Bad Dream

Bad Dream
Oleh Mitha Juniar

Aku tersentak mendengar suara ponselku berdering berkali-kali tepat di bibir meja kamarku. Dengan mata yang masih setengah ikhlas untuk terbuka, akhirnya aku berhasil meraih benda itu. Aku terperanjat saat melihat namamu yang muncul di layar ponselku.
“Rama?” Kataku sambil berkali-kali mengucek mata karena masih tak percaya.
Hatiku berdetak kencang, darahku seakan berdesir deras dari kepala hingga ujung kaki. Dengan sekuat tenaga, aku menerima panggilan telepon darimu. Entah kenapa lidahku kelu dan peluh bercucuran di dahiku. Bismillah… kataku dalam hati. Aku menarik nafas panjang dan mulai mengendalikan diri.
“Halo, assalamu’alaikum…” Sapa seseorang di seberang sana. Suara yang terdengar berat namun tegas.
“I… iya wa’alaikumsalam, Mas. Ada apa?” Saat itu terdengar jelas betapa aku gugup berbicara denganmu.
“Aduh Thata… kamu nggak liat ini jam berapa? Aku kesiangan, kenapa nggak bangunin aku sholat subuh?”
“Lho… harus ya, aku bangunin Mas Rama sholat subuh? Nanti aku bangunin, takutnya Mas malah terganggu.” Tiba-tiba aku mampu 100% mengendalikan diri dari rasa grogiku.
“Thataaa… biasanya kan juga begitu. Aku sudah terlalu nyaman dengan perhatian Thata yang selalu buat hari aku semangat.” Kau terdiam, aku pun demikian.
Aku menunggu kelanjutan kata-katamu. Kalau kau mau tahu, di sini aku tengah tersenyum tersipu malu karena kata-katamu, Mas. Entah apa yang membuat aku sebahagia ini. Entah alasan apa yang membuatku seakan wanita paling beruntung karena mendengar kata-kata itu dari mulutmu. Mungkinkah ini cinta? Ah, apa mungkin? Karena ternyata aku dan kamu hanya bersatu dalam dunia maya dan kini hanya dalam sebuah ponsel.
“Thata? Ada yang salah dengan kata-kataku? Salah kalau aku….”
“Nggak kok, Mas. Nggak ada yang salah.” Secepat kilat aku memotong kata-katamu. Aku tak sanggup kalau harus mendengar kata-kata itu kau tarik kembali karena kebodohan sikapku. Biarlah kata-kata itu aku ingat selalu. Aku mohon.
“Ya, memang nggak akan ada yang salah. Aku laki-laki dan Thata perempuan. Rasa itu juga nggak salah. Ini fitrah manusia.” Kalimat itu semakin membuatku melambung tinggi.
Perempuan memang punya perasaan yang lembut, tapi jangan salah. Perasaannya juga peka. Perempuan akan segera mengetahui kalau ada lelaki yang sedang menyukainya. Begitu pun denganku. Aku rasa kau memang menyukaiku. Perhatianmu, kata-katamu, sikapmu meski hanya di sms dan nasihatmu seakan menguatkan pradugaku tentang hatimu.
Dua bulan sudah kita saling dekat. Benih cinta itu kini telah menjadi tunas sebesar kelilingking di hatiku.Bahkan kau telah mengenalkanku pada ibumu. Sesekali ibumu menelponku untuk menanyakan kabarmu. Aku juga bingung, kenapa ibu menanyakan itu padaku? Setiap kali aku bingung dengan sikap ibumu, kau hanya menjawab “Ibu sudah merasa dekat denganmu. Ibu sama sepertiku, begitu mengenalmu langsung nyaman banget rasanya.” Ah, jawaban itu… begitu aku suka. Tapi kenapa kau tak juga mau berkomitmen tentang hubungan kita? Adakah yang masih kau tunggu, Mas? Apa yang masih membuatmu ragu?
***
Kalau boleh dibilang, aku lebih cocok menjadi penghuni dunia maya. Hari-hariku lebih banyak di dunia maya. Bahkan aku mencintai, berawal dari dunia maya. Ya, aku yakin ini cinta. Sosokmu yang tak pernah aku temui, tak menjadi halangan benih cinta itu hadir di hatiku. Sikap dan tutur bicaramu setiap kali menelponku telah membuatku yakin akan cinta ini.
Seperti biasa, kalau sedang online facebook aku pasti menyempatkan diri untuk membuka profile facebook-mu. Sekedar berjalan-jalan dan ingin mengetahui apa yang kau lakukan. Mataku terpaku pada sebuah statusmu 11 jam lalu. Itu berarti beberapa menit setelah kau menelponku tadi pagi.
Karena terbiasa diperhatikan, aku jadi tak bisa melakukannya sendiri. Aku ingin kau yang selalu mengingatkanku dan memberi perhatian padaku. Entah ini cinta atau bukan, tapi semua rasa ini tak bisa aku ingkari. Semoga suatu hari nanti, aku bisa menemuimu di Jakarta.
