Pernikahan: Mengedepankan Tradisi atau Mendahulukan Agama?

Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat didambakan oleh semua orang, tidak terkecuali dengan mereka yang sedang menjalin sebuah hubungan. Pernikahan juga merupakan suatu ibadah kita sebagai manusia kepada Tuhannya. Dengan adanya pernikahan banyak orang beranggapan bahwa ibadah kita sebagai manusia telah sempurna. Pernikahan itu memang indah, terlebih jika kita menempuhnya dengan cara yang indah pula.

Sesuai dengan syariat agama, bahwa untuk melakukan hal yang baik-baik maka jangan dinodai dengan usaha yang tidak baik. Lantas apa yang tidak baik tersebut? Katakanlah contohnya dalam hal materi.

Banyak pasangan yang menggelar pesta pernikahan dengan sangat megah dan menghabiskan dana hingga miliaran! Apa yang terjadi dengan pesta tersebut? Tentu akan menimbulkan banyak persepsi di masyarakat. Lalu, apa yang akan terjadi di mata Tuhan? Sesungguhnya Tuhan tidak menyenangi dengan segala sesuatu yang sifatnya berlebihan.

Selain itu, ada juga pasangan yang mengambil risiko di kemudian hari dengan meminjam ke sana ke sini. Tujuan tersebut hanya ingin “memaksimalkan” kemampuannya untuk hari bahagia tersebut dan ingin terlihat mewah di mata masyarakat. Padahal kemampuan materi yang sesungguhnya tidaklah kaya. Lalu, apa yang terjadi setelah mereka menikah? Mereka terlilit utang sisa menikah dengan jumlah yang tidak sedikit.

Jika mengambil hikmah dari dua contoh kasus tersebut, maka ada baiknya ketika ingin menikah atau melakukan sesuatu yang baik untuk mengikuti anjuran agama. Agama sesungguhnya tidak akan menjerumuskan kita, justru sebaliknya akan menyelematkan kita. Namun atas dasar tradisi, semua itu dikesampingkan.

Tradisi vs Agama dalam Pernikahan

Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia selalu lekat dengan yang namanya tradisi, termasuk dalam pernikahan. Hal itu terjadi di beberapa wilayah suku, seperti di Padang, Betawi, Jawa, hingga Sunda. Semua suku mempunyai adat dan tradisinya masing-masing. Meskipun begitu, semua tujuannya hanya satu, yakni pernikahan yang didalamnya berisikan rukun nikah, seperti ijab kabul, saksi, wali, dan mahar.

Akan tetapi, untuk melengkapi semua itu tidak sedikit keluarga yang melakukan prosesi menjelang pernikahan. Sebagai contoh kecilnya ialah dengan adanya proses lamaran atau tunangan. Istilah tersebut jika dalam Islam bernama khitbah. Di dalamnya berisikan proses pertanyaan atau permintaan dari pihak pria yang ingin menikahi anak wanita dari keluarga tersebut.

Jika dalam Islam sendiri proses khitbah tersebut hanyalah permintaan dan diakhiri dengan jawaban dari pihak wanita, ya atau tidak dalam menerima khitbah tersebut. Agama tidak menjelaskan hal-hal lainnya ketika khitbah tersebut, seperti adanya cincin atau benda-benda lainnya.

Lantas apa yang terjadi di masyarakat sekarang dengan yang namanya lamaran? Di dalamnya terjadi banyak prosesi mulai pemasangan cincin terhadap pihak wanita, hingga pengumuman bawah wanita tersebut mempunyai status sebagai wanita setengah halal. Tentu itu tidak dibenarkan menurut pandangan Islam. Semua prosesi tersebut lebih ke dalam kebiasaan yang dilakukan oleh bangsa Barat.

Timbul pertanyaan, apakah sah pernikahan jika pada awalnya tidak disertai dengan proses lamaran tersebut? Jika pada masa khitbah pihak wanita menjawa “ya” maka dia sudah berstatus sebagai wanita yang dilamar dan tentu saja pernikahannya akan sah, selama semua rukunnya terpenuhi. Namun jika sebaliknya menjawab “tidak” maka wanita tersebut masih bebas untuk menerima khitbah dari pria lain. Semua itu tidak didasarkan kepada tersematnya cincin dalam jari calon pengantin sehingga dikatakan wanita tersebut telah dilamar.

Selain itu, jika mengambil dari sisi ekonomis tentu proses lamaran tersebut akan mengeluarkan banyak biaya. Bahkan jika boleh dikatakan, semua pengeluaran tersebut dilakukan untuk sesuatu hal yang sifatnya masih belum pasti. Terlebih jika jangka waktu menuju ke nikah masih terhitung cukup lama.

Namun semua itu bisa terbantahkan oleh masyarakat dengan atas nama tradisi. Kenapa kita tidak mengikuti saja apa yang disarankan oleh agama? Bukannya agama menyarankan yang terbaik dan bisa menyelamatkan kita? Agama bisa melindungi kita dari segala dosa yang banyak tersebut, sedangkan tradisi tidak akan berdampak saat kita dihisab di akhirat kelak.

Menikah itu merupakan ibadah yang indah. Sejatinya kita sebagai orangtua yang menginginkan anaknya bahagia sudah seharusnya melindungi anak dan menyegerakan pernikahan. Karena bagaimanapun hubungan antara pria dan wanita di luar pernikahan itu mengundang dosa dan maksiat, sesuatu yang tidak disenangi oleh Tuhan.

Sekiranya tulisan ini bisa menjadi bahan renungan untuk kita semua. Mana yang baik menurut agama, tentu itu yang baik untuk masa depan. Sebaliknya, mana yang dikatakan baik menurut tradisi dan masyarakat, belum tentu baik menurut agama.

Leave a Comment