CHAPTER 3 – GuBRAaaakkk…..

            Pagi yang cerah, hangatnya sinar matahari seakan ingin memeluk setiap manusia-manusia yang beraktivitas di luar rumah pagi ini. Setelah, kemarin mendung yang menggalaukan hati, hari ini matahari tidak lagi bermuram durga.

            Suasana yang sama terlihat di Kompleks Perumahan Permadani Indah, semua keluarga yang tinggal di kompleks itu, bersemangat dan sudah mulai sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing sejak pagi buta.

            Kecuali rumah kediaman Bapak Baskoro Iman, rumah yang terletak di gang buntu blok E, masih lengang dari kegiatan. Rumah yang dihuni oleh Dita, Ibu, bapaknya, dan kedua adik tercintanya ini, tampak adem-adem saja pagi ini. Tidak sesemangat para tetangga yang memutuskan untuk beraktivitas di luar rumah, ada yang menyapu, jogging, bahkan ada yang hanya duduk-duduk kayak orang bule yang lagi berjemur di pantai.

            “Kriingggggg…..Kriiingggggggggggg…Kriiinngggggg” jam Beker Dita mengagetkan seluruh penghuni rumah.

            Bukannya bangun dan mematikan jam beker yang bunyinya semakin menggila, Dita malah menarik bantal menutupi kepalanya, dan melanjutkan mimpi indahnya yang sempat terputus.

            “Kriiiiiiiiiiinggggggg…Kriiiinggggg….Kriiiiiiiinggg”

            “Ditaaaa…….. matiin jam bekernya, Mama puyeng dengernya”

            “Kriiiiiiiiiiiinggggggg…Kriiiiiiiiiinngggg…Kriiiiiiinggggg”

            “Ditaaa…” suara berat Papa ikutan membangunkan Dita dari ruang tamu.

            “Matiin jam bekernya Ta, nanti Mama kamu uring-uringan tuh. Mogok kerja dan mogok masak lho hari ini,”

            Mendengar kata “mogok” seketika Dita meloncat dan menyambar jam bekernya. Mematikannya dan melempar jam beker ke lantai kamar, lalu kembali terlelap. Dita bukan takut dengan kata “Mogok” tapi kalau Mama yang mogok, semuanya kacau tak terkendali. Tidak ada masakan, tidak boleh ada yang berisik, tidak boleh nonton TV, pokoknya kacau. Seperti kembali di jaman yang tak ada listrik deh. Pernah Mama mogok dua hari berturut-turut, rumah bagaikan ditinggal mudik sama penghuninya.

            “Taaa….. Papa mau berangkat kantor nih?”

            “hmmmmmm…………..”

            “Taaa……Ditaaa….. Papa udah mau berangkat berenan nih, ga main-main,”

            Mendengar kata-kata Papa, Mama jadi ikutan nimbrung.

            “Memangnya Papa pernah ya ke kantor sambil main-main? Emang main-main apa Pa di kantor? Koq Mama baru tahu sekarang. Kenapa ga pernah cerita, padahal kalau permainannya asyik kan Mama mau dong diajak ke kantor,” Mama memasang buka seriusnya, menunggu jawaban Papa, dan menghentikan sejenak kegiatannya.

            Mendengar ocehan istri tercintanya, Papa hanya bisa tersenyum. Senyum semanis yang Papa bisa.

            “Pa..koq ga dijawab? Main-mainnya asyik ga?”

            Tanpa memberi jawaban ke Mama, Papa melanjutkan memanggil Dita di ruang makan, persis di bawah kamar anak sulungnya. Melihat Papa tidak memberi respon atas pertanyaannya, Mama lalu melanjutkan kesibukkannya.

            “Ditaaa… emangnya ga mau ya? Kalau ga mau Papa tanggung Jawab, ya udah deh Papa pergi kantor aja”

            Mendengar kata “tanggung jawab” untuk kali keduanya Dita kembali meloncat, dan tak lupa menyisir rambutnya, sebelum melangkahkan kaki menuruni tangga. Belum sempat bergeser ke arah pintu, kakinya tersandung jam beker yang tadi dilempar seenaknya. Dita jatuh dan kepalanya yang kemarin benjol kembali terbentur.

            “ADDddddddddduuuuuuuuuuuhhhhhhhhh…… AAaoooowwwwwwwwwww”

            “Ta.. kamu baik-baik saja kan nak?” Papa jadi khawatir mendengar teriakan nyaring Dita. Mama yang mendengar teriakan anak gadisnya menghentikan kegiatannya dan berlari ke arah ruang makan.

            “Dita.. kenapa Nak, ada yang mentung kepala kamu lagi ya?” Papa hanya bisa bengong mendengar pertanyaan Mama barusan.

