Belajar Memuliakan Orang yang Lebih Tua dari Ali bin Abi Thalib

Oleh: Rahmat Hidayat Nasution

Meski bukan penonton setia Film Televisi (FTV) dan pencinta sinetron, tapi yang jelas saya pernah menontonnya. Di antara film tersebut terkadang saya menyaksikan kisah orang tua yang disia-siakan oleh anaknya. Biasanya, kisah tentang anak yang sukses, namun tega tidak memuliakan orang tuanya. Atau, dengan sengaja memasukkan orang tuanya yang sudah lanjut usia (lansia) di panti jompo. Bahkan, ada yang menjadikan orang tuanya seperti pembantu di rumahnya.
Ada hal yang bisa dipetik kisah seperti ini dan peran aktor dalam kisah tersebut. Tak ada rasa hormat dan kasih sayang sang anak terhadap orang tuanya yang sudah lansia. Ini fokus utamanya. Hanya masalah kecil saja, terkadang orang tuanya dibentak. Dengan hanya karena orang tua tidak berpendidikan, ia malu mengakui orang tuanya. Dengan hanya gaya berpikir orang tuanya yang ketinggalan zaman dengan tega memarahinya. Dengan hanya orang tuanya berprofesi rendahan malu untuk menceritakannya bila ditanya orang lain.
Sungguh, seharusnya kita layak belajar kepada imam Ali bin Abi Thalib Kwh. Ia sangat memuliakan orang tua, siapa pun itu. Dalam kitab Al-Mawaa’idz al-Ushfuuriyyah dimuat kisahnya yang memuliakan seorang Nasrani yang sudah lanjut usia.
Saat waktu subuh tiba, Ali bin Abi Thalib keliatan gelisah sekali. Ia tergesa-gesa, karena tak ingin ketinggalan shalat berjamaah. Namun, ia cukup kebingungan. Pasalnya ada seoang laki-laki tua yang berjalan sangat lambat yang menghambat langkah Ali. Demi menghormati orang tua tersebut, Ali ‘membuntut’ di belakangnya. Tentu saja, Ali bin Abi Thalib sangat khawatir tidak bisa shalat jamaah bersama Nabi Saw. Ketika ia tahu bahwa orang tua tersebut tidak memasuki mesjid, baru menyadari bahwa orang tua tersebut beragama nasrani.
Ketika Ali masuk masjid, ia mendapati Rasulullah Saw. sedang ruku’. Itu artinya, ia masih mempunyai kesempatan untuk mengejar shalat tersebut. Ali lalu berjamaah bersama mereka. Usai Shalat para sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw.
“Ya Rasul, apa yang sedang terjadi sehingga memperpanjang ruku’ seperti shalat subuh pagi ini. Selama ini, Anda tidak pernah melakukan hal ini?”
“Ketika ruku’ dan tengah membaca subhana rabbiyal ‘adzimi seperti biasanya, maka aku bermaksud ingin mengangkat kepalaku. Tetapi Jibril as. datang dan membentangkan sayapnya di atas punggungku. Lama sekali. Ketika ia mengangkat sayapnya baru aku bisa berdiri untuk mengangkat kepala,” jawab Rasulullah Saw.
“Mengapa ini bisa terjadi?” tanya salah seorang sahabat.
“Aku tak sempat menanyakan hal itu,” balas Rasulullah Saw. kembali.
Tak lama kemudian, datang Jibril as. menemui Rasulullah Saw.
“Hai Muhammad! Tadi Ali tergesa-gesa agar bisa ikut shalat berjamaah, namun ada seorang laki-laki tua beragama Nasrani menghambat jalannya. Ali tidak tahu kalau laki-laki itu beragama nasrani. Ia biarkan orang tua tadi berjalan di depannya. Maka Allah menyuruhku supaya engkau tetap ruku’ agar Ali bisa menyusul shalat subuhmu. Ini tak mengherankan bagiku. Yang mengherankan, Allah swt. memerintahkan malaikat Mikail untuk menahan perputaran matahari dengan sayapnya. Sehingga, tenggang waktu terbitnya lebih lama. Ini tentulah karena pebuatan Ali tadi.”
Setelah diceritakannya kepada para sahabat apa yang disampaikan Jibril as. mengenai ruku’ yang begitu panjang. Lalu Rasulullah Saw. bersabda, “Inilah derajat orang yang memuliakan orang tua lanjut usia, meski yang dimuliakan beragama nasrani.”
Mari kita belajar dari Ali. Gara-gara memuliakan orang tua lansia yang beragama nasrani ia mendapatkan karunia yang luar biasa. Mendapat dua pertolongan Allah yang hadir melalui malaikat Jibril dan Mikail, sehingga Subuh berjamaahnya tidak tertinggal. Demikian contoh karunia yang diberikan Allah kepada Ali yang begitu memuliakan orang yang lebih tua, meski itu bukan keluarganya.
Demikian juga jika memuliakan orang tua kita yang sudah lansia. Allah bisa jadi memberikan karunia yang lebih dari apa yang didapatkan imam Ali Kwh. Makanya pantas jika Ippho Santosa di dalam buku “7 Keajaiban Rezeki” menyarankan untuk memuliakan orang tua. Bahkan, bila ingin doa kita dikabulkan Allah Swt. dengan cepat, pesan Ippho Santosa, mintalah doa orang tua kita selaras dengan doa yang kita mohonkan kepada Allah. Karena dengan ini menjadikan doa kita ‘melangit’. Bukankah ridha Allah terletak pada ridho orang tua? Jika orang tua sudah ikut mendoakan, maka artinya doa itu mendapat ridho darinya. Kalau sudah seperti ini, maka doa kita pun menjadi lebih powerful.
Selain itu, kisah laki-laki lansia yang menjadi penghambat gerak Ali bin Abi Thalib menuju mesjid juga layak menjadi pelajaran. Pelajaran bahwa semakin tua akan membuat kita semakin bergerak lambat. Bisa menggangu orang lain. Bisa membuat orang lain kecewa, tapi jangan sampai usia tua yang dimiliki tak memiliki arti apa-apa, kecuali hanya usia tua saja.
Coba pikirkan laki-laki lansia Nasrani tersebut. Usia tua sudah dimilikinya, tapi akidah dan amalnya tidak ada. Ajaran Rasulullah Saw. tidak masuk ke dalam hatinya. Ia tetap memilih untuk tidak mengimani Muhammad bin Abdullah sebagai rasul Allah. Hingga akhirnya, usianya yang tua itu pun menjadi sia-sia.
Karena itu, hendaklah kita mengingat pesan Rasulullah Saw.,”Sesungguhnya Allah senantiasa memperhatikan orang tua renta (lansia) tiap pagi dan sore. Lalu Dia berfirman, “Wahai hamba-Ku! Usiamu sudah lanjut, kulitmu sudah keriput, tulangmu gampang remuk, ajalmu sebentar lagi akan dicabut, kamu akan menghadap-Ku. Malulah kamu kepada-Ku, karena Aku akan segan menyiksamu di neraka karena ketuaanmu.”
Artinya, Allah Swt. mengajarkan kepada yang sudah lansia untuk memiliki malu kepada Allah. Malu tidak beribadah kepada Allah. Malu bila sakit mengadunya lebih banyak kepada selain Allah Swt. Malu bila menghadapi permasalahan bukan menjadikan Allah tempat pertama untuk mengadu. Dan malu bila tertindak tidak seperti apa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.
Kita mesti belajar dari guru Abu Mansur Al-Maturidy. Ketika dia sakit parah, ia meminta Abu Mansur Al-Maturidy mencari hamba sahaya yang usianya 80 tahun yang seusia dengannya. Lalu Abu Mansur Al-Maturidy ke sana-kemari mencari budak (hamba sahaya) yang berusia 80 tahun, namun tak dapat-dapat. Hingga akhirnya, ia menemui gurunya dan menceritakan bahwa ia tidak mendapatkanya.
Dengan segera sang guru shalat dan berdoa kepada Allah. “Ya Allah, di dunia saja sudah tidak ada lagi budak (hamba sahaya) yang berusia 80 tahun. Meski dia dulu budak, sebelum 80 tahun dia sudah dimuliakan dengan dimerdekakan dirinya. Ya Allah, kini usiaku sudah 80 tahun. Apakah aku tidak mendapatkan kemuliaan dari-Mu? Padahal engkau Maha Pengampun dan Penyayang. Engkau Tuhan yang Maha Agung, Maha Mengampuni dan selalu menerima syukur. Maka Ya allah, bebaskan aku dari apa neraka. Usia memanjatkan doa tersebut. Nyawanya pun dicabut.
Dimimpikan, guru Abu Mansur Al-Maturidy dimuliakan oleh Allah Swt., lantaran di usia yang tua ia malu kepada Allah. Ia mendapatkan rahmat Allah lantaran tak menyia-nyiakan umurnya khususnya di saat ia sudah lansia. Lalu, bagaimana dengan kita? Masihkah beribadah kepada Allah dengan ‘jarang-jarang’? Masihkah sibuk dengan hal-hal yang membuat kita lupa bahwa usia kita juga sedang menuju lansia? Dari pada banyak pertanyaan, lebih baik banyak gerak ibadah. Ini pendapatku, bagaimana dengan pendapatmu?

 

Leave a Comment