuyangan-sebuah stasiun yang mengangkut penumpang kereta kelas ekonomi ke Yogyakarta.
“Bunda kok lama amat? kita mau kemana? katanya mau kerumah eyang?” tanyanya pada sang ibu.
“tenang sebentar lagi kita sampai di Langen” jawab sang ibu menenangkan.
Perjalanan Bandung-Langen akan memakan waktu sekitar 3-4 jam waktu tempuh.
Siang itu cuaca memang cukup panas, apalagi dengan banyaknya orang yang berada di gerbong kereta tersebut.
Anak gundul itu pun akhirnya tertidur pulas…
“kita naik yang itu yuk” tanya seorang anak perempuan.
“ayo..ayo” beberapa orang anak lainnya mengiyakan.
Anak-anak itu berceloteh, tertawa riang memutari sebuah arena taman bermain.
Suasana di taman bermain itu tampak ramai. Warna-warni kehidupan tercetak hidup disitu. Merah, kuning, hijau, biru, motif garis-garis, kotak dan bulat-bulat memenuhi seisi taman.
“kita pergi ke seberang sana yuk, kayaknya ramai disana!” ajak seorang anak perempuan.
Anak-anak lainya ikut tergiur mendengar ajakan temannya itu, termasuk pula seorang bocah lelaki gendut yang memakai sepatu coklat.
“saya ikut, tapi saya ingin beli minuman dulu di situ,” kata anak bersepatu coklat tersebut, sembari menunjuk kearah seorang penjual minuman.
Anak itu berjalan riang menuju Si penjual minuman. Ia pun membeli minuman itu seraya menyodorkan sekeping uang logam. “makasih Pak” Katanya.
Sambil menyeruput minuman yang dibelinya ia kembali berjalan ketempat dimana ia dan kawan-kawannya tadi berkumpul. Namun ketika ia tiba di sana semua kawan-kawannya tidak kelihatan. Ia mencari ke kanan dan ke kiri tapi tidak menemukan seorangpun. Kemana mereka?
Ia mencari lagi ke semua sudut, menanajamkan mata dan konsentrasinya, tapi nihil. Ia berlari secepat mungkin mencari kawan-kawannya sambil membatin. Adrenalinnya terpacu. Ketika ia menemukan teman-temannya Mereka berada jauh di depan dan terpencar. Saat Anak bersepatu coklat itu berusaha mendekatinya, semakin jauh pula teman-temannya meninggalkannya. Seolah ada energi tak tampak yang menghalangi ia dan kawan-kawannya. Kawan-kawannya tersedot semakin jauh.. berlari tertawa-tawa.
Bocah itu berontak, berusaha keras namun percuma.. kawan-kawannya kini tak tampak lagi.
Kini ia sunyi.
Kini ia lelah.
Kini Ia sendiri ditaman itu.
Ada hawa panas menjalar di ulu hati.
Kini ia berada di sebuah jalan yang sepi. Sebuah jalan yang sama sekali tak ada orang, yah, tak ada seorangpun. Ia mencoba berjalan terus. Jalan itu sangat panjang seakan tiada ujung.
Ia terus berjalan.. menapaki setiap jengkalnya dalam keheningan. Anak itu ingin mengetahui kemana akhir dari ujung jalan ini. Pemandangan di kanan-kirinya sangatlah indah. Sebuah keindahan yang berbalut kesunyian yang menghinggapi sang bocah. Ada perasaan aneh ketika perasaan yang sangat kuat itu menyelimuti dirinya. Suatu perasaan merasa sepi-sendiri namun sangat ia nikmati―tak terjelaskan.
Akhirnya ia tiba di persimpangan jalan. Ada dua jalan disana. Yang satu ke kanan agak serong ke depan dan yang satu lagi ke kiri .
Ia diam terpekur bingung memilih jalan mana yang akan ia lalui. Sebelum hilang kebingungannya tersebut, ia mendengar suara. Semakin lama semakin nyaring…
Tut-tut-tut
Sang masinis meniupkan peluit. “ayo! ayo! stasiun Langen.. sampai.” Teriak sang kondektur. Eh nak bangun! tujuanmu sudah sampai, bangunkan ibu dan bibimu!