Badai Kehidupan

“Meita, kini ibumu telah mati, kamu harus pergi dari rumah ini!” bentak ayah tiriku dengan nada yang cukup keras. “Kemasi barang-barangmu sekarang juga!”

“Baiklah ayah, aku akan pergi,” aku masuk ke kamarku dan mulai mengemasi barang-barangku. Apa yang tak mungkin kubawa, aku biarkan saja.

Setelah selesai mengemasi barang-barang ke dalam tas ranselku, pagi itu aku mohon pamit kepada ayah tiriku dan pergi tanpa arah tujuan yang belum jelas.

Saat azan Zuhur berkumandang, aku melangkah menuju sebuah mesjid besar untuk melaksanakan salat Zuhur. Setelah selesai salat, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Aku duduk termenung sejenak di teras mesjid sambil menunggu hujan reda. Namun aku masih bingung, mau kemana aku ini. Aku tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Ibu kandungku, baru saja meninggalkanku untuk selama-lamanya.

“Ya Allah, hamba tak punya siap-siapa lagi di dunia ini. Hanya Engkau saja yang hamba punya. Engkaulah tempat aku bergantung dan memohon,” jeritku dalam hati. Aku tertunduk dan tanpa terasa air mataku jatuh satu demi satu. “Ya Allah, tenangkanlah jiwa hamba dan beri hamba petunjuk agar jelas langkah hamba ini.”

Apapun yang terjadi, kupasrahkan saja semuanya kepada Allah. Tak ada gunanya bersikap cemas dan bersedih. Tugasku saat ini adalah berusaha semampuku. Jika aku mati dalam perjalanan menuju tujuanku, maka aku harus menerimanya dengan ikhlas. Sebagai seorang muslimah, aku tak boleh putus asa karena ujian hidup ini. Namun sebaliknya, aku harus optimis. Aku yakin, Allah tak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang berusaha untuk taat kepada-Nya walau hidupnya bergelimang dosa.

Karena hujan belum juga reda, aku masih bertahan di teras mesjid. Tiba-tiba aku teringat Reina, teman baikku sewaktu masih di SMA dulu. Kucoba mengirim sms kepadanya. Akan tetapi, smsnya tak juga masuk.
Pukul 2.15, aku mulai merasa lapar. Walalupun hujan belum reda, terpaksa aku harus pergi untuk mencari warung nasi dengan bekal uang seadanya. Setelah berjalan beberapa ratus meter, akhirnya aku menemukan warung nasi yang murah meriah.
Setelah makan, aku pergi menuju pusat kota Jakarta yang letaknya tak begitu jauh. Aku naik angkutan umum menuju rumah Reina. Barang kali saja dia belum pindah rumah. Ketika sedang di dalam angkot, dua orang lelaki menodongkan senjata tajam ke arahku. Dengan terpaksa aku berikan semua barang yang aku punya. Kemudian kedua lelaki itu pergi dengan terburu-buru. Kini, aku tak punya apa-apa lagi. Untunglah pak supir mau mengerti keadaanku sehingga aku tak perlu bayar ongkos.
Setelah turun dari angkot, aku bergegas menuju rumah Reina. Karena azan Ashar telah berkumandang, aku mengarahkan langkahku ke sebuah mesjid. Setelah selesai salat, aku kembali menuju rumah temanku itu.

Ketika telah berada di depan pintu sebuah rumah, aku mengetuk pintunya dan mengucapkan salam.
“Hei, Meita, apa kabar, kamu masih tetap cantik seperti dulu. Lama tak jumpa, silahkan masuk,” seorang gadis cantik keluar membukakan pintu. Rupanya Reina. Aku bersyukur, ternyata dia masih tinggal di sini.
“Reina, apa kabar. Ya, aku kangen juga tak bertemu denganmu,” aku memeluk Reina dan menatapnya. Kemudian masuk ruang tamu dan duduk bersamanya.
Setelah cukup lama ngobrol, kemudian aku menceritakan kejadian yang baru saja menimpaku.
“Kasihan sekali kamu, Mei. Mendingan kamu tinggal saja di sini denganku,” ucap Reina dengan mata berkaca-kaca.
“Tapi aku tak mau merepotkanmu, Rei,” balasku dengan nada lemah. “Aku belum punya pekerjaan.”
“Pekerjaan? Kan bisa dicari, Mei. Sudahlah, untuk sementara tinggal dulu di sini. Malam ini kan kamu harus istirahat, di luar sana tidak aman, udaranya dingin sekali. Kamu bisa mati kedinginan di luar sana.”
“Kerjamu apa sekarang, Rei?” tanyaku sambil menatap wajah Reina yang telah dilapisi make-up.
“Aku kerja malam di tempat karaoke,” jawabnya pelan. “Sebenarnya aku tak mau kerja beginian. Tapi, mau apalagi, daripada aku mati, ya aku jalani saja.”

