Angin Yang Membawa Bunga – Part. 6

[sociallocker id=”5727″] Jumlah mereka 7 orang.

Kami dibawa masuk kedalam hutan, Kijang yang kami tumpangi disimpan dekat bibir jalan agak masuk kedalam hutan, ditutupi rimbun dedaunan.

GAM, Sesuatu yang tidak kami harapkan

Entah apa masksud mereka membawa aku dan supirku. Yang jelas membuat pekerjaanku terganggu, tapi aku tidak gentar, aku tidak mau mati disini  pikirku , dan kurasa tidak akan terjadi apa-apa dengan kami berdua selagi kami menunjukan itikad baik.

Jalan setapak yang kami lalui  basah. Nampaknya hujan turun cukup deras malam tadi.

Setelah sekitar 45 menit perjalanan kami akhirnya tiba di sebuah perkampungan. Perkampungan itu cukup ramai. Ada para ibu yang sedang menyusui anak-anaknya, anak-anak kecil yang tengah bermain bola, gadis-gadis yang sedang mengerjakan semacam kerajinan tangan, orang-orang yang bercakap-cakap. Jauh beberapa ratus meter di depan sana para lelaki sedang berlatih menggunakan senjata.

Ketika rombongan kami tiba, orang-orang yang ada di tempat tersebut sontak melihat me arah kami. Aku dan Hanafi  menjadi pusat perhatiannya.

Seorang gadis kecil manatapku, ia tersenyum kecil. Kubalas dengan senyuman pula.

Kami dibawa menuju ke sebuah rumah. Aku pun bertanya-tanya di dalam hati. Apa lagi kali ini..

Salah seorang yang tadi memimpin ke 6 militan lainnya langsung masuk ke dalam rumah. Kami  disuruh menunggu di luar dijaga oleh ke 6 orang ber-AK-47.

Tak lama kemudian muncul dari dalam rumah seorang pria  mengenakan kaos oblong putih dengan celana panjang. Penampilannya bersahaja.. Mata pria itu tajam membuat orang yang menatapnya akan menaruh rasa hormat.

“Siapa nama kamu?” katanya padaku

saya pun memberitahukan nama kami berdua.

“apa keperluannya datang ke daerah ini?” tanyanya lagi.

“saya ditemani supir saya ini datang kemari untuk urusan pekerjaan.”

“pekerjaan apa?”

“saya wartawan teungku, ditugaskan oleh kantor saya untuk meliput Aceh paska tsunami dan pasca rekonsiliasi damai”

“kamu cuak ya!”

“bukan teungku saya wartawan, teungku boleh periksa”

pria itu memandangku dan terdiam sejenak. Sebelum akhirnya tertawa, “ha..ha..ha, wartawan,” tawanya langsung terhenti lagi.

“kalian harus menginap disini beberapa hari, kalian tamu kami, tapi jangan coba-coba..” ucapannya kharismatik. Dan sedikit mengancam.

“Amsal, bawa tamu kita ini ke rumah keuchik!”

“baik teungku” jawab si komandan tadi.

Segera kamipun di bawa lagi ke sebuah rumah yang tidak terlalu jauh jaraknya dengan tempat pertama kami tadi tiba.

 

***

Di rumah keuchiklah kami beristirahat. Keuchik yang dalam bahasa Indonesianya berarti kepala desa itu menjamu kami dengan ramah. Beliau hidup bersama seorang istrinya bernama Aminah. Semalaman kami saling bertukar cerita, namun malam itu tentu saja yang banyak bercerita adalah keuchik Amir sendiri.

Ketika malam telah larut suasana semkain hening, ibu Aminah dan Hanafi telah berpamitan untuk tidur terlebih dahulu, kini tinggal keuchik Amir dan aku.

“maaf pak, sejak tadi saya hanya melihat bapak dan ibu saja, kemana anak-anak bapak?” tanyaku.

Keuchik langsung memandang tajam ke arahku lalu kemudian mengangkat dagunya sedikit keatas, menerawang kearah luar rumah.

“mati..”

“kena tsunami..”

“oh..maaf pak, saya tidak bermaksud..”

“tidak apa,” sergah keuchik amir

pembicaraan jeda beberapa saat.

“satu-satunya anak kami. Anak yang cantik, sayang kamu tidak bisa melihatnya, usianya kira-kira sebaya denganmu”

“dia yang menjadi cahaya yang melingkupi kebahagian kami..” matanya berkaca-kaca.

“…”

“kami memanggilnya ungong atau bung, namanya bungong, nama yang cantik kan?”

“ya pak,” kataku menanggapi meski aku tak tahu apa artinyya.

“kau tahu apa artinya bungong?”

“tidak pak,”

“artinya bunga, nama yang indahkan?”

“……”

 

***

Pagi harinya kami bangun setelah menunaikan shalat saya berkeliling di desa, pembicaraan tadi malam masih terngiang di dalam pikiranku. Mengusik kedalaman batin, menggedor-gedor dinding kepalaku, ah sebuah kebetulan.

Alam Aceh yang indah ini semakin menghanyutkan perasaanku. Cukup lama aku berkeliling di kampung itu. Ketika aku kembali menuju rumah keuchik, Hanafi kelihatan berseri-seri dia langsung menyambarku.

“bang, kita bisa pulang hari ini, teungku mengizinkan kita!”

“oh..”

setelah menyantap makan pagi bersama-sama kami pun segera bersiap untuk pulang. Di luar para pengawal telah menunggu kami untuk segera diantarkan. Teungku nampak dengan pakaian militernya.

“Nak, kamu pulang sekarang, , setelah diselidiki kamu memang wartawan, orang baik. Amsal akan mengantarmua sampai jalan besar. Selamat jalan!”

Aku dan Hanafi berpamitan kepada kecuchik dan istrinya, ada perasaan yang menusuk jantungku ketika kami harus berpisah. Kugenggam tangan kedua orang tua itu.

“Pak, Bu terimakasih atas semuanya, kalau ada umur panjang kita bertemu lagi”

“ya nak mudah-mudahan kehidupanmu di rahmati Allah, kebahagian untuk kalian berdua”

“bapak dan ibu juga semoga bahagia selalu, diberikan sehat”

kutatap mereka berdua, kerut-kerut di wajah kedua orang tua itu melukiskan perjuangan hidup mereka, selamat tinggal…

[/sociallocker]

Leave a Comment