Sebab Aku Perempuan

SEBAB AKU PEREMPUAN

Hujan kembali berhasil membuatku terperangkap di ruangan ini, ruangan yang telah kusinggahi sejak dua tahun lalu. Ruangan yang telah membantuku menciptakan beragam inspirasi dengan sejuta kenangan dan pengalaman. Meski berkali-kali aku terperangkap di ruangan ini namun keadaan yang lengkap tanpa satu pun lawan bicara membuatku menangkap sejumput rasa dalam benak. Tak asing namun aku harus merabanya untuk memastikan bentuk rasa itu

Tak ingin salah menafsirkan sebab sudah cukup lama aku tidak menyentuh belacu usang itu di sudut otakku. Sembari menunggu keberhasilan rabaanku, mataku melancong seakan ingin menangkap gerakan setiap butir air dari langit. Kunikmati pemandangan guyuran air dengan khidmat. Tak sulit melihatnya sebab ruanganku berada di lantai tiga dari lima lantai gedung bergaya modern. Ruangan dengan fasilitas terlengkap dibanding ruangan besar lain milik pemilik saham atau kepala bidang. Entah mengapa pimpinan memberikan ruangan istimewa ini padaku. Mungkin untuk menyuap agar aku betah di kantor menggarap beragam proyek perusahaan yang memang menyita waktu dan tenaga. Tak jarang aku mengeluhkan padatnya jadwal yang tak mengizinkanku untuk sekadar meneguk kopi di warung langganan.

Hujan kali ini telah berhasil membantu meraba isi belacu usang di sudut memoriku. Kini aku yakin bahwa belacu usang itu berisi ingatanku tentang sosoknya. Dia, lelaki cadas yang unik. Keras namun lembut, dingin namun hangat, kaku namun lentur. Akhirnya untuk kali pertama sejak dua tahun lalu, aku mensyukuri kepadatan jadwalku. Ya, ternyata setumpuk tanggung jawab sebagai Ketua Divisi Media Cetak membantuku melupakan kekosongan hari tanpa kehadirannya. Andai dianalogikan dengan masa tenggang, hari ini adalah batas akhir isi ulang dan jika terlambat maka masa aktif pun terhenti. Masa tenggang adalah masa kesendirian yang sangat kuhindari sebab aku tidak pernah menyukai kesadaran bahwa aku merindukannya.

Dia berjanji akan segera kembali membawa setumpuk kenangan dari negara kincir untuk ia ceritakan dan bonus ilmu dari ahli bidang untuk ia tularkan. Bukan tidak mungkin bagiku untuk sebulan mengendalikan tanggung jawab dari negara perantauannya sehingga kami pun menikmati sebulan musim semi dengan menciptakan momen terindah. Namun dia melarangku untuk berangkat ke tempatnya, dia pun mengatakan enggan bertemu denganku selama masa baktinya pada negara di benua itu. Ketika aku memberontak, dengan bijak dia menyampaikan idealismenya, “Ketika kaki memutuskan untuk menapaki satu tempat, pastikan ia melangkah dan menyelesaikannya hingga akhir. Meski tanpa pertemuan namun jangan pernah takut untuk menggenggam rasa rindu. Tanamkan dalam hatimu bahwa biarkan Tuhan yang merangkai kisah kita.”

Jangan pikir kami pasangan kekasih, bukan pula sepasang suami-istri yang tengah terpisah benua dengan lumpur kental berjenis rindu. Bahkan kami pun bukan sahabat berkedok saudara seperti kebanyakan modus remaja zaman sekarang. Kami tidak memerlukan judul untuk menghias ikatan ini. Ya, kami hanya dua manusia yang saling berusaha menyatukan rasa dengan sejuta perbedaan. Tidak pernah ada kalimat struktural berbunyi, ‘maukah kamu menjadi pendampingku?’ atau ‘maukah kamu menungguku selagi aku mengemban tugas negara di benua seberang?’ atau setidaknya, ‘jaga hati hingga aku kembali.’ dalam hubungan kami. Cukup kode yang tertangkap antara kami sebagai penyatu komitmen abstrak namun serupa norma.

Jangan pula dipikir kami tidak memiliki masalah dalam hubungan abstrak ini. Jauh sebelum kami memutuskan menjalani kisah, banyak hal yang membuatku ragu untuk melangkah. Tentang rencananya untuk melahap ilmu di benua seberang, sisa kekecewaanku pada sebuah pengkhianatan, serta ibuku yang selalu berusaha menawarkan beberapa pria mapan. Entah bagaimana kami dapat melalui semua gundukan ranjau, yang jelas ikatan abstrak kami tidak begitu saja lahir dari surga dan tidak pula tercipta semudah Chairil Anwar menulis puisi.

