Oleh: Rahmat Hidayat Nasution
Apa yang kita rasakan saat menjalankan ibadah puasa? Kalau saya katakan lapar dan haus, pasti dibenarkan. Tapi ada satu yang mungkin sebenarnya lebih berat dari puasa. Apa itu? Napas kita ketika berpuasa baunya cukup meresahkan. Sekalipun kita sikat gigi, tetapi jika tidak makan sesuatu setelah itu. Baunya tetap tak akan hilang. Lantas, apa sikap kita? Menurut saya, adalah cuek. Ya, kita harus menahankannya sampai berbuka puasa. Setelah menimum air dan makan sedikit kurma kita akan merasakan ‘sedikit’ bahwa bau mulut itu hilang. kok bisa! Ya, Bau tadi siang itu hanya getaran puasa. Makanya di dalam hadits qudsi Allah berfirman, “Demi Allah yang diri Muhammad dalam tangannya (kekuasaannya), bau busuk mulut orang yang berpuasa lebih baik dan lebih harum di sisi Allah dari bau kasturi yang harum semerbak”. Itu janji Allah. Apa yang bisa renungkan dari janji Allah di atas? Bahwa Allah menilai puasa manusia itu bukan hanya dari menahan makan, minum, berhubungan suami isteri dll., tapi Allah menilainya dari kemampuan kita menahan diri dari cibiran orang lain yang menghina karena bau mulut. Saya yakin, kita juga pernah mencium bagaimana bau mulut orang yang berpuasa. Mungkin juga kita pernah mencibirnya lantaran baunya tak tertahankan. Kalau dillihat, puasa ini mirip dengan konsep orang yang ingin sukses. Salah satu syarat orang sukses harus siap dihina dan dimaki. Kok gitu? Iya, memang seperti itu adanya. Kalau sukses tidak ada cibiran bagaikan sayur tanpa garam. Hambar. Tapi kalau sayur dengan ada garam akan memiliki rasa yang beda. Ada yang asin, ada yang pas dan ada yang masih sedikit kurang pas, bukan hambar. Karena itu, jika ingin meraih sukses gemilang. Kita harus siap menerima cibiran. Cibiran itu sakit di awalnya tapi jika bisa menyikapi dan menilainya secara positif akan berubah menjadi mutiara kesuksesan. Ada sebuah cerita yang ditulis Jamil Azzaini di dalam bukunya “Menyemai Impian Meraih Sukses Mulia”. Cerita ini adalah cerita langsung didengar Jamil dari ayahnya. Saat Jamil sedang memancing ikan di sungai untuk lauk makan siangnya. Ayah Jamil datang menghampirinya. “Mil, bapak mau cerita, mau dengar?” Jamil pun mengangguk. “Kamu tahu proses terjadinya mutiara?” tanya bapaknya dengan gagah dan berkulit legam. Jamil pun menggelengkan kepala. Sambil merangkul pundak Jamil, bapaknya melanjutkan cerita, “Waktu kerang muda mencari makan atau bergerak untuk pindah, ia akan membuka cangkah penutup badannya. Buka… tutup…buka…tutup. Nah, suatu kali, di saat cangkah itu terbuka sebutir pasir masuk ke dalam cangkang kerang itu. Sang kerang pun menangis sambil memanggil-manggil ibunya, “Bu sakit bu…ada pasir masuk ke dalam tubuhku.” Sang ibu menjawab, “Sabar ya, Nak, Jangan pedulikan sakit itu, bila perlu berikanlah kebaikan kepada sang pasir yang telah menyakitimu itu. Kerang muda pun menuruti nasehat ibunya. Ia menangis, tapi air matanya ia gunakan untuk membungkus pasir yang masuk ke dalam tubuhnya itu. Hal itu terus- menerus ia lakukan. Dengan balutan air mata itu, rasa sakitnya pun berangsur berkurang bahkan kemudian hilang sama sekali. Beberapa saat kemudian, kerang-kerang itu dipanen. Kerang yang ada pasirnya dipisahkan dari kerang yang tidak ada pasirnya. Kerang tak berpasir dijual secara obral di pinggir jalan menjadi “kerang rebus”. Sedangkan kerang yang dipasir di jual ratusan bahkan ribuan kali lipat lebih mahal dibandingkan kerang tak berpasir. Mengapa bisa begitu? Karena pasir yang ada di dalam kerang itu telah berubah menjadi inti mutiara. Ya…butiran pasir itu telah dibalut dengan lapisan air mata menjadi mutiara. Setelah menarik napas panjang, Bapaknya Jamil melanjutkan ceritanya,”kalau kamu tidak pernah mendapatkan cobaan, kamu akan menjadi seperti kerang rebus atau kerang yang tak ada harganya. Tapi kalau kamu mampu menghadapi cobaan, bahkan mampu memberi manfaat pada orang lain ketika kamu sedang mendapat cobaan, kamu akan menjadi mutiara.” “Jamil… kamu memilih menjadi apa? Kerang rebus atau kerang mutiara?” tanya bapaknya. Belum sempat Jamil menjawab, bapaknya sudah menambahkan, “kalau kamu memilih jadi kerang rebus, kamu akan dijual secara obral di pinggir jalan. Sebaliknya, kalau memilih menjadi mutiara. Kamu akan berada di tempat- tempat terhormat dan juga dipakai oleh orang-orang terhormat. Hargamu mahal. Hidup adalah pilihan Mil…terserah kamu. Kamu boleh pilih mau jadi kerang rebus atau jadi kerang mutiara. Kamu pilih jadi kerang apa?” tanya bapaknya Jamil. kalau kamu memilih jadi kerang rebus, kamu akan dijual secara obral di pinggir jalan. Sebaliknya, kalau memilih menjadi mutiara. Kamu akan berada di tempat- tempat terhormat dan juga dipakai oleh orang-orang terhormat. Hargamu mahal. Hidup adalah pilihan Mil…terserah kamu. Kamu boleh pilih mau jadi kerang rebus atau jadi kerang mutiara. Kamu pilih jadi kerang apa?” tanya bapaknya Jamil. Setelah mendengar penjelasan bapaknya, dengan mantap Jamil menjawab, “Aku memilih jadi kerang mutiara, Pak.” Kemudian bapaknya Jamil melanjutkan cerita, “Nah, kalau kamu memilih jadi kerang mutiara, kamu tidak boleh cengeng karena kita tinggal di tengah hutan. Kamu tidak boleh sedih setiap kali mau berangkat sekolah.” Cerita di atas cukup menggugah. Jamil sekarang sudah jadi trainer sukses. Dia bukan hanya jadi inspirator sukses di Indonesia, tapi sudah sampai ke manca negara. Kata Jamil dalam bukunya, “Ia jadi begini karena disadarkan oleh kerang pasir yang berubah jadi kerang mutiara. Intinya, kita tidak boleh menyerah hanya karena sindiran dan cibiran orang. Hidup adalah pilihan kita. Kita yang menentukan bukan orang lain. Kita yang lebih tahu kualitas kita. Ingin sukses, harus siap hidup seperti kerang pasir. Apakah anda berani?