Aku hanya diam, tanpa komentar apapun. “Rei, aku ke mesjid dulu ya, mau magrib dulu, nanti aku balik lagi.”
“Iya, silahkan Mei,” Reina bangkit dari duduknya dan akupun pergi keluar menuju mesjid.
Setelah selesai salat Magrib, aku siap-siap untuk kembali ke rumah Reina. Namun tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Akhirnya aku terpaksa diam sejenak di mesjid. Tiba-tiba aku teringat lagi akan pekerjaan Reina. Kasihan sekali dia. Jangan-jangan dia telah terjerumus ke lembah hitam. Aku harus menyelamatkannya.
“Neng, kok melamun, orang baru di sini ya?” tiba-tiba seorang ibu membuyarkan lamunanku.
“Iya, Bu. Ibu asli orang sini?” aku bertanya balik.
“Iya. Eh, Neng mau kemana sebenarnya, kok malah melamun dari tadi ibu liat-liat,” ujarnya. Rupanya dia dari tadi memperhatikanku.
“Saya lagi berkunjung ke rumah teman, Bu. Sekalian mencari pekerjaan,” balasku seingatnya.
“Bu, ayo kita pulang, saya bawakan ibu payung nih,” tiba-tiba suara seorang pemuda terdengar dari luar mesjid.
“Iya, tunggu sebentar, Sep, ibu lagi ada penting dulu,” jawab sang ibu. Anak muda itu akhirnya duduk di teras masjid menunggunya.
“Neng, ikut ke rumah ibu, yuk? Masalah pekerjaan, tenag saja, biar anak ibu, si Asep yang ngurus,” ucap wanita berjilbab biru itu sambil bangkit dari duduknya.
“Baiklah, Bu. Tapi saya harus bilang dulu sama teman saya.”
“Boleh, ini payungnya bawa dulu, ibu tunggu di sini ya, Neng,” balasnya dengan tenang dan ramah.

Setelah tiba di rumah Reina, aku menceritakan kejadian yang baru saja terjadi di mesjid tadi.
“Ada yang mau memberi pekerjaan? Syukurlah, Mei. Jangan sia-siakan kesempatan ini. Aku mendukungmu, Mei,” Reina tersenyum gembira mendengar berita dariku.
“Terima kasih, Rei. Aku pergi dulu ya.”
Setelah kembali ke tempat si ibu tadi, aku diajak ke rumahnya dan berbincang-bincang tentang pekerjaan yang akan ia berikan. Aku dan ibunya Asep juga saling mengenalkan diri.
“Bagaimana? Mau nggak, Neng?”
“Boleh, Bu. Saya mau,” balasku dengan hati gembira.
“Eh, Neng Meita, jaman sekarang teh susah juga mencari calon menantu yang rajin salat,” tiba-tiba saja BU Indri beralih topik pembicaraan.
“Masa sih, Bu?” aku bertanya.
“Iya. Tapi ibu terus berdoa kepada Allah agar mendapat calon menantu yang rajin salat dan baik hatinya untuk si Asep,” jelasnya lagi.
“Semoga saja doa ibu cepat terkabul ya, Bu,” ujarku mendukung.
“Aamiin, terima kasih doanya, Neng Meita,” susulnya sambil menatap jilbab hijau mudaku yang menutupi kepalaku.
*****selesai****

Leave a Comment