Hujan telah reda, menyudahi perjalanan pikiranku yang melalang buana hingga sudut saraf memori tentangnya. Kutarik ransel buluk di meja kerja dan jaket yang tergantung di sandaran kursi. Segera aku keluar ruangan, meninggalkan belacu usang dalam ruanganku, tak ingin membawanya pulang. Kantor telah sunyi senyap, hanya satpam dan pekerja kebersihan yang tersisa. Bahkan anggota divisiku pun mungkin telah memeluk ranjang dengan mesra. Sambil berjalan dengan langkah agak cepat kulirik sekilas angka digital penunjuk waktu di meja Rani, salah satu anggota divisiku. Dalam perut Doraemon itu aku tahu kini lewat dari tengah malam, dini hari yang dingin. Cukup dramatis dan melankolis bagi hati yang tengah menyadari tumpukan kerinduan tak tersentuh.

Secarik kertas kecil di sela pintu masuk kamar kosku menyita sebagian perhatian yang mulai merindukan ranjang. Kuraih dan kuamati, tulisan tangan itu sangat akrab di retinaku, memacu detak jantung seolah aku tengah membaca pengumuman sebagai pemenang undian ratusan milyar. Isi tulisannya berhasil membuatku kehilangan selera untuk segera merebahkan tubuh dan menikmati sisa malam sebelum aktivitas kembali menggugat tanpa ampun.

Aku pulang memenuhi janji.

Hanya itu. Singkat, padat, jelas, dan tak mungkin aku salah mengenali tulisan tangannya. Ya, itu pasti tulisan tangannya. Pasti. Dia yang setengah jam lalu berkeliaran menari-nari bahkan meloncat-loncat tanpa arah di otakku. Butuh sekitar sepuluh menit untuk sadar bahwa aku masih berdiri dengan memegang kertas sakti di bibir pintu kamar. Perlahan kulangkahkan kaki ke dalam kamar dan meletakkan ranselku di pinggir ranjang. Kawan sebelah kamar rupanya telah lelap sebab tak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Kamarku tidak terlalu luas namun tidak terlalu sempit untuk harga setengah juta di jantung kota metropolitan. Cukup beranggotakan dua orang saja dalam rumah mungil ini, aku dan kawanku, Nanda.

Suasana malam ini sangat tepat untuk menyendiri sebab aku butuh waktu mencerna keajaiban. Kemana aku harus mencarinya? Bagaimana cara aku menghubunginya? Dimana dia malam ini menenggelamkan mimpinya? Bersama siapa dia di tengah guyuran hujan malam ini? Mengapa dia tidak menghubungiku terlebih dahulu sebelum ke sini? Begitu banyak pertanyaan memenuhi lipatan otakku dan dapat dipastikan semua tidak terjawab. Sementara badanku terlalu lelah untuk mendukung otak yang masih saja memproduksi pertanyaan tanpa henti. Hingga ujung tenaga, mataku semakin berat dan aku pun tertidur sembari memegang secarik kertas sakti, di ambal hangat yang kubeli bersamanya tiga tahun lalu.

 Keesokan hari, kusimpan teka-teki mengenainya dan kembali fokus pada segenap sisa tumpukan tugas di meja kerja. Rapat koordinasi hari ini sungguh melelahkan, membuat tak ada ruang dan kesempatan untuk menyentuh belacu tentangnya. Aku terselamatkan. Sekali lagi kukatakan, “Terima kasih, kesibukan.”

Seminggu sejak kertas sakti itu melayang di kosku, tidak ada lagi kabar tentangnya. Kucoba menghubungi beberapa teman dekatnya untuk mencari kabar, bahkan aku menyempatkan untuk menengok tempat tinggalnya di kota rantau kami, tetap tidak ada jejak. Jujur saja kedatangan kertas sakti itu menguras sebagian besar pikiranku dan itu sungguh melelahkan. Pikiranku bercabang antara pencarian jejaknya dan tenggat waktu proyek yang tengah kukerjakan. Sebulan kemudian, kertas sakti kembali hadir. Kali ini di meja kerjaku. Lengkap dengan boneka kecil gantungan kunci berbentuk penguin.

Tidak ada keraguan untuk memastikanmu.

Mata sebatas melihat.

Hati menentukan keputusan.

Tiga kalimat pendek kembali memberikan sengatan listrik tepat di pusat nadi. Tergesa aku menghampiri kumpulan rekan kerja, kutanyakan pada mereka siapa yang meletakkan atau masuk ke dalam ruanganku selama aku belum datang pagi ini. Tidak ada yang dapat memberikan jawaban pasti sebab mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aku putus asa mencari keberadaannya, keputusasaan yang merangsang air mata mengalir tanpa ampun. Tirai ruangan yang biasa kubuka dan kubiarkan orang lalu-lalang melihat aktivitasku kini kututup rapat. Tak ingin terlihat lemah di hadapan mereka. Terlalu angkuh bagiku untuk mengakui pada dunia bahwa kesakitan merindukannya adalah kelemahanku.

Aku lelah dengan beragam kode dan tanda yang ia mulai sejak empat tahun lalu. Kini aku membutuhkan sebuah kepastian tentang hatinya. Tentang judul yang tak terdefinisi. Meski masing-masing telah meyakini adanya sebuah ikatan namun aku tak sekadar menuntut keyakinan melainkan ikatan berkomitmen. Sebab aku perempuan.

***

Leave a Comment