            “Dita ga apa-apa Ma, Pa”

            “Koq kamu teriak tadi? Teriakannya mirip waktu kamu dipentung sama Papa”

            “Husss… Mama bilang apa sih?”

            “Memang benarkan, emangnya Papa sudah lupa dengan kejadian kemarin” Papa hanya bisa tersipu malu.

                “AAAAaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh” sekali lagi teriakan Dita menggegerkan sausana pagi yang cerah.

            Mendengar teriakan Dita, Mama berlari menaiki anak tangga disusul Papa dibelakangnya. Beberapa tetangga yang mendengar teriakan Dita, berlari mengepung rumah paling pojok di blok E itu.

            “Astagaaaaa….. naga…. Kepala kamu Ta, benjolnya jadi beranak gitu”

            “Mamaaaaa….. kepala Dita sakit koq masih digodain sih”

            “Ya Ampun Ta, benjol kamu kenapa nak? Jadi kayak menara pisa?”

            “PAPAaaaa… sakit nih,”

            “Ma..ambil pisau, biar Papa kempesin benjolnya”

            Belum sempat Mama turun, terdengar suara ribut-ribut diluar pagar rumah.

            “Tante Elena….Tannnntteeeee” Teriak Reza anak tetangga samping rumah.

            “Dita..Papa… sabar ya, Mama lihat keadaan diluar dulu,” Papa hanya menjawab dengan anggukan, karena serius melihat keadaan Dita yang masih merintih kesakitan.

            “Eh…Ca.. ada apa? Eh bapak..ibu, koq pada rame ya di depan rumah. Padahalkan, saya lagi ga buat hajatan hari ini,” ujar Mama sambil membukakan pintu pagar.

            “Siapa yang teriak kesakitan tadi tante?” Reza terlihat panik.

            “Siapa bu Elena yang kesakitan?” Tanya ibu RT yang kebetulan ibunya Reza.

            “Ada yang teriak ya? Koq saya ga denger?”

            “Tanteee… teriakannya dari dalam rumah tante koq barusan” Mama Dita masih berusaha berpikir keras mendengar pertanyaan Reza dan beberapa tetangga yang juga ikutan panik.

            “AADDDDDUUUUUUuuuuuuuuuhhhhhhh, Sakit PAAAaaaaaaaaaa”

            “Nah, itu tante..ada yang teriak kesakitan,”

            “Astaga…maaf ibu-ibu, bapak-bapak, saya tinggal dulu. Saya harus cepat-cepat ambilin pisau buat Dita,”

            “Astaga… Dita kenapa Tante”

            “Dita mau bunuh diri ya, bu Elen?”

            “Tante….”

            “Ibu…buuu…Elena”

            Tanpa menjawab rasa penasaran para tetangga, Mama berlari menuju dapur, mengambil pisau dan masuk ke dalam rumah. Para tetangga yang penasaran, ternyata juga ikutan masuk ke dalam rumah.

            Di ruang tamu, sudah ada Papa yang serius membaca mantra setelah diberikan pisau sama Mama. Dita duduk disalah satu sofa dengan wajah yang menahan sakit. Para tetangga berkerumun di belakang Papa. Ada yang menyemangati, ada yang bantu doa sambil berdzikir, ada malah yang mengajarkan Papa doa yang harus dibaca saat menekan pisau di atas benjolan Dita.

            “Pak Baskoro ini doa yang bagus dibaca pak… Bismillahir romanir rahim, Fadamdama Alaihim Rabbuhum, Bisam Ihim Fasauwaha.. Allah dapat meratakan gunung sekalipun. Ayo pak” Pak Agung memberi instruksi.

            “Bismillahir romanir rahim, Fadamdama Alaihim Rabbuhum, Bisam Ihim Fasauwaha,”

            “Aaauuuuuuuuuuuoooowwwwwwwww…Sakiiiiiiittttt Paaaaaaaa,”

            “Sekali lagi Pak,”

            “Bismillahir romanir rahim, Fadamdama Alaihim Rabbuhum, Bisam Ihim Fasauwaha,”

            “AAAaaaauuuuoooowwwwwwwww….AAaaaaaaaaaaaaaaaaa”

            “Sekali lagi Pak, cukupin tiga kali. Biar afdol”

            Baru saja Papa mengangkat Pisau, Dita sudah menghilang dari tempat duduknya. Semua orang yang ada didalam rumah ikutan panik.

            “Ditttaaaa…. Diiittttt…..TTTaaaaaaaaaaaaaaaaa, kamu dimana? Sekali lagi saja, biar kamu sembuh”

            Dita berlari sekuat tenaganya, berlari hingga kakinya lelah untuk diajak melangkah. Ternyata Mama ikut berlari sejak tadi.

            “Ditaaaa….tungguin Mama nak, capek nih,”

            Dita kaget melihat Mamanya yang juga ikut berlari, karena kaki tidak kuat lagi melangkah. Akhirnya keduanya memilih duduk di pos satpam di ujung kompleks.