Seketika bibirku menyunggingkan senyuman dan rasa percaya diri itu menyeruak ke permukaan. Aku merasa yang dibicarakan itu aku.Bahagia sekali saat mengetahui kau punya rasa yang sama denganku. Aku akan menunggumu di Jakarta. Dan aku akan menagih janjimu yang akan membawaku keliling kota Malang.
***
Ku bahagia…
Kau telah terlahir di dunia
Dan kau ada…
Di antara milyaran manusia
Dan ku bisa…
Dengan radarku, menemukanmu
Suara merdu penyanyi cantik Maudy Ayunda dalam lagunya ‘Perahu Kertas’, menemani Minggu siangku saat itu. Lagu itu memang sepertinya sangat cocok untukku saat ini. Aku tak pernah mengenalmu sebelumnya, semua hanya karena jejaring sosial saja. Memang benar, cinta, rezeki dan maut tak akan pernah salah alamat. Sejauh apa pun jarak antara kau dan aku, tapi cinta telah mendekatkan kita.
Seperti biasa, kalau sedang tak ada kegiatan aku akan menengok profile account milikmu. Bukan ingin memata-matai kegiatanmu, tapi aku ingin tahu apa yang menjadi kebiasaanmu, apa yang kau suka, apa yang sedang kau inginkan. Karena hanya dari sanalah aku dapat informasi tentangmu. Entah kenapa, aku ingin selalu terlihat sempurna di matamu. Banyaknya persamaan antara kita, membuat kita tak perlu bersusah payah untuk mencari bahan obrolan. Tapi hari ini aku belum menerima satu pun sms darimu.
“Mungkin kau sibuk.” Gumamku nyaris tak terdengar. Sedangkan jari-jariku asik bermain dengan keyboard laptop.
Kalau sudah melihat profile account milikmu, sulit rasanya untuk memalingkan pikiranku dari sana. Perlahan aku mainkan mouse dan menggesernya sedikit demi sedikit ke bawah. Aku baca apa saja yang terdapat pada dinding facebook-mu.Sesekali aku tersenyum saat kau tulis status tentangku. Ya, aku yakin itu tentangku karena belum lama kita alami bersama. Tiba-tiba jantungku seakan berhenti berdetak, paru-paruku sesak, hatiku bagai terhujam panah ribuan kali. Semua organ tubuh terpenting tak lagi mampu beroperasi. Tulisan di dinding facebookmu membuatku terjatuh dan lunglai. Persendian lutut tak lagi mampu menopang 45 kg, berat badanku.
Kau tau, Ran? Kau itu penyemangat hari-hariku. Jadi jangan pergi ya, tetap jadi Rani yang selau perhatian padaku. Maaf… tadi terputus teleponnya. Biasalah, signalnya nggak kuat, hehe…. Nanti malam aku telepon lagi, ya.
Ingin rasanya aku menarik lenganmu dan menampar pipimu sekencang mungkin. Apa maksud semua ini? Aku tak pernah habis pikir dengan jalan pikiranmu, Mas. Kenapa kata-kata itu sama dengan kata-kata yang kau ucapkan padaku? Apa kau tak punya gombalan lagi, hingga antara aku dan dia tak kau bedakan sama sekali?Ah Tuhan, remuk hatiku. Serasa dipermainkan.
Dengan cekatan aku meraih ponsel yang berada di kamarku. Entah sedang kerasukan jin mana hingga aku punya kekuatan mengirimkan pesan singkat berisi seluruh kekecewaanku terhadapmu.
Tadinya aku begitu bahagia dengan setiap kata yang kau ucapkan padaku. Tadinya aku suka caramu memujiku. Tapi ternyata… bukan hanya aku, kau melakukannya juga pada gadis lain dengan seenak mulutmu itu. Aku tak habis pikir, kenapa aku bisa kagum dan menyukai pria sepertimu. Aku sadar, aku yang terlalu mengharapkanmu. Tapi sikap memberi harapan palsu seperti itu tidak baik. Jangan lakukan itu pada gadis lain!
Aku menutup mata dan membiarkan tubuhku terhempas ke sofa di ruang tamu. Dadaku benar-benar sesak. Ada amarah yang siap meledak dari sana. Tapi pada siapa harus kulampiaskan kecewa ini? Tidak ada. Aku hanya boleh menggerutu dalam hati. Kalaupun ada yang harus disalahkan, itu adalah diriku sendiri yang telah banyak berharap padamu, Mas.
Kau memang bukan kekasihku, apalagi suamiku. Jadi aku tak berhak marah padamu. Biarlah kecewa ini kusimpan hingga aku benar-benar bisa melupakannya. Patah hati karena seseorang yang di cintai memang sakit, tapi paling tidak Tuhan sayang padaku. Karena Dia telah menunjukkan buruknya kamu sebelum sempat aku terlalu jauh dari batas cinta yang ditetapkan-Nya.

Leave a Comment