            “Mama koq ikutan lari sih?”

            “Lah…Dita kenapa lari tadi? Padahal tinggal sekali lagi diolesin pisaukan ke benjolnya sama Papa”

            “Sakiiittt…iitttt…iitttt Mama, kalau ga sakit kenapa Dita harus lari,”

            “Eh ada neng Dita dan Ibu Elena? Tumben pada nongkrong di mari?” sapa Pak Sukri Satpam kompleks.

            “Pak Sukri, Apa kabar pak?” tegur Mama

            “Baik Bu Elena, eh lho…” Pak Sukri celingukan melihat keadaan Dita dan Mama.

            “Kenapa Pak?” Dita dan Mama ikutan celingukan.

            “Ibu dan neng Dita koq kompakan banget ya?”

            “Kompakan?” serempak Dita dan Mama memasang tatapan penuh tanda tanya.

            “Iya, kompakan ga pake alas kaki.. memangnya dari mana dan mau kemana nih?”

            Dita dan Mama hanya tersipu.

            “Eh, neng kenapa tuh jidat? Kayak ada telur asinnya?” Pak Sukri melotot sambil nunjuk benjol Dita yang semakin parah.

            “Kecedot lemari pak, biasa anak muda jaman sekarang….”

            “Iya, biar lemari mau dipacarin pak,” potong Mama sambil tersenyum. Dita jadinya pasang muka sewot deh.

            “lhoo…lhooo..orang-orang blok E, koq pada lari-larian gitu ya? Pak Baskoro juga ikutan.. lhooo… koq pak Baskoro bawa pisau sih? Ada apa ya?”

            Mendengar perkataan pak Sukri, Dita sudah mau kabur lagi, tapi tangannya ditahan sama Mama.

            “Ta.. Mama capek kalau lari lagi,” Akhirnya Dita pasrah.

            “Naahh.. akhirnya ketemu juga,”

            “Sekali lagi ya nak Dita, soalnya bacaannya bakal ampuh dan berhasil kalau dibaca tiga kali,”

            “Iya deeehhhh,”

            “Aaaaaooouuuuwwwwwww….AAAAaaaaaaaa…..Aaaaoouuuwwwwww”

            “Nah, sudah beres deh, ayo ibu-ibu, bapak-bapak, kita pulang,” Pak Agung memberi komando.

            “Ca.. kamu masih mau tinggal ya?”

            “Ga apa-apa kan Pak, kasian Dita. Tuh masih kesakitan gitu”

            Dita diantar pulang sama Reza sahabatnya sejak kecil. Ada Mama dan Papa mengekor di belakang mereka berdua.

            “Pa.. kenapa belum berangkat kerja?”

            “Papa ga kerja hari ini, bagaimana kalau kita ke salon dan makan diluar”

            “Asyyiiikkkkk….”

            “Trus Karina dan Andi Pa? mereka kan masih di sekolah,” mama ingat kedua anaknya yang sedari pagi ninggalin rumah.

            “Eca, boleh ikut juga kan Om”

            “Ahhh… koq kamu mau ikut juga sih Ca, salonkan buat perempuan?” Dita melotot lihat Reza yang ikutan senang mau ke salon.

            “Ya..memangnya salon Cuma buat kaum hawa saja,” jawabnya ngotot.

            “Iya..kan Om?”

            “Ga tau juga ya? Om Cuma mau ikutan ke mall sih, ga mau ke salon. Ngapain juga ke salon, emangnya om cowok apaan” ujar Papa Dita sambil memperagakan gaya alay cowok salon.

            “Yaaaaahhhh… ga jadi deh masuk salon lagi. Padahal, enak Om. Reza sering koq setiap minggu luluran di salon,”

            “LULURAN…Cowok Luluran,” serempak mereka menatap Reza dengan penuh selidik.

            “Pantesan kulit Eca kinclong, muka ga jerawatan, dan alis sangat OK banget buat seorang cowok,” Dita membatin.

            “Teman-teman Eca juga koq, sering ke salon. Termasuk gebetan kamu tuh Ta, sih Brian. Dia kali yang ajarin kita-kita nyalon. Kata dia sih, biar nyalon yang penting ga ngondek ciiiinnnn,”

            “Aaaahhhhhhhhhhhhh Brian, cowok maco bin kece itu, nyalon..” belum selasai pernyataan Dita, tiba-tiba terdengar suara Gubraaakkkkkkkk.

            Dita syok mendengar pernyataan Reza, akhirnya pingsan di depan rumahnya sebelum sempat ke salon bareng keluarganya.

            Brian aja ke salon Ciiiiiiinnnnnn…. Gubrrraaakkkkk

 

 

 

           

 

 

 

           

Leave